Listrik Masih Jadi Kendala
SPBU di Kampung Osso, Distrik Mindiptana, Kabupaten Boven Digoel, Papua, adalah salah satu SPBU yang menjual bahan bakar minyak (BBM) menggunakan gayung besi. Gayung besi itu disebut canting oleh masyarakat sekitar.
Listrik belum mengalir di SPBU tersebut. BBM jenis premium dan solar bersubsidi yang dijual di SPBU tersebut dikemas dalam jeriken berukuran 1, 2, 3, 5, dan 20 liter.
Nikson Pampang, pemilik SPBU di Kampung Osso, mengatakan, lantaran belum ada listrik, BBM dari kilang penampungan dipindah ke dalam jeriken dengan berbagai ukuran menggunakan gayung besi. SPBU dengan dispenser bermulut selang
(nozzle) membutuhkan tenaga listrik. Pemakaian mesin genset untuk mengoperasikan dispenser akan membuat biaya operasional membengkak.
”Seandainya listrik sudah ada, kami akan berpindah menggunakan nozzle dengan sistem digital. Itu pun jika volume BBM yang terjual meningkat,” kata Nikson, Jumat (19/1), saat ditemui di SPBU tersebut.
Di SPBU Kampung Osso, dalam sehari, premium yang terjual 1.000 liter dan solar bersubsidi 500 liter. Sebagai perbandingan, volume BBM yang terjual di SPBU di Tanah Merah, ibu kota Boven Digoel, rata-rata untuk premium 3.000 liter dan solar bersubsidi 1.500-2.000 liter per hari. SPBU di Kampung Osso adalah SPBU yang masuk dalam program BBM satu harga dan beroperasi sejak Desember 2017.
Uji tera
Sales Executive Retail Wilayah I MOR VIII Pertamina Agung Dodo Wibowo mengatakan, gayung besi yang dipakai di SPBU tersebut telah lolos uji tera dari balai metrologi. Penggunaan tabung kaca berangka yang kerap dipakai penjual bensin eceran justru tidak layak ditera oleh balai metrologi.
”Dari 74 SPBU di 19 kabupaten di Papua, 28 SPBU masih menggunakan canting. Ini disebabkan pasokan listrik yang terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali,” ujar Agung.
Kepala BPH Migas Fanshurullah Asa mengusulkan pemanfaatan panel tenaga surya sebagai sumber listrik untuk memasok tenaga listrik di SPBU yang masih memakai gayung besi. Dengan demikian, SPBU dapat beroperasi memakai dispenser dengan nozzle. Selain itu, penggunaan
sistem digital juga akan lebih akurat dan memudahkan penjualan BBM dalam berbagai nilai.
”Saya rasa perlu dipikirkan penggunaan panel tenaga surya untuk memasok listrik di SPBU yang masih memakai canting. Apalagi, SPBU itu umumnya hanya beroperasi pada siang hari,” ujar Fanshurullah.
Kendati belum bisa menghilangkan penjualan BBM eceran, keberadaan SPBU di Kampung Osso bisa menurunkan harga BBM yang dijual pengecer. Salah seorang pengecer di Kampung Osso, Khaerudin, mengatakan, sebelum SPBU tersebut beroperasi, ia bisa menjual premium eceran seharga Rp 12.000-Rp 15.000 per liter.
”Kini, setelah SPBU beroperasi, bensin yang saya jual paling mahal Rp 10.000 per liter,” kata Khaerudin.
Sejak 2016, pemerintah membuat kebijakan BBM satu harga untuk wilayah terpencil, terluar, dan terdepan. Tujuan program tersebut adalah menciptakan harga BBM yang sama di seluruh Indonesia, yaitu untuk jenis premium dan solar bersubsidi.
Program ini dilaksanakan dengan memperbanyak pembangunan agen penyalur BBM.
Sampai 2019, pemerintah menargetkan pelaksanaan program BBM satu harga di 150 lokasi. Sampai akhir 2017, program BBM satu harga terealisasi di 57 lokasi. Adapun untuk tahun ini, pemerintah menargetkan bisa terealisasi di 54 lokasi.
Selain memperbanyak pembangunan lembaga penyalur, BPH Migas juga berencana bekerja sama dengan Kepolisian RI untuk mengawasi penjualan BBM di SPBU yang masuk dalam program BBM satu harga. Tujuannya mencegah pembelian BBM secara berlebihan, seperti menggunakan jeriken atau tangki kendaraan yang dimodifikasi. Dengan demikian, pasokan BBM untuk masyarakat dapat terjaga. (APO)