Jakarta, KompasLangkah penggabungan sejumlah perguruan tinggi swasta dalam satu yayasan ataupun antaryayasan tidak bisa tergesa-gesa. Apalagi sampai saat ini aturan dari pemerintah seputar penggabungan itu belum siap.
Ketua Umum Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia Thomas Suyatno di Jakarta, Jumat (5/1), mengatakan, dorongan untuk penyehatan dan penguatan PTS kecil dengan mergersehingga memiliki program studi yang beragam sudah disampaikan oleh ABPPTSI kepada badan penyelenggara PTS.
Beragam tantangan yang dihadapi PTS, mulai dari tidak terpenuhinya rasio dosen dan mahasiswa, sehingga ada yang masuk dalam status pembinaan hingga yang ditutup. Ada pula yang mengalami konflik. Dalam hal kualitas juga terlihat dari akreditasi PTS yang masih berkutat di tingkatan C.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohammad Nasir mengatakan, merger PTS menjadi salah satu program reformasi PT untuk meningkatkan daya saing. Jumlah PT di Indonesia yang saat ini lebih dari 4.500 institusi direncanakan dipangkas menjadi sekitar 3.500 institusi (Kompas, 5/1).
Perjelas dulu aturannya
Thomas mengatakan, sejumlah yayasan pendidikan keagamaan yang memiliki beberapa PTS di daerah berpotensi untuk diajak merger di dalam satu yayasan. Namun, merger jangan lagi sekadar imbauan. Harus jelas fasilitas yang diberikan kepada yayasan atau PTS yang bersedia merger, mulai dari aspek perpajakan, pertanahan, hingga persyaratan peralihan bentuk menjadi sekolah tinggi, institut, universitas, ataupun politeknik.
Ia menekankan, merger jangan dipaksakan tanpa perhitungan yang cermat dari sisi sumber daya manusia, sarana dan prasarana, termasuk pula yang berkaitan dengan keuangan. ”Pada tahun 2018, bisa terealisasi pengurangan hingga seratus PTS sudah bagus, tidak perlu muluk- muluk. Yang penting peraturan menteri soal proses, syarat, fasilitas, dan kemudahan proses merger PTS ini disiapkan,” kata Thomas.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi mengatakan, lembaganya menyiapkan kajian soal kebijakan merger yang diimbaukan pemerintah. Ada 52 PTS di bawah PGRI yang tersebar di 18 provinsi.
Unifah mengingatkan, tidak mudah untuk merger walaupun semua PTS itu di bawah PGRI. Sebab, berdasarkan anjuran pemerintah pada masa lalu, meski di bawah PGRI, setiap PT milik PGRI, baik yang berbentuk sekolah tinggi, institut, maupun universitas, memiliki badan hukum sendiri.
Apalagi PTS di bawah PGRI, kata Unifah, bukanlah institusi yang didirikan oleh korporasi bermodal besar. Semangat PT PGRI dibuka di daerah untuk membantu pemerintah menyediakan akses kuliah bagi masyarakat di daerah. ”Kami mendukung kebijakan merger, tetapi perlu solusi yang tidak merugikan. Jangan sampai justru memicu konflik,” katanya.
Koordinator Kopertis V Daerah Istimewa Yogyakarta, Bambang Supriyadi, mengatakan, pihaknya mencermati kondisi PTS yang ada, termasuk peluang merger. Ada sambutan positif dari sejumlah yayasan yang punya beberapa PTS untuk merger. Pada tahun 2018, ada peluang pengurangan PTS di Yogyakarta yang jumlahnya 107 menjadi 102.
Koordinator Kopertis III DKI Jakarta, Illah Sailah, mengatakan, pihaknya sudah mengundang 34 yayasan untuk membahas soal merger. Sekitar 20 yayasan menyatakan siap merger. Sebagai contoh, ada satu yayasan yang punya dua akademi. Mungkin bisa gabung menjadi satu akademi atau politeknik, tetapi program studi jadi beragam. Ada satu yayasan yang punya akademi keperawatan dan akademi kebidanan bisa digabung menjadi satu akademi kesehatan.
”Sebenarnya pemerintah bisa memantau PTS. Jika tidak memenuhi standar, itu yang diprioritaskan untuk digabungkan asal yayasan setuju,” katanya.