Para Pendamba Wisata Berkeadilan
Angin laut mengibaskan rambut panjang Shando (23), Jumat (2/2), menjelang siang. Bule asal Afrika Selatan itu duduk bersama rekannya, Javid (24), di dek dekat haluan Kapal Motor Bisma II. Kapal tradisional itu mengantarkan menuju Pulau Tidung, Kabupaten Kepulauan Seribu.
Kapal melaju paling cepat 10 knot alias 18,52 kilometer per jam, tetapi embusan angin cukup kuat. Javid menikmati tiupan angin sambil tiduran, sesekali juga memejamkan mata.
”Oh, ini sudah setengah jam? Kok, saya tidak merasa,” ujar Shando. KM Bisma II bertolak pukul 08.30 dari Pelabuhan Kali Adem, Muara Angke, Jakarta Utara. Pemandangan perairan Teluk Jakarta yang berkilauan ditimpa cahaya matahari, ditimpali kemunculan pulau-pulau seakan membesar ketika kapal menjauhi Kali Adem, membuat Shando lupa waktu.
Javid yang asal Azerbaijan menimpali, ”Pemandangan seperti ini tak ternilai.” Ia langsung suka pada pandangan pertama. Keduanya sama sekali tak tahu tentang Kepulauan Seribu sebelumnya. Mereka memutuskan mengunjungi kawasan ini, dua hari sebelum berangkat, berdasarkan rekomendasi pengelola penginapan di Jakarta.
Sesampainya di Kali Adem, Shando menangkap kesan kumuh dari dermaga khusus penumpang itu. Namun, itu tidak jadi soal, selama seluruh sistem berjalan baik. Mereka berdua pun bisa berangkat dengan nyaman ke Pulau Tidung.
Bagi pemuda yang bekerja di perusahaan swasta di Beijing, China, ini, tarif kapal tradisional ke Pulau Tidung Rp 50.000 per orang itu amat sangat murah. ”Itu hampir gratis. Jadi, menakjubkan bagi saya,” ujar Javid.
Menempuh perjalanan 2,5-3 jam ke Pulau Tidung juga tidak masalah walau mereka bisa memilih kapal cepat yang menjanjikan waktu tempuh satu jam dengan tarif hanya Rp 90.000 atau lebih mahal Rp 40.000 per orang. ”Kami ke Indonesia mencari sesuatu yang berbeda. Jika naik kapal modern, apa yang berbeda?” ujar Shando.
Wisatawan mancanegara semacam Shando dan Javid inilah sedang digaet Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lewat penetapan Kepulauan Seribu sebagai satu dari 10 destinasi unggulan. Ke-10 lokasi itu dipersiapkan menjadi Bali kedua.
Kepulauan Seribu ditargetkan mendatangkan 500.000 turis asing pada 2019. Data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI, baru 28.731 wisatawan mancanegara tahun lalu.
Cipratan ekonomi
Di tengah upaya menaikkan jumlah wisatawan mancanegara ke Kepulauan Seribu ini, pelaku usaha kapal tradisional resah. Mereka takut cipratan manfaat ekonomi tidak dirasakan.
Di anjungan KM Bisma II, di belakang Shando dan Javid menikmati belaian angin, sang nakhoda baru bertemu awak kapal lain. Kumis Mohamad Amin (50)—nama nakhoda itu—sempat terangkat ketika ia melempar senyum. Kumisnya turun lagi dan wajahnya memancarkan kesuraman.
”Ini saya habis hitung-hitungan sama ABK (anak buah kapal). Dapatnya Rp 3,5 juta,” ucapnya.
Mereka membawa 55 penumpang dari Kali Adem ke Pulau Tidung—padahal kapal berkapasitas 185 penumpang—beserta sejumlah jenis barang, seperti sayur-mayur, beras, minuman kemasan dalam galon, dan mesin cuci.
Uang Rp 3,5 juta masih dikurangi uang operasional, yang kali ini menghabiskan Rp 3,4 juta. Alhasil, hanya ada Rp 100.000 yang bakal dibagikan di antara Amin dan empat ABK.
Dalam sebulan, Amin rata-rata mendapat Rp 1 juta dari menyetir kapal tradisional. Padahal, ia sebelumnya mampu meraup Rp 3,5 juta per bulan dan menjadi pencari nafkah tunggal. Sekarang ia mesti dibantu istri yang membuka warung di pulau, dengan pemasukan tambahan rata-rata Rp 1 juta per bulan.
Penghasilannya berkurang drastis sejak kapal cepat yang serba modern beroperasi di Kali Adem untuk rute yang sama.
KM Bisma II dan kapal tradisional lain berbahan utama kayu. Kursi penumpang keras, berbahan serat plastik (fiber). Penyejuk ruangan hanyalah kipas angin besar, dibantu angin sepoi-sepoi dari luar.
Kapal cepat serba tertutup. Namun, embusan AC yang dingin bakal membuat penumpang betah. Kursinya pun empuk karena berlapis busa. Lama perjalanan Kali Adem-Pulau Tidung rata-rata 1 jam karena kapal cepat bisa melaju 22-23 knot (40,7-42,6 km per jam).
Saat ini baru satu kapal cepat untuk rute tersebut, yaitu Express Bahari 3B. Jadwal berlayarnya hanya hari Rabu dari Kali Adem ke Tidung, hari Kamis dari Tidung ke Kali Adem, dan hari Jumat-Minggu Kali Adem-Tidung pergi pulang.
Adapun kapal tradisional tersedia setiap hari dari kedua arah. Meski demikian, Amin hanya bisa berlayar sekali pergi pulang dalam 11 hari karena di Pulau Tidung ada 11 kapal tradisional yang bergiliran melayani penumpang rute itu.
Kebijakan pemerintah provinsi ditunggu. Para awak kapal tradisional mendamba kemajuan pariwisata yang berkeadilan: tidak hanya meningkatkan angka jumlah wisatawan, tetapi juga taraf hidup penduduk setempat. (J Galuh Bimantara)