Kita harus memanfaatkan suara diri yang kuat dan jelas agar kita tahu tentang relasi yang kita jalin dengan seseorang yang berarti bagi diri kita. Seyogianya kita memusatkan perhatian dengan cara yang tajam sehingga mampu mencermati kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada pasangan intim kita dan relasi yang kita bina dengan dirinya, daripada hanya membandingkan dengan fantasi-fantasi tentang bagaimana pasangan intim kita akan mungkin berubah di masa mendatang. Untuk itu, kita seyogianya pula mampu mengungkapkan perasaan kita dan mendesak dengan cara yang ”fair”, tetapi tetap penuh respek.
Apabila tidak mampu bersikap seperti apa yang terungkap di atas, kita akan mendapat kesulitan percaya kepada kawan intim kita, apalagi tentang masa depan relasi yang telah kita jalin. Ketahuilah, jika percaya diri, kita akan tahu apakah kita mampu bersikap toleran terhadap berbagai perilaku kawan intim kita, kebaikan-kebaikan yang akan kita peroleh di masa depan, dan kita pun akan mampu memilih berbagai hal, seperti masalah, tempat yang akan kita peroleh, dan tempat yang sama sekali tidak akan pernah kita datangi. Walapun, untuk itu, kita harus membuat keputusan awal yang menyedihkan. Artinya, manakala kita banyak menghadapi kondisi intoleransi dari perilaku dan perlakuannya kepada kita yang kurang pas saat baru saja menjalin relasi intim, kita dengan berani memutuskan relasi dengan kata ”tidak”, yang bisa saja membuat kita bersedih hati untuk beberapa saat.
Menetapkan batasan masa depan
S, perempuan, usia 28 tahun, telah beberapa kali mencoba menjalin relasi intim dengan seorang pria. Kemudian, datanglah seorang pria, K, (30). Ternyata, setelah K melibatkan diri dalam kehidupan emosi S, semakin hari K terasa semakin menunjukkan sikap posesifnya.
K memiliki kecenderungan selalu secara serius mencermati perbedaan opini tentang bagaimana S menyisihkan waktu untuk relasi S dengan lingkungan lain selain dengan K. K serta merta meminta S keluar dari keanggotaan kelompok membaca bersama karena, menurut K, pertemuannya dilakukan pada sore hingga malam hari. K juga mengeluh jika S pergi menonton bioskop dengan teman-temannya dan S diharuskan membatalkan rencana berkemah dengan dua saudara perempuannya karena K menuntut S bisa menghabiskan waktu liburan bersama K, yang saat cuti dari kerjanya bersamaan waktu dengan acara yang direncanakan S untuk berkemah dengan dua saudara perempuannya.
S memang berani mengungkapkan secara verbal apa yang S rasakan mengenai larangan-larangan dan keberatan-keberatan K tersebut di atas, terutama saat S ingin meluangkan waktu berelasi dengan lingkungan teman-teman lainnya, menurut S memang terkesan seolah K menghormati S. Namun, S merasa bahwa dalam waktu yang tidak terlampau lama K semakin hari semakin menunjukkan sikap posesif yang terasa berlebihan terhadap S.
Akhirnya, S memutuskan untuk berkonsultasi dengan saya sebagai konselor. S menceritakan bagaimana posesifnya K terhadap dirinya. S juga mulai mencemaskan tentang peningkatan perlakuan posesif K terhadap dirinya. Untuk itu, S menyampaikan hal-hal sebagai berikut: ”Saya sebenarnya tidak ingin memutuskan hubungan dengan K, tetapi saya kesal sekali dengan perilaku K tersebut.”
Saya berpendapat bahwa pada dasarnya S tidak perlu langsung memutuskan relasinya dengan K dan ia juga tidak perlu harus memiliki kebutuhan untuk mengabaikan K tentang perbedaan perspektif tentang dirinya dengan K. Yang sangat dibutuhkan S adalah dirinya dapat mengabaikan efek negatif dari berbagai perilaku K. Sementara S semakin yakin bahwa dia mulai merasa tidak mungkin menyerahkan kehidupan masa depannya pada diri K. Jadi, tidak seharusnya S keluar dari kelompok baca atau membatalkan janji untuk menonton atau merencanakan berkemah demi mengikuti kecenderungan sikap posesif K terhadap dirinya. Sebab, dengan tetap melakukan kegiatan-kegiatan yang direncanakannya tersebut, S merasa dirinya tidak melakukan perbuatan buruk. S merasa mampu tetap membuat K merasa dirinya penting dan istimewa bagi S walaupun S akan tetap menjaga relasi secara terbuka dengan siapa pun dalam lingkup pergaulannya, tanpa mengabaikan ruang khusus untuk menjadi pendengar yang setia dari perasaan-perasaan dan pemikiran-pemikiran K, dengan penuh rasa hormat terhadap K.
Demi keberlangsungan sikap dewasa tersebut, S membutuhkan kemandiriannya tetap terjaga. Pasalnya, kemandirian tersebut adalah sesuatu yang sangat penting bagi S. Dengan kemandirian yang dewasa tersebut, tidak berarti bahwa S harus bersikap kaku dan tidak kompromistis atau kurang tepat dalam mempertimbangkan apa yang K inginkan. Ketahuilah bahwa setiap relasi dengan siapa pun akan selalu menuntut sikap kompromistis dan sikap saling memberi dan saling menerima. Namun, keberanian menyampaikan apa yang dirasakan tersebut tetap menuntut diri kita untuk berani mengambil keputusan tentang (1) nilai-nilai yang kita anut, (2) keyakinan-keyakinan yang mendasari keputusan kita serta (3) prioritas-prioritas pribadi yang tidak bisa ditawar.
Dengan sikap berelasi yang matang dari S tersebut di atas, pertanyaan lanjut yang muncul adalah:
• Apakah K mau bangkit membuat dirinya lebih matang/dewasa.
• K memutuskan untuk menyudahi relasi intim dengan S dan mencari perempuan lain yang mau mengikuti apa yang K inginkan.
• S selanjutnya memberikan penjelasan bahwa S-lah yang membutuhkan untuk mengakhiri hubungannya dengan K.
Dari sekian banyak uraian di atas, kita memahami bahwa tantangan setiap relasi intim adalah kesediaan kedua belah pihak yang menjalin relasi intim untuk mengintegrasikan ”aku” dan ”kami” tanpa mengurangi ke-aku-an dan ke-kami-an secara tegas. Artinya, apabila ternyata dihadapkan pada pilihan, kita harus tentukan pilihan serta mengungkapkannya secara verbal dan jelas. Pastikan bahwa perilaku kita sejalan dengan nilai-nilai kita, keyakinan-keyakinan kita, dan membuat diri kita tetap mandiri dalam kebersamaan dalam relasi yang kita jalin.
Sebagai konselor, saya harus menambahkan bahwa, apabila kita mempelajari berbagai masalah tentang pasangan kita, kita harus mengamati dirinya dalam kebersamaan dengan teman-teman dekatnya dan keluarganya. Dengan demikian, kita akan mendapatkan kunci dalam berrelasi yang dimiliki oleh pasangan kita. Untuk itu, kita mendengar, mengamati, berpikir dan banyak berdiskusi secara terbuka dengan calon pasangan kita sehingga proses pengenalan calon pasangan membuat kita benar-benar mengenali dirinya dan waktu perkawinan pun dapat diputuskan segera.
Masa bulan madu sudah berlalu
Apabila relasi intim antara S dan K akhirnya masuk dalam ikatan perkawinan, keduanya kemudian akan merasa bahwa bulan madu telah berlalu. Maka, perkawinan sering menjadi ajang yang membuat diri keduanya seyogianya mampu mengatasi berbagai macam fase yang terdiri dari fase penolakan, fase menuduh, atau fase ketika kita menyertakan perasaan secara berlebihan terhadap perbedaan-perbedaan yang kita temukan dengan pasangan perkawinan kita. Fase lain dalam berelasi akan terungkap apabila dua orang yang berpasangan dalam perkawinan menunjukkan kemarahan yang menggelegak dan yang membuat polarisasi dari berbagai perbedaan yang mereka rasakan dan gagal dalam mencermatinya pada saat awal perkenalan mereka. Mereka cenderung bersikap kurang fleksibel kepada pasangannya.
Perlu kiranya kita ketahui, berapa pun lama kebersamaan hidup berpasangan; apakah 4 tahun atau 40 tahun, kita akan tetap dihadapkan pada tantangan berupa perbedaan-perbedaan antarpasangan. Tanpa terbangunnya kadar toleransi dalam berelasi, sikap kompromistis yang penuh repek antarkedua pasangan akan membuat iklim relasi yang terbangun sangat menyiksa kedua pasangan tersebut. Andai kemudian kadar toleransi hanya terbangun pada salah seorang pasangan, tanpa kesediaan pasangan lain untuk menyesuaikan kadar toleransi yang penuh humor dan penuh respek, maka toleransi yang terbangun pada salah satu pasangan juga akan tererosi.
Terdapat suara yang menantang dalam kesepakatan relasi intim dalam perkawinan, sebagai berikut:
• Pertama, kita butuh kejelasan posisi pada garis dasar relasi yang kita jalin.
• Kedua, kita harus mengungkap aspek positif yang dimiliki pasangan kita.
• Ketiga, kita mampu menghangatkan iklim relasi yang terbina antarpasangan dalam ikatan perkawinan tersebut.
Maka, relasi antarpasangan dalam ikatan perkawinan akan menjadi nyaman, hangat, dan membahagiakan kedua belah pihak.