Kedaulatan di Atas Piring
Persoalan pangan di Indonesia mengutub pada dua masalah besar, yaitu gizi buruk dan kegemukan yang menghinggapi warga perkotaan. Tejo Wahyu Jatmiko yang lebih dari 25 tahun berkecimpung sebagai aktivis lingkungan menyebut dua kutub persoalan itu bisa diselesaikan dengan menumbuhkan literasi pangan, untuk mengingatkan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar yang penting.
Bencana gizi buruk yang menyentak masyarakat Indonesia akhir-akhir ini di Asmat, Papua, menurut Tejo, merupakan fenomena yang terjadi di banyak tempat di perdesaan. Namun, gizi buruk yang menghinggapi anak-anak di pelosok Asmat memang yang paling menonjol. Secara umum, bicara persoalan gizi anak, kita diingatkan punya double burden, yaitu kelebihan gizi dan kekurangan gizi.
Sampai kini, aksi dalam menyikapi dua permasalahan ini belum menonjol. Terakhir, pemerintah menerapkan gerakan masyarakat dengan harapan agar masyarakat lebih banyak bergerak. Sejak setidaknya tahun 2010, Tejo mengamati belum ada yang peduli dengan isu pangan ini.
Pengetahuan tentang pola makan yang baik juga sudah menghilang di rumah tangga, bahkan sampai ke wilayah perkotaan. Dari riset yang melibatkan 300 anak muda di Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta, ternyata mereka sama sekali tidak memahami pola makan yang sehat. Tergambar bahwa pola makan anak-anak kota cenderung lebih tinggi karbohidrat, tinggi gula, tinggi lemak, dan rendah serat.
Orangtua perkotaan yang kebanyakan kerja, membayar utang dengan jajan makanan cepat saji pada akhir pekan. Tidak ada pengetahuan serius tentang pola makan yang benar dalam keluarga. Intervensi pemerintah pun sudah jauh ketinggalan. Dulu, teori empat sehat lima sempurna dipahami oleh anak-anak hingga tingkat sekolah dasar.
Sementara yang di tingkat desa terjadi perubahan pola makan menjadi lebih tinggi konsumsi karbohidrat. Kekurangan gizi kemudian bisa dengan mudah dipicu jika terjadi kekurangan sumber karbohidrat yang saat ini dimaknai hanya beras saja. Di Asmat saja, beras sudah jadi makanan pokok. Tejo menjumpai di beberapa tempat di Papua masyarakat merasa belum makan kalau belum makan nasi dari beras.
Ada kastanisasi bahwa mereka masih dianggap sebagai binatang jika belum mengonsumsi beras. Jika mau kembali ke pangan lokal, seharusnya bencana gizi buruk di Asmat tidak akan terjadi. Wilayah Asmat yang merupakan kawasan rawa-rawa pasti masih menyediakan kekayaan sumber pangan lokal. Sagu yang dulunya merupakan makanan pokok sudah mulai dilupakan.
Lebih dalam, pandangan tentang isu pangan tersebut diungkapkan Tejo dalam petikan wawancara pada Senin (29/1) berikut ini.
Apa yang mendasari ketidakpedulian sebagian orang terhadap isu pangan ini?
Mereka lebih mementingkan yang lain. Sebenarnya mereka tahu itu menyangkut kesehatan, tetapi di sisi lain modernisasi dan arus informasi yang demikian deras justru membuat mereka tidak berdaya memilah mana yang baik di tingkat rumah tangga. Isu pangan bukan jadi salah satu fokus utama. Terutama sesudah model pendidikan kurikulum diubah, mulai dari akhir rezim Soeharto, 1995-an. Rezim tumbang enggak ada perhatian terhadap isu pangan. Artinya, kita sibuk dengan urusan demokratisasi. Urusan gizi dan perutnya berkurang.
Apa yang kami lakukan selama ini adalah literasi pangan untuk mengingatkan bahwa pangan itu kebutuhan dasar yang sangat penting. Kami selalu menggunakan kutipan dari Presiden Soekarno, yakni ”pangan itu soal hidup-mati bangsa”. Itu juga untuk mengingatkan bahwa pilihan kita atas pangan akan berdampak pada kedaulatan dan kesejahteraan masyarakat, selain juga menyangkut sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Kami selalu mencoba menjelaskan pangan sebagai sebuah sistem. Banyak yang tidak aware bahwa pangan kita itu tidak hanya terkait dengan masalah gizi (obesitas/stunting dan kurang gizi), tetapi juga perubahan iklim, kerusakan lingkungan, gaya hidup, pola makan yang tidak sehat, dan seterusnya.
Terkait masalah gizi buruk, mengapa banyak kita dengar terjadi di Indonesia timur?
Hampir lima tahun sempat fokus di Nusa Tenggara Timur (NTT). Paling tinggi kasus gizi buruk. Kayak arisan saja itu. Yang kita dorong adalah pemerintah provinsi untuk melihat itu sebagai sebuah hal penting yang harus diselesaikan. Kami melakukan kerja bareng dengan pemerintah mencoba menyelesaikan itu secara gradual. Cuma memang beratnya dengan situasi politik, semua ditarik politis. Ada tantangan di tingkat implementasi. Teman jaringan di NTT punya gerakan Pelangi Meja. Itu untuk bahan pendidikan penyadaran pangan lokal dan gizi. Masyarakat diajak melihat apa yang ada di halaman dan bisa mencukupi kebutuhannya.
Dari segi alam sebenarnya NTT dan Papua punya tantangan tidak seperti Jawa. Ini masalah ketimpangan pembangunan lagi kalau ditarik ke atas. Dulu, orang bisa mengelola pangannya. Orang NTT enggak mau sekarang makan jagung. Kemudian juga masalah sorgum tidak dilirik lagi karena lahan susah, padahal enggak susah.
