CIREBON, KOMPAS — Produksi dan budidaya udang di Kota Cirebon, Jawa Barat, terus menurun dalam satu dekade terakhir. Selain persoalan cuaca, alih fungsi lahan pesisir dan mahalnya ongkos produksi menjadi kendala nelayan udang di ”kota udang”.
Sudah tiga tahun Kartam (44), nelayan di Kampung Pesisir, Panjunan, Kota Cirebon, berhenti mencari udang di pantai utara Cirebon. ”Kalau cari udang harus melaut jauh, lebih dari 5 jam. Saya tidak kuat modalnya,” ujar Kartam, Rabu (3/1).
Untuk menangkap udang menggunakan perahu di bawah 5 gros ton setidaknya memerlukan modal Rp 1,5 juta dalam dua hari. Itu pun hanya di waktu tertentu, seperti April dan Mei. Nelayan menyebutnya musim teduh angin barat.
”Padahal, awal 2000-an, kami masih bisa menangkap udang di pinggir laut. Kalau musimnya, dapat Rp 10 juta itu biasa,” ujar Kartam menunjuk laut yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari permukiman.
Menurut dia, saat itu, laut masih berwarna biru. Nelayan asal daerah lain, seperti dari Indramayu, ikut menangkap udang di perairan Cirebon.
Kini, muara di Kampung Pesisir tampak kehitaman. Daerah tersebut terletak tepat di samping Pelabuhan Cirebon, yang beberapa tahun terakhir melayani bongkar muat batubara. Siang itu, tidak tampak nelayan menimbang hasil tangkap udang. Nelayan umumnya mendapat ikan bilis yang kemudian dijemur di depan rumah.
Ketua Rukun Nelayan Samadikun Sofyan mengatakan, nelayan sudah lama beralih tangkapan dari udang ke ikan, rajungan, dan kerang yang dinilai lebih ekonomis. ”Kalaupun dapat udang, paling banyak 3 kilogram. Padahal, dulu bisa mendapat 20 kilogram,” ujar Sofyan.
Kian merosot
Sulitnya mendapatkan udang di Cirebon, menurut data produksi Dinas Pangan, Pertanian, Kelautan dan Perikanan Kota Cirebon. Pada 2008, produksi udang di Kota Cirebon mencapai 196 ton. Jumlah ini menurun menjadi 112,5 ton pada 2014, lalu anjlok hingga 79,4 ton di 2015.
”Untuk 2016 dan 2017 sudah tidak ada data yang spesifik pada komoditas udang. Produksinya semakin sedikit,” ujar Kepala Bidang Kelautan dan Perikanan Dinas PPKP Kota Cirebon Erythrina Oktiyani.
Bahkan, pembudidaya udang tercatat hanya dua kelompok. Itu pun tidak fokus pada udang saja, tetapi juga ikan bandeng atau nila. ”Tahun lalu hanya panen 2-3 ton. Namun, kami sudah menyiapkan 100.000 benur. Jika tidak ada gangguan virus, bisa panen 5 ton April tahun depan,” ujar Erythrina.
Udang yang menjadi komoditas ekspor memiliki nilai jual tinggi, bisa mencapai Rp 100.000 per kg. Jauh lebih mahal dibandingkan dengan bandeng yang paling tinggi Rp 20.000 per kg. Namun, nelayan enggan membudidayakan udang karena rentan terserang virus yang menyebabkan udang mati.
”Apalagi, tahun lalu cuaca tak menentu. Panas lalu hujan lagi,” katanya.
Menurut Erythrina, dengan luas wilayah hanya 37 kilometer persegi, Kota Cirebon sulit dijadikan tempat budidaya udang. Garis pantai di Cirebon sepanjang 7 kilometer. Untuk budidaya udang, kata Erythrina, hanya tersedia lahan 3.500 meter persegi. Saat ini, tambak udang di daerah pesisir beralih fungsi menjadi perumahan dan tambak ikan.
Pada saat yang sama, industri pengolahan udang belum terbangun. Menurut dia, hanya terdapat satu industri pembuatan terasi di Cirebon. Padahal, terasi khas Cirebon dikenal luas di berbagai daerah. Tempat oleh-oleh di Cirebon yang kini menjamur umumnya menjual terasi asal Indramayu.
Udang selama ini menjadi salah satu gambar dalam lambang Kota Cirebon. Gambar udang rebon berwarna kuning emas tersebut bermakna, hasil laut telah memberikan kemakmuran kepada masyarakat Cirebon. Patung udang juga terpampang di Balai Kota Cirebon. Namun, kini udang makin jauh dari kehidupan warga Cirebon. (IKI)