Ketunggalan Dua Jalan Berbeda
Sabtu (13/1/2018). Sofa tempat saya diajak duduk tidak hanya empuk, tetapi kulit yang melapisinya juga mengeluarkan bau pekat, sumbangan khas ”waktu” yang telah berlalu. Saya memang duduk di kursi tamu seorang cendekia borju Paris. Kami ”ngoceh” tentang situasi sosiopolitik Indonesia. Seratus meter dari apartemennya terdapat teater neoklasik Odeon nan indah. Sulit membayangkan saya tengah berada di sarang pribadi seorang revolusioner.
Orang itu bernama Regis Debray (1940-). Seandainya Anda belum pernah mendengar nama ini, Anda pasti mengenal wajah berjenggot dari tokoh yang ditemaninya ketika mereka berdua ditangkap di rimba Bolivia pada tahun 1967, Che Guevara. Si Che terluka pada waktu kontak senjata dan dihabisi tentara Bolivia bayaran CIA. Wajahnya lalu menjadi ikon para pemberontak sedunia. Regis Debray, berkat keajaiban paspornya, dibebaskan pada tahun 1970.
Di buku Revolution in Revolution, Debray meneorikan revolusi terhadap sistem komprador-imperialis yang berlaku di Amerika Latin dan bagaimana mendirikan Kuba-Kuba baru. Asumsinya khas Marxis: alur sejarah diyakini ditentukan evolusi teknologi dan modus distribusi sosial sumber daya; kemampuan merealisasikan keadilan sosial bergantung pada kadar ”kesadaran” historis rakyat: mampukah melakukan revolusi atau tidak?
Namun, setalah dibebaskan, Debray membiarkan realitas dan bukan ideologi menjadi gurunya: sejarah tidak mungkin ditaklukkan. Ia beruluran tiada henti, dengan suatu napas panjang lokal, yang meski dipengaruhi determinasi ekonomi dan ”kesadaran"” senantiasa melampaui determinasi tersebut. Jadi, bak Marx terhadap Hegel, Regis membalikkan asumi dasar Marxisme untuk sedikit demi sedikit menyusun teori baru: ”mediologi”, yang mengaitkan napas budaya pada ruang ”negeri” di dalam rentang waktu yang panjang negeri Perancis, negeri Eropa, dan lain-lain. Lalu, tidak mengherankan jika, di bawah bayangan teater Odeon, kami berdua berbicara tentang kebudayaan ”Nusantara” dan subnegeri-negerinya. Dia bahkan bertanya mengapa saya terlahir di Perancis, lalu mengagumi Nusantara? Ternyata sang revolusioner telah menjadi penyanjung dari keadiluhungan setiap budaya—apakah Perancis, Eropa atau bahkan Indonesia—yang mampu menumbuhkan humanisme. Suatu evolusi politiknya yang menarik, kan?
Jumat (19/1/2018). Mari kita menyandingkan situasi di atas dengan apa yang terjadi di Indonesia pada waktu yang sama, awal tahun 1960-an. Di situ retorika kiri radikal menguasai medan. PKI dan Lekra mengumandangkan semboyan revolusi, antiimperialisme dan keadilan sosial. Kebebasan berpikir dianggap sebagai privilege kelas. Seni dan sastra dituntut menjadi tumpangan perjuangan revolusioner. Seolah-olah revolusi real di ambang pintu. Lalu, bagai petir di langit biru terbitlahManifesto Kebudayaan (Manikebu-1963), yang menyatakan bahwa seni budaya harus bebas dari intervensi politik apa pun. Wah! Siapa berada di antara pemrakarsa utama manifesto liberal itu? Goenawan Mohammad (1941-).
Di sini, seperti juga pada tokoh Regis Debray, sejarah menjadi pribadi. Saya tidak mengenal lika-liku riwayat Mas Goen, tetapi saya bisa membaca benang emasnya. Seusai melawan Lekra atas nama ”kebebasan berpikir”, dia harus menyaksikan pembasmiannya setelah 30 September 1965. Jauh dari bertepuk tangan, dia justru prihatin dan tetap memperjuangkan ”kebebasan berpikir”, termasuk bagi musuhnya. Dia lalu mendirikan Tempo, membela eks-tapol dan lain-lain. Ketika Tempo dibredel, dimunculkannya kembali. Dia tampil sebagai oponen utama dari rezim militer Soeharto.
Lalu, ketika akhirnya datanglah reformasi dan dia melihat kesenjangan sosial kian meluas, apa yang dilakukan Mas Goen? Memberikan kuliah tentang Marxisme! Bukan sebagai alat politik ataupun sebagai ideologi, melainkan sebagai instrumen analisis dari sejarah dan masyarakat. Jika ingin melawan ketidakadilan sosial, bukankah harus dulu menyadari adanya dasar ekonomi pada struktur kelas, baru kebijakan bisa efisien. Paling sedikit itulah tafsir saya atas pemikiran Mas Goen yang tidak lagi peduli jika kini dituduh ”jualan Marxisme” dan antiagama seperti dulu dicap antek Amerika. Kanan atau kiri, baginya, telah kehilangan arti.
Kesimpulannya? Satu generasi. Dua jalur hidup diselang tragedi: Regis Debray dan Mas Goen dengan dua ragam asumsi politik dasar, ”kiri” dan ”kanan”, yang bertolak belakang satu sama lainnya. Namun, entah bagaimana, kedua tokoh kita mampu mempertanyakan bukan cuma realitas di sekitar, melainkan juga asumsi dasar diri sendiri sebagai bagian dari realitas tersebut. Itulah kunci dari humanisme lintas ideologi yang akhirnya diyakininya.
Maka hormat untuk kedua tokoh kita.