Kemolekan Shirakawa-go
Barisan wisatawan mengular, antre untuk berfoto dengan latar belakang pemandangan desa yang menakjubkan. ”Geser ke kiri sedikit. Senyum. Say cheese...,” seru pemandu wisata, merangkap juru foto sukarela bagi para wisatawan. Tak puas dengan hanya dua tiga jepretan, wisatawan pun beraksi dengan kamera atau ponsel sendiri.
Rumah-rumah tradisional dengan gaya gassho-zukuri yang terbuat dari kayu terlihat kecil di bawah. Tanah, jalan, dan atap rumah tertutup salju putih. Hutan membentang di latar belakangnya. Di kejauhan, pegunungan berdiri anggun. Berdiri dan memandang panorama saja sudah menyenangkan.
Dari dek observasi, tibalah saatnya untuk berjalan-jalan menjelajah Shirakawa-go. Desa ini dan Gokayama mendapatkan status Situs Warisan Budaya Dunia dari UNESCO tahun 1995. Shirakawa-go yang terletak di bagian barat laut Prefektur Gifu dikelilingi pegunungan. Sebanyak 96 persen kawasannya berupa hutan. Alam masih perawan, tak terjamah dalam keasliannya.
Hujan salju di desa ini merupakan salah satu yang paling lebat di Jepang. Tumpukan salju bisa setinggi 2-3 meter saat musim salju sepanjang Desember-Maret. Salju pulalah yang sering menutup akses menuju Shirakawa-go, membuatnya terisolasi selama ratusan tahun.
Satu-satunya
Keindahan Shirakawa-go terutama diwarnai oleh keunikan bentuk rumah tradisional yang bertahan tak lekang zaman. Gaya gassho-zukuri atau sering disebut sebagai bentuk segitiga menyerupai tangan yang sedang berdoa dikatakan sebagai satu-satunya yang ada di Jepang.
Rumah-rumah dari balok kayu itu disatukan tanpa satu keping paku pun. Atapnya miring terjal, terbuat dari jerami. Kemiringan atap dirancang sedemikian rupa sehingga kuat menopang salju yang berat. Kondisi cuaca yang berat, terutama salju dan angin kencang dari pegunungan, menuntun pembuatan rumah agar selaras dengan alam, bukan melawannya.
Rumah gassho-zukuri ini dibuat tahun 1800 dan tetap kokoh berdiri hingga kini. Tahun 1924, tercatat masