Di depan para dosen, bruder, suster yang saya segani dengan hati-hati saya mengutip saya mengutip ayat kitab suci.
Oleh
Bre Redana
·3 menit baca
Merasa mendapat kehormatan saya diminta untuk berbicara dalam seminar dosen di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, yang bertema "Tantangan Peradaban dan Peranan Universitas", akhir tahun lalu. Di depan para dosen, bruder, suster yang saya segani-saya jadi ingat bruder semasa sekolah dasar Kanisius-dengan hati-hati saya mengutip ayat kitab suci: pada mulanya adalah firman, pada mulanya adalah kata, in the beginning was the word.
Saya tidak tahu tepat atau tidak apa yang saya katakan tadi pada sebuah seminar akademik, tapi saat ini memang tersimpan keprihatinan mendalam terhadap penggunaan kata, ujaran, yang sifatnya menghancurkan. Rasanya makin benar saja yang dipercaya oleh sebagian orang Jawa sebagai jangka Jayabaya: akeh janji ora ditetepi/akeh wong wani nglanggar sumpahe dewe/manungsa pada seneng nyalah/dst. (Banyak janji tidak ditepati/banyak orang berani melanggar sumpah sendiri/manusia menyukai berbuat salah/dst).
Peradaban dibentuk oleh memori, dan yang merangsang pertumbuhan memori dalam proses evolusi manusia selama ribuan tahun adalah kata. The rise of cerebral cortex, kata saya untuk meyakinkan pendengar saya. Kata memicu pertumbuhan otak, cerebral cortex, membawa manusia pada kemampuan berbahasa, bernalar. Kalau mau dilanjutkan lebih jauh lagi, itu yang membawa manusia pada Enlightenment, Renaisans, Pencerahan. Dengan kata lain, yang membawa kita sampai pada peradaban sekarang adalah bahasa, literasi.
Hanya saja, zaman literasi agaknya akan segera berlalu. Literasi kini diganti digitalisasi. Otak di ambang mengalami proses evolusi berbeda. Otak yang dulu menimbulkan pemikiran inventif sampai munculnya Revolusi Industri, atau pula merangsang pemikiran subversif sampai lahirnya Modernisme, akan segera menjadi proses masa lalu. Otak itu menjadi otak zaman dulu, yestermind.
Yestermind akan segera diganti otak zaman now, otak yang berkembang dengan rangsangan proses digital. Otak zaman now berkembang dengan sistem neurologi berbeda dibandingkan otak zaman old. Ini bukan soal suka atau tidak suka, memilih yang itu atau memihak yang ini, tetapi semata-mata inilah perjalanan zaman.
Kalau otak zaman lampau merespons realitas alias sesuatu yang nyata, otak masa kini merespons sesuatu yang tidak nyata. Istilahnya macam-macam: citra, image, simulakra, hyper-reality, dan lain-lain. Kalau otak zaman lampau lambat, otak masa kini cepat. Kalau otak zaman dulu rasionalitas, kini delusi.
Dengan itu, sebenarnya orang tak perlu lagi menuding bahwa yang dilakukan orang lain, pemimpin, atau siapa saja, sebagai pencitraan. Pencitraan nenek lu. Toh dengan citra dan delusi itulah kini kita hidup. Termasuk di dalamnya ilusi berupa penilaian terhadap diri sendiri secara berlebihan. Lihatlah bagaimana seseorang merasa diri paling benar dan paling pintar di media sosial. Tanpa tahu diri menguliahi siapa saja, termasuk menguliahi presiden.
Nalar terpinggirkan. Gantinya fundamentalisme. Dunia isinya seolah cuma dua hal: salah sekali-benar sekali; cinta sekali-benci sekali; baik sekali-buruk sekali.
Jelas yang menikmati dikotomi benar-salah yang ekstrem itu adalah agama. Konsep sorga-neraka menjadi dagangan laris. Ia didukung produk-produk kebudayaan yang lain, dari fashion sampai film. Hanya di negeri ini ada genre film yang tak ada di negara lain, yakni film religi.
Dengan merosotnya daya nalar, merosot fungsi bahasa. Pada ranah politik, bahasa diselundupkan dalam aksi provokasi, agitasi, dan propaganda. Melalui provokasi seseorang diciptakan sebagai si ini. Setelah itu ditingkatkan lagi melalui agitasi, bahwa si ini berbahaya. Tingkat berikut melalui propaganda diserukan bahwa si ini musuh bersama. Jatuhlah korban, termasuk pemimpin yang dicintai 42 persen penduduk.
Lanjutan dari ramalan Jayabaya: wong apik-apik podo kepencil/wegah nyambut gawe/luwih utomo ngapusi. (Banyak orang baik tersingkir/tidak mau bekerja/lebih utama berbohong).