logo Kompas.id
Lain-lainSolidaritas untuk Bebas...
Iklan

Solidaritas untuk Bebas Bermain

Oleh
· 4 menit baca

Ketika disodori untuk ikut serta pameran seni rupa bertema solidaritas, Bambang Win (56) memilih menampilkan patung anak bermain lompat tali dan balap karung. Ia menumpahkan rasa solidaritasnya berupa naluri hakiki setiap anak untuk bebas bermain. Jadilah, pameran Solidarity, Peace & Justice (Solidaritas, Perdamaian, dan Keadilan) di Balai Budaya Jakarta yang berlangsung 4-11 Januari 2018. Dua patung berjudul "Lompat Tali" dan "Balap Karung" karya Bambang Win ditempatkan di tengah ruang pamer dan mampu menawarkan keceriaan yang sederhana. "Sifat atau naluri anak-anak itu ingin bebas bermain. Bermain bisa apa saja dan di mana saja asalkan dalam situasi perdamaian, tidak ada peperangan, tidak ada situasi yang mengancam, dan sebagainya," kata Bambang Win.Pameran diikuti 28 pelukis dan dua pematung meliputi Bambang Win dan Egy Sae. Selain patung "Lompat Tali" dan "Balap Karung", Bambang juga menampilkan satu patung lainnya, "Young Brother". Patung ini berupa patung dua anak kakak-beradik."Dari patung Young Brother ini saya ingin bercerita tentang anak-anak yang kehilangan orangtuanya akibat peperangan," kata Bambang.Egy Sae dalam pameran tersebut menampilkan satu karya patung berjudul "I\'m Not Magician". Patung itu berbentuk tubuh perempuan yang meliuk lentur hingga pada posisi telentang tetap dengan kaki berdiri.Di bawah bantal Selebihnya, di ruang pamer Balai Budaya Jakarta hadir berbagai lukisan dan seni instalasi lainnya. Ika Ismurdiyahwati membuat seni instalasi berjudul "Mimpi Anak Kampung Kota".Di depan karya lukisannya yang bercorak kanak-kanak, Ika membuat instalasi bantal dengan kertas-kertas bergantungan di bawahnya. Ika ingin menunjukkan mimpi anak-anak kampung kota lewat tulisan-tulisannya yang beterbangan di bawah bantal. Karya Ika terasa satire. Ketika kertas-kertas penuh dengan tulisan itu adalah mimpi, tetapi letaknya tetap saja di bawah bantal. Seakan mimpi itu tidak terbebas lepas dan terbang di udara hingga mewujud menjadi kenyataan-kenyataan. Mimpi-mimpi seolah selalu tersimpan di bawah bantal. Begitu sulitkah mimpi-mimpi anak kampung kota dapat mewujud? Remy Sylado di pameran ini turut menampilkan karya lukisannya yang berjudul "Katakan dengan Bunga". Seorang gadis remaja mengenakan gaun merah menenteng sekuntum bunga. Di bibirnya tersungging senyuman yang penuh dan merekah. Sri Warso Wahono menghadirkan karya lukisan berjudul "Optimisme". Dengan gayanya yang naif, Sri Warso melukis seorang gadis berambut kepang dua. Gadis tegar dan optimistik. Lukisan wajah Gus Dur (Abdurrahman Wahid) ada di antara lukisan-lukisan yang ada. Lukisan itu karya Sohieb Toyaroja. Figur Gus Dur dengan peci dan kacamatanya dilukis secara impresif. Tetapi, tetap saja tidak terasa asing. Bentang alam juga menjadi obyek lukisan menarik bagi Syahnagra Ismail. Syahnagra menampilkan lukisannya yang berjudul "Doa dari Pinggir Sawah"."Ide lukisan ini saya peroleh ketika saya bersepeda menyusuri pinggir-pinggir sawah di Bali," ujar Syahnagra.Lukisan bercorak abstrak dihadirkan Aisul Yanto. Lukisannya berjudul "Energi Perdamaian". Goresan-goresannya berwarna hitam di atas warna dasar putih. Goresan warna hitam seperti bergulung-gulung. Bagi Aisul, itulah energi. Energi untuk perdamaian. Pelukis remaja dengan karunia sindroma asperger Anfield Wibowo turut menyertakan karya lukisnya di pameran itu. Deretan nama seniman lainnya meliputi Ahmad Muhsoni, Anthony Sutanto, AR Sudarto, Cak Kandar, Chrysnanda Dwilaksana, Daniel Rudi Haryanto, Edi Bonetsky, Emmy Go, FX Jefrey Sumampouw, Greg Susanto, Ika Umy Hay, Iidris Brandy, Ireng Halimun, Koko Rajasa, Maria Tiwi, RB Ali, Ridwan Manantik, Robby Lukita, Satya B Pranaya, Yahya TS, dan Yayat Lesmana. Titik nolDalam kuratorial Pameran Solidarity, Peace & Justice yang dituliskan Ika Ismurdiyahwati disebutkan Balai Budaya memegang peranan penting dalam pengembangan seni rupa di Indonesia. Balai Budaya menjadi sarana pendidikan seni, tetapi Ika menilai hal itu makin terlupakan. Sekretaris Jenderal Balai Budaya Jakarta Aisul Yanto menyebutkan, Balai Budaya sejak kelahirannya pada tahun 1954 itu menjadi titik nol pertumbuhan seni rupa, khususnya, setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945. Balai Budaya merupakan infrastruktur seni rupa yang pertama dibangun oleh pemerintah."Di tempat ini pernah dua kali pameran seni rupa dibuka oleh Presiden Soekarno," ujar Aisul.Aisul bersama jajaran pengurus Balai Budaya Jakarta lainnya kini terus menggairahkan para seniman untuk berkarya dan berpameran di Balai Budaya. Keberadaan dan kelangsungan hidup Balai Budaya, menurut Ika Ismurdiyahwati, dirasakan sampai saat ini makin terlupakan. Ika mengutip Nunus Supardi (2015), "Mirip purnawirawan perang yang telah berjuang mempertahankan kemerdekaan bangsa, yang terlupakan jasanya di masa sekarang ini."Dalam situasi Balai Budaya seperti itu, Bambang Win menyodorkan nilai sederhana. Solidaritas untuk bebas bermain bisa relevan pula untuk Balai Budaya yang dianggap kian terlupakan. (Nawa Tunggal)

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000