Mereka butuh alat mengolah sorgum. Teknologi tepat guna juga enggak masuk. Kalau saja ada introduksi teknologi tepat guna, seperti pengolahan sorgum yang sederhana untuk bantu mereka. Guna mengimbangi arus informasi bahwa makanan modern salah satunya beras. Beras sekarang juga bersaing dengan mi. Itu juga tantangan ada di sana. Semenjak pangan lokal dihilangkan, itu titik balik, kejadian gizi buruk menjadi semakin meningkat.
Trennya uang sebenarnya sudah di desa, dengan dana desa. Itu bisa menyelesaikan masalah. Tantangannya mereka perhatian enggak bahwa pangan itu termasuk yang harus diselesaikan dalam anggaran belanja dana desa. Untuk menyehatkan situasi kondisi pangan di desa.
Selama ini, kalau di desa yang kami dampingi, lebih dari 90 persen dana desa untuk fisik. Pekerjaan konstruksi bangunan, jalan, dan saluran irigasi. Banyak desa yang punya buah pisang umbi, tetapi di situ muncul masalah kurang gizi; sesuatu yang aneh. Sebenarnya potensinya ada di sana. Pengetahuan terhadap sumber daya lokal juga kecil. Orientasinya ke luar, tidak ke dalam.
Pendidikan pangan
Berawal dari pekerjaan sebagai konsultan lingkungan sejak sebelum lulus kuliah, Tejo yang mendalami Geografi awalnya turut merencanakan sosial, ekonomi, dan lingkungan kawasan transmigrasi. Dari situ, dia mulai belajar pola ketersediaan air minum ataupun pertanian secara umum.
Advokasinya kemudian langsung bersinggungan dengan bidang kehutanan dan pertanian. Sejak 2011, Tejo juga dikenal dengan gerakan Locavore yang berarti ”saya pemakan pangan lokal” dengan sasaran anak muda dan perempuan perkotaan.
Pengolahan pangan lokal menjadi sesuatu yang merepotkan dibandingkan membeli beras yang dengan mudah bisa dijumpai di pasaran. Pada satu titik, menjadi tidak masuk akal mengintrodusir pangan sorgum karena sorgum bisa Rp 60.000 per kg, sedangkan harga beras di belasan ribu. Mengapa mahal? Produksi dan pemakaian yang belum masif serta kemalasan mengolahnya menjadi penyebab. Masyarakat desa tidak paham tentang desanya, termasuk pangannya. Bersama jaringannya, Tejo terus mengingatkan kembali bahwa semua harus berbasis sumber daya lokal dulu, termasuk pangannya, untuk meningkatkan kesejahteraan.
Apa kerennya pangan lokal?
Keren di keberpihakannya. Kita makhluk sosial yang bergotong royong. Sebetulnya banyak inisiatif menyubstitusi gandum atau terigu. Itu yang kita coba eksplorasi dan perkenalkan ke sebagian anak muda. Ini, lho, kita punya dan ini bisa tak terbatas karena kekayaan kita. Kembali lagi, menemukan akar dari Indonesia. Akar budaya lekat dengan pangan.
Target utama kami adalah kaum perempuan karena, berdasarkan banyak penelitian, mereka pemegang keputusan kunci pola konsumsi di tingkat rumah tangga dan anak muda yang merupakan bagian dari investasi untuk masa depan bangsa.
Model pendekatan yang kami lakukan beragam. Untuk anak muda, model pembelajaran di kelas (dari TK-anak kuliah) dengan kerja sama sekolah atau universitas. Youth camp selama tiga hari per batch untuk mendalami isu pangan lokal dan menjaring relawan hingga melibatkan anak muda dalam desain kampanye dan melakukannya.
Bagaimana kondisi kedaulatan pangan di Indonesia secara keseluruhan?
Bicara kedaulatan pangan, peran yang utama posisi dan kebijakan negara. Kalau negara masih menganggap bahwa pangan itu yang penting ada di meja makan, cukup, dan murah, ya, kedaulatan pangannya enggak akan tinggi. Kita punya peraturan presiden tentang penganekaragaman pangan, tetapi sejauh ini enggak ada upaya masif mengampanyekan itu. Paling setahun sekali saat hari pangan. Itu masih jadi gejala umum dan belum ada perbaikan. Kebijakan negara belum konsisten. Baru Presiden Joko Widodo yang bilang ada kedaulatan pangan, tetapi penyelesaian ke akar masalah belum sistematis.
Kemasan baru, tetapi isinya barang lama. Misalnya, untuk mendorong produksi, kebijakannya kalau mau kedaulatan pangan yang kemudian dibangun sistem yang hidup di masyarakat. Subyeknya adalah petani, pekebun, dan nelayan kecil karena mereka sebagai tulang punggung. Namun, sampai sejauh ini tidak. Titik beratnya bagaimana menggenjot produksi setinggi-tingginya. Kalau enggak bisa, pilihannya gampang, yakni impor saja. Kalau bicara kedaulatan pangan, masih jauh.
Kita boleh punya mimpi. Kedaulatan pangan bukan tidak bergerak. Memang kita sudah membayangkan tidak bisa cepat. Banyak kepentingan di situ. Undang-undang pangan yang baru sudah kemajuan. Namun, perjuangan tidak hanya itu. Implementasi dan turunan bisa lain dengan undang-undang. Ini yang terus didorong. Membangun sistemnya supaya jadi. Kami meyakini pangan penting dan adalah kunci meningkatkan kesejahteraan bangsa ini.