Tantangan Asia Tenggara
Vatikiotis menyebut tiga tantangan internal dan eksternal yang memengaruhi stabilitas Asia Tenggara. Pertama, pelbagai konflik di Asia Tenggara berdampak signifikan bagi masyarakat di negara-negara Asia Tenggara dan membayangi kemajuan politik di wilayah mereka. Kedua, ancaman atas keberagaman etnis dan agama yang harmonis di Asia Tenggara karena ketimpangan ekonomi dan beragamnya konflik internal di setiap negara. Ketiga, Asia Tenggara menjadi tempat persaingan negara-negara besar. Amerika Serikat (AS mewakili Barat) berupaya menahan pengaruh China di Asia Tenggara. Ini menciptakan friksi geopolitik dan kompetisi pengaruh di antara mereka.
Ancaman dan stabilitas
Mengenai dinamika kekuasaan dan dampaknya bagi masyarakat, Vatikiotis memberi contoh bagaimana penanganan demonstrasi mahasiswa di Thailand pada tahun 1970-an dan konflik di Aceh yang memberikan dampak bagi masyarakat di kedua negara tersebut. Juga disebutkan bagaimana para elite memanfaatkan hukum dan institusi terkait isu etnis dan agama demi kepentingan kekuasaan sesaat.
Monarki masih penting dalam politik di Asia Tenggara. Meskipun monarki yang masih eksis atau yang sudah tidak eksis berupaya membuat sistem lebih setara, hubungan kekuasaan, tradisi asli, dan peranan mereka masih berakar dalam politik dan ekonomi di masyarakat Asia Tenggara (hal 81-82).
Selanjutnya, tata kelola pemerintahan menjadi tantangan bagi negara-negara Asia Tenggara karena pelbagai aktivitas institusi formal tak selalu mengikuti prinsip yang benar dan berupaya mencapai tujuan ideal. Patronase lebih penting daripada meritokrasi. Pemegang kekuasaan tradisional terkadang menolak proses demokrasi dan hasil pemilu sehingga menjadi potensi konflik yang memecah masyarakat, seperti di Thailand. Demokrasi masih menjadi delusi (hal 170-171).
Vatikiotis menambahkan bahwa korupsi ada di setiap tingkatan dari beberapa pemerintahan di Asia Tenggara. Pemberian uang suap bagi dan kerakusan dari para pemimpin menjadi hambatan reformasi politik dan perubahan di masyarakat. Akibatnya, korupsi dan suap-menyuap menjadi cara agar bisnis dapat berjalan lancar di sebagian negara di Asia Tenggara (hal 180).
Mengenai ancaman disharmoni atas keberagaman agama dan etnis karena ketimpangan ekonomi dan sosial masyarakat, Vatikiotis menunjukkan bahwa meningkatnya investasi dan produktivitas ekonomi di Asia Tenggara belum bisa menciptakan keadilan sosial ekonomi.
Ketidakpastian ekonomi dan sosial menjadikan masyarakat di kawasan ini makin religius dan ini menjadi faktor yang memengaruhi peningkatan ekstremisme di masyarakat Asia Tenggara. Demikian juga dengan urbanisasi dan migrasi mengakibatkan masyarakat tercerabut dari tradisi keluarga yang awalnya erat dan perlahan hilang (hal 235).
Tantangan lain adalah pelbagai konflik internal di negara-negara Asia Tenggara, seperti di Filipina Selatan, Thailand (Patani), dan Myanmar (Karen dan Kachin State). Kedaulatan negara, marjinalisasi, dan minimnya dialog menjadi alasan mengapa konflik tetap ada. Kedaulatan adalah isu sensitif bagi negara yang baru merdeka karena sejarah perjuangan saat mendapatkannya. Namun, identitas dan tuntutan kebebasan menjadi alasan bagi pelbagai daerah yang mau memisahkan diri dari negara-negaranya. Lambatnya pemerintah pusat mengadopsi pelbagai aspirasi daerah akan menciptakan konflik internal di negara tersebut (hal 213 dan 223).
Kemudian ada paradoks pada masa transisi demokrasi di beberapa negara di Asia Tenggara. Paradoksnya adalah lingkungan politik yang lebih terbuka menciptakan masyarakat yang pandangannya lebih tertutup dan sulit menerima perbedaan dengan pihak lain.
Persaingan pengaruh
Barat berupaya mempertahankan pengaruhnya di Asia Tenggara, tetapi mereka perlu mengerti secara utuh tentang dinamika kekuatan dan situasi masyarakat terkini di Asia Tenggara. Ketidakmengertian mereka atas dua hal tersebut akan membuat mereka salah mengerti tentang Asia Tenggara. Demikian pula dengan China. Perluasan pengaruh China ke Asia Tenggara telah memberikan perubahan di Kamboja dan Laos. Ketidakpahaman China atas hal yang sama dapat menggerus pengaruhnya di kawasan.
Vatikiotis mengatakan, Pemerintah AS belum memiliki politik luar negeri yang jelas terkait Asia Tenggara karena mengurangi multilateralisme Asia (keluar dari pakta perdagangan TPP) dan fokus pada masalah dalam negeri. Lalu, China dan Rusia meningkatkan kehadiran mereka di Asia Tenggara secara politik, keamanan, dan ekonomi.
Vatikiotis memprediksi bahwa Asia Tenggara 2050 akan fokus pada desentralisasi dan mendukung otonomi. Negara-negara Asia Tenggara akan lebih berafiliasi dan berhubungan berdasarkan kedekatan geografis, ketergantungan ekonomi, dan kedekatan budaya dengan China. Konsekuensinya, pengaruh Barat di Asia Tenggara dapat digantikan negara-negara Asia. Untuk mengimbanginya, Barat tak hanya perlu investasi ekonomi, tetapi juga human security, artinya menggunakan pendekatan hard power dan soft power (hlm 300-301).
Momentum
Dalam buku Blood and Silk, Vatikiotis lebih menggambarkan fungsi ASEAN di Asia Tenggara secara umum. Penulis belum menganalisis ASEAN secara mendalam dan mengapresiasi peranan ASEAN sebagai platform kerja sama pelbagai negara di Asia Tenggara. Padahal, ASEAN juga ikut menjaga perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara, mengelola perbedaan antarpelbagai negara, mendukung pertumbuhan ekonomi regional, serta mengupayakan saling pengertian sosial dan budaya antarmasyarakat di Asia Tenggara.
Tantangan internal dan eksternal Asia Tenggara adalah momentum untuk mempersatukan Indonesia. Relevansinya, persatuan Indonesia (pemerintah dan rakyatnya) dapat mendukung reformasi internal, pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif, dan menjaga perdamaian di Asia Tenggara.
Beginda Pakpahan, M.Phil., Ph.D., Analis Politik dan Ekonomi Global UI (PhD Politik dan HI dari The University of Edinburgh)