Menjaga Langkah Maju Demokrasi
Munculnya dua nama perwira tinggi Kepolisian RI yang diusulkan untuk mengisi jabatan sementara gubernur di Sumatera Utara dan Jawa Barat memantik perbincangan.
Kedua perwira tinggi Kepolisian yang diusulkan itu adalah Asisten Operasi Polri Inspektur Jenderal M Iriawan untuk Jawa Barat serta Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri Irjen Martuani Sormin untuk Sumut.
Usulan itu bermula dari adanya sejumlah daerah yang harus dipimpin oleh pelaksana tugas atau penjabat. Ini terjadi karena kepada daerah setempat maju kembali dalam pilkada atau sudah mengakhiri jabatannya sebelum pejabat definitif dilantik.
Pada saat yang sama, pejabat dengan level eselon I di Kementerian Dalam Negeri tidak mencukupi. Bahkan, sampai saat ini masih ada beberapa jabatan yang diisi pejabat dengan status pelaksana tugas, seperti sekretaris jenderal dan direktur jenderal bina pembangunan daerah. Jumlah pejabat di Kemendagri, menurut Mendagri Tjahjo Kumolo, tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pengisian jabatan sementara kepala daerah jelang pilkada.
Hal itu membuat Kemendagri menyurati sejumlah kementerian dan lembaga untuk mengusulkan sejumlah nama guna menjadi penjabat sementara pelaksana tugas kepala daerah. Kepolisian Negara RI merespons surat itu dengan mengusulkan Iriawan dan Martuani.
Alasan utama yang digunakan Tjahjo ketika menjelaskan persoalan ini adalah kapasitas dan kapabilitas keduanya dalam masalah keamanan.
Diskusi Satu Meja di Kompas TV yang dipandu oleh Pemimpin Redaksi Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Senin (30/1) malam, mengangkat masalah ini sebagai topik utama. Empat narasumber yang dihadirkan adalah Sumarsono (Direktur Jenderal Otonomi Daerah yang juga Kepala Desk Pilkada Kemendagri), Arif Wibowo (anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P), Tb Ace Hasan Syadzily (anggota Komisi II DPR Fraksi Partai Golkar), dan Jayadi Hanan (Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research Center).
Pembenar
Sumarsono mengatakan, ada suasana khas dalam pilkada di beberapa tempat. Sebagai contoh, di Jawa Barat ada mantan Kepala Polda Jabar yang kini maju sebagai bakal calon wakil gubernur, yaitu Irjen Anton Charliyan,
Pada saat sama, yang akan diusulkan untuk jadi penjabat gubernur di provinsi itu juga mantan Kepala Polda Jabar, yaitu Iriawan. ”Ini yang jadi persoalan politis akhirnya,” katanya.
Arif Wibowo mengatakan, pengusulan itu tidak menjadi masalah karena dalam peraturan perundang-undangan, khususnya Pasal 109 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota TNI dan Polri pada level tertentu sesuai dengan kepangkatannya bisa menduduki jabatan pimpinan tinggi di pemerintahan sipil. Level dan jabatan tertentu yang dimaksud adalah eselon I di kementerian atau posisi setara di lembaga lain, termasuk TNI dan Polri.
Pada saat yang sama, dalam posisi menduduki jabatan sementara (ad hoc), menurut Arif, penjabat gubernur juga dibatasi gerak-geriknya oleh peraturan perundang-undangan. Mereka tidak akan bisa bergerak bebas.
Namun, Ace Hasan menyatakan, alasan tersebut tidak bisa dijadikan pembenar. Menurut dia, pengisian jabatan pimpinan tinggi oleh TNI dan Polri tidak bisa dilakukan di semua tempat. Pengisian jabatan oleh perwira tinggi TNI atau Polri hanya bisa dilakukan terhadap posisi di lembaga atau kementerian yang membutuhkan keahlian khusus mereka, di antaranya di Kementerian Pertahanan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, serta Badan Sandi dan Siber Negara.
Tidak hanya itu, menurut Ace, paradigma yang ada di kedua institusi berbeda. ”Kalau ASN paradigmanya adalah melayani masyarakat, sedangkan di kepolisian adalah penjagaan keamanan dan ketertiban masyarakat,” ujarnya.
Alat kekuasaan
Jayadi Hanan mengatakan, keengganan publik untuk menerima perwira tinggi Polri atau TNI aktif sebagai pejabat sipil masih terasa dalam beberapa tahun terakhir. Yang diinginkan oleh masyarakat, menurut dia, adalah individu-individu dari kedua lembaga tersebut mundur secara penuh dari kelembagaan sebelum terjun ke dunia politik praktis, termasuk mengisi jabatan sipil di pemerintahan.
Masyarakat pun dinilai masih memiliki pandangan bahwa polisi dan TNI cenderung menjadi alat kekuasaan yang bisa digerakkan sewaktu-waktu untuk memenangi kontestasi politik penguasa. ”Sangat mudah dituduh ada konflik kepentingan, apalagi ada jenderal polisi yang akan berkontestasi. Pada saat yang sama, di Sumut ada Djarot (Djarot Saiful Hidayat) yang diusung oleh PDI-P. Mendagri Tjahjo Kumolo adalah mantan politisi PDI-P. Konteks politik inilah yang membuat ini timbul,” katanya.
Dalam konteks netralitas, Jayadi juga menilai bahwa ASN, TNI, serta Polri tetap berbeda karena dua lembaga terakhir memiliki kewenangan untuk menggunakan senjata. ”Ini yang membedakan sehingga harus benar-benar ketat dalam membatasinya,” ucapnya.
Sementara itu, komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara, Nuraida Mokhsen, menuturkan, pengisian jabatan sipil tertentu harus dilakukan dengan mempertimbangkan kecakapan dan keahlian personel yang bersangkutan. Selain itu, menurut dia, UU ASN pun hanya membolehkan personel kedua lembaga tersebut mengisi jabatan di instansi pemerintah pusat (kementerian dan lembaga) dan bukan di daerah. ”Untuk pemerintah daerah belum,” ujarnya.
Sumarsono mengatakan, pemerintah pastinya akan menampung semua masukan dari masyarakat mengenai hal ini. Pemerintah masih memiliki waktu hingga Mei untuk menentukan langkah dan mengambil kebijakan.
Kini, semua berpulang pada pengambil kebijakan. Satu hal yang harus dipastikan, kita tidak ingin melangkah mundur dalam pelaksanaan demokrasi.
(MAHDI MUHAMMAD)