Di media digital bahasa Indonesia kerap tampil kikuk, seumpama orang terjebak situasi salah kostum. Menghadiri pemakaman dalam busana pesta atau sebaliknya. Serba salah, tetapi terus terjadi karena dua alasan. Pertama, karena pelaku tak tahu dan tak mau belajar. Kedua, pelaku tak sendirian dan, karena beramai-ramai, mereka tak merasa bersalah atau bermasalah.
Inilah kalimat-kalimat dari berbagai media. ”Istana: Menteri dari PKS Tak Diundang Hadir”. Sang menteri tak diundang namun tetap hadir, atau bagaimana? Ini penjelasannya: ”Ternyata mereka memang tidak diundang untuk hadir.” Wacana yang simpel malah dibikin rumit.
Sifat ekonomis bahasa Inggris cenderung membuat lengah. Acap kali kosakata asing dicomot begitu saja, misalnya, ”Jokowi Resmikan Groundbreaking Rel Ganda KA Bogor-Sukabumi”. Terjemahan ”peletakan batu pertama” buat berita memang terasa bertele-tele, dan tidak selalu pas, tetapi wartawan harus kreatif. Kamus hanya panduan pemaknaan untuk mencari padanan kata yang pas bagi suatu wacana atau konteks. Karena itu, perbendaharaan kata adalah modal pokok para jurnalis, tetapi justru ini kelemahan awak pers masa kini.
Memecah batu karang kelembaman jurnalis yang gagal menaklukkan istilah groundbreaking, Presiden Jokowi memberi contoh kalimat bagus di akun media sosial: ”Hari ini pembangunan jalur ganda kereta api Bogor-Sukabumi dimulai.” Simpel, jitu.
Minimnya perbendaharaan kata wartawan berakibat diksi yang kacau-balau di dalam kalimat. Ini contohnya: ”(Lagu) ’Gugur Bunga’ Mengharu Biru Pemakaman”. Jauh dari suasana haru, makna mengharu biru adalah mengacaukan.
Dua kata yang habis-habisan dikorupsi maknanya adalah usai dan pasca. Usai berarti ’bubar; berakhir; selesai’, tapi sering dipakai untuk arti ’setelah’. Misalnya: ”Usai terpilih sebagai Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto akan dikukuhkan di Munaslub”, dan ”Usai Sebulan Suami Meninggal, Suryani Gantung Diri”, ”Teknisi Tewas Usai Jatuh dari Tiang Listrik”.
Pasca- adalah unsur terikat yang artinya ’setelah’, tetapi khusus bagi konteks momentum, orde, atau periode. Contoh: pascaoperasi, pascapanen. Sebagai unsur terikat, pasca- ditulis melekat pada nomina alias kata benda, maka tidak bisa ditulis ”Kota itu butuh biaya perbaikan pasca-jatuhnya meteorit”. Nama orang memang nomina, tetapi nama itu harus menandai suatu era, misalnya ”RI pasca-Soeharto”. Tak bisa ditulis: ”Pasca Trump klaim Yerusalem sebagai ibu kota Israel.” Di sini, Trump adalah subyek yang melakukan sesuatu, bukan sebutan rezimnya.
Dalam berita tentang benda terbang tak dikenal di Inggris, reporter menulis, ”’Ada yang bisa buktikan itu benar-benar UFO?’ heran warga bernama Randy Clarke.” Heran ialah kata sifat, tak bisa menggantikan kata kerja ujar. Seharusnya ditulis: ”Ada yang bisa buktikan itu benar-benar UFO?” ujar Randy Clarke yang heran (terheran-heran).
Perihal peringkat, wartawan olahraga gemar berimprovisasi: ”Irene Sukandar Huni Peringkat Pertama Grand Europe”. Pilihan kata huni menunjukkan rasa bahasa kurang elok, tapi ini tak selalu terpikirkan oleh reporter. Contoh lain: ”Duduk sebagai pemuncak klasemen sementara memengaruhi kondisi mental pemain.” Sedangkan reporter musik menulis: ”Album terbaru Black Sabath puncaki tangga lagu Inggris.” Subyek pemuncak dan predikat memuncaki sudah ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia. Apakah ini berarti publik telah menerima? Kasusnya mungkin sama dengan bentukan subyek pemotor dan pejilbab hasil kerajinan tangan reporter.
Ada juga reporter ”nakal” yang menulis: ”Tiga Menteri Tiba di Kemenkoperek.” Untuk suatu berita formal, akronim itu ibarat banyolan yang salah tempat. Kita tahu, kepanjangan akronim itu Kementerian Koordinator Perekonomian. Sedangkan perek adalah akronim dalam bahasa slang dari ”perempuan eksperimen” yang bermotif pelecehan.