Menjadi Bagian dari Sejarah MRT Jakarta
Sedih? Sedikit. Kecewa? Iya. Ternyata, kami, para jurnalis yang tergabung dalam MRT Fellowship 2017, tidak boleh memotret dan merekam video di pabrik kereta Nippon Sharyo, Jepang. Karena tuan rumah sudah menetapkan peraturan itu, dengan berat hati, perjumpaan pertama dengan kereta MRT yang akan melaju di Jakarta itu hanya dapat diceritakan.
”Saya langsung mati ide, sebenarnya,” kata Dita, Laila Hajarul Aswadita, dari TV One. Seperti Dita, kami juga telah menyusun detail gambar untuk video yang akan direkam. Saya juga telah menetapkan sequence video ataupun foto.
Penjelasan dari para direktur dan manajer Nippon Sharyo sempat tidak kami hiraukan. Namun, peraturan tetap peraturan. Kami menerimanya walau dengan hati kecewa.
Apa pun, di dunia perkeretaapian, nama Nippon Sharyo cukup kondang sebagai pabrikan kereta bereputasi apik. Shinkansen pertama telah diproduksi Nippon Sharyo tahun 1964. Bayangkan, Nippon Sharyo telah mampu memproduksi bullet train alias kereta peluru pada tahun itu ketika transportasi berbasis rel di Jakarta sekalipun belum apa-apa.
Seolah melihat mendung di wajah kami, Nippon Sharyo mengajak kami berfoto bersama di depan kereta Shinkansen edisi pertama yang telah dimuseumkan. Shinkansen Seri 0, begitu mereka menyebutnya.
Seru juga. Sederetan kursi dengan jumlah sesuai jumlah rombongan kami telah di depan kepala Shinkansen. Karena ada kursi, kami berfoto dengan gaya resmi dan serius sekali. ”Wah, Nippon Sharyo langsung menyiapkan kursi. Mungkin antisipasi daripada kita bergaya bebas, ya,” ujar saya, yang disambut tawa teman-teman.
Selain dari Kompas, peserta MRT Fellowship 2017 berasal dari sejumlah media, yakni jurnalis dari Tempo online Friski Riana, dari koran Jawa Pos Masria Pane, dari Metrotvnews.com Intan Fauzi, serta dari TV One Laila Hajarul Aswadita.
Seusai berfoto, dimulailah penjelajahan pabrik. Pemandangan pertama adalah serangkaian kereta Shinkansen baru yang diparkir di luar gedung pabrik. Fresh from the oven! Seruan kagum segera didengar.
Di Nippon Sharyo, kami dilarang memotret. Tetapi, bagaimana dengan menyentuh? ”Pak, boleh dipegang?” tanya saya. Ternyata diperbolehkan oleh pimpinan pabrik. Saya pun menyentuhnya dengan tersenyum-senyum sendiri.
”Shinkansen ini sudah diuji. Siap dikirim ke operator,” kata Hiroyuki Idei, General Manager International Project Department Rolling Stock Division, Nippon Sharyo, Ltd. Kapan kereta cepat seperti itu melaju di Indonesia, ya?
Puas menjelajahi area pabrik yang memproduksi kereta Shinkansen, dari ujung ekor ke ujung kepala naga besi itu, akhirnya kami dibawa ke bagian pabrik di mana kereta untuk MRT Jakarta diproduksi. Wah, ibarat mau berjumpa artis pujaan, kami deg-degan, cemas, sampai seperti linglung rasanya.
Begitu terlihat, spontan saya berjalan cepat mendekati kereta bercat biru tua yang berdiri kokoh. Itulah kereta MRT Jakarta. ”Keren sekali,” kata saya.
Bangku plastik warna biru saya sentuh. Tangan saya mengelus pintu kereta, memegang pegangan tangan untuk penumpang, juga meraba dinding kereta.
Seperti anak kecil mendapatkan mainan baru, saya berjalan-jalan ke setiap sudut kereta. Bangku plastik warna biru saya sentuh. Tangan saya mengelus pintu kereta, memegang pegangan tangan untuk penumpang, juga meraba dinding kereta. Saya berjalan dari depan ke belakang kereta, lalu masuk keluar kereta. Hidung saya mengendus seolah membaui aroma barang baru.
”Cakep ya keretanya. Tidak kalah keren sama kereta-kereta yang kita naiki selama di Tokyo,” ujar Friski, teman jurnalis dari Tempo online penuh semangat.
Tiba-tiba Yuichi Ishikawa dari Nippon Sharyo mengacungkan kamera saku yang dibawanya. Dia menawarkan untuk memotret bagian kereta yang kami inginkan. Tidak menyia-nyiakan kesempatan, saya mendekati Ishikawa-san dan memintanya memotret segala sudut kereta yang menarik.
Melihat kereta biru itu, saya sempat agak emosi, terharu, senang, dan bangga. Terharu rasanya melihat Jakarta akan memiliki satu moda transportasi modern yang akan menyejajarkan Jakarta dengan kota-kota dunia lain. Terlebih lagi, MRT akan menjadi pilihan mobilitas warga Ibu Kota sehingga dapat mengurangi penderitaan akibat kemacetan Jakarta yang mengerikan itu.
Para pekerja pabrik Nippon Sharyo pun terlihat mempercepat produksi demi memenuhi jadwal operasional MRT. Menurut William P Sabandar, Direktur Utama PT MRT Jakarta, akhir Desember 2017, enam unit kereta (satu rangkaian) akan tiba di Jakarta pada Februari-Maret tahun ini.
Sebenarnya, kami juga diberi kesempatan melihat mock up kereta pertama yang sempat dipesan MRT walau kemudian desainnya diubah karena sempat dinilai mirip ”jangkrik”. Namun, kami terlalu asyik di sekitar ”si Biru” sehingga tidak terasa alokasi waktu 2,5 jam dari Nippon Sharyo sudah habis.
Di Nippon Sharyo, kami sempat bertemu sejumlah anak muda Indonesia yang magang. Biasanya, magang berlangsung tiga tahun. Mereka terbagi-bagi di sejumlah divisi. Ada yang berlatih di divisi mesin kereta, ada yang di bagian boogie kereta, ataupun di bagian badan kereta.
”Saya menikmati betul bekerja di sini. Budaya bekerjanya sungguh berbeda dengan di Indonesia. Di sini serba efisien, dengan aspek keselamatan sangat utama,” ujar Syaifudin (22), pemuda asal Madiun, Jawa Timur.
Usai magang di Jepang, mereka menekankan keinginannya untuk dapat berperan dalam perkeretaapian di Indonesia. Semoga saja, harapan mereka dapat terpenuhi.
Selama kunjungan di Jepang, kami seolah tidak pernah berpaling dari kereta api. Nyaris seluruh perjalanan dilakukan dengan kereta. Mulai subway atau yang nanti kita kenal sebagai MRT, kereta lokal, hingga kereta cepat Shinkansen.
Menuju pabrik Nippon Sharyo di Toyokawa, misalnya, kami sempat menumpang Shinkansen. Dengan kecepatan hingga 285 km per jam, jarak tempuh 84,2 km dari kota Nagoya ke kota Toyokawa—setara jarak Jakarta-Purwakarta—ditempuh hanya dalam 30 menit. Cepatnya….
Kami juga berperilaku seperti orang Jepang. Demi efisiensi waktu, orang Jepang makan siang atau makan sore saat kereta melaju. Kami pun demikian. Tim dari MRT membeli bento atau makanan siap saji yang dikemas manis di dalam kotak untuk disantap di kereta.
Toko khusus bento nyaris ada di semua stasiun di Jepang. Jadi, jangan khawatir. Makanan bento ini sudah seperti makanan cepat saji sifatnya, tetapi dalam sajian lebih sehat karena seperti menu rumahan.
Ketika saya perhatikan, pengguna kereta di Jepang, khususnya di jam-jam sibuk, amat banyak. Akan tetapi, saya tidak melihat keributan atau perilaku dorong-mendorong saat masuk ataupun keluar kereta.
Bandingkan dengan perilaku penumpang kereta di Jakarta, misalnya, di Stasiun Tanah Abang. Begitu kereta komuter tiba stasiun tujuan, sering kali penumpang tidak dapat keluar. Kenapa? Karena penumpang yang masuk lebih galak.
Apabila diingatkan untuk memberi jalan kepada penumpang yang keluar kereta, mereka justru marah-marah, bahkan ngamuk. Petugas keamanan yang berjaga-jaga sering kali kalah gertak dengan penumpang.
Di Jepang, untuk keluar stasiun atau berpindah peron, lazim bagi mereka untuk berjalan kaki walau saat naik eskalator. Saat tidak terburu-buru, mereka akan berdiri di sisi kiri dari tangga berjalan. Ruang kosong di kanan untuk penumpang yang terburu-buru mengejar kereta. Tidak ada cerita, eskalator penuh penumpang yang berdiri diam menghalangi jalan penumpang lain.
Mau tidak mau, saya berpikir ada sesuatu yang salah dengan pendidikan etika masyarakat Indonesia. Tidak ada kedisiplinan, tidak mau antre, tidak mau bergantian, tidak mau menghormati penumpang lain, tidak bisa tertib, dan juga seenaknya.
Selama di Jepang, saya juga belajar tentang ketepatan waktu. Hampir semua kunjungan diatur, mulai dari jam sekian hingga jam sekian. Kami terus berkomunikasi di grup Whatsapp setiap saat, saling mengingatkan besok pagi jumpa di titik A jam sekian untuk naik kereta jam sekian. Saat tiba di stasiun tujuan, tim penjemput sudah menanti. Lalu, kami dapat tiba di lokasi acara sesuai alokasi waktu.
Tokyo ternyata juga seolah kota yang tidak pernah mati. Mungkin, kondisi itu tercipta dari transportasi andal yang dapat melayani segenap penghuni kota. Segala persimpangan dan penyeberangan selalu dipenuhi manusia meski di musim gugur yang mengigil sekalipun.
Kaki saya, jujur saja belum terbiasa diajak ”melompat-lompat” dari satu moda transportasi ke moda transportasi lain. Saya terbiasa dimanjakan layanan ojek daring, seperti Gojek atau Grab, sehingga seolah semua orang di Tokyo berjalan dengan kecepatan maksimal menuju tujuan mereka. Sementara saya berjalan seperti siput yang terseok-seok menyamakan kecepatan berjalan mereka agar tidak tertabrak.
Dengan pengalaman itu, saya jadi paham mengapa perempuan Jepang terlihat sehat, bugar, dan lincah. Ah, saya jadi merindukan trotoar Tokyo yang lebar dan nyaman buat berjalan kaki tanpa ada pedagang kaki lima atau mobil atau motor yang asal parkir.
Musim gugur yang tak terlupakan. Menjadi bagian dari sejarah persiapan operasi MRT melalui peliputan memberi pengalaman banyak hal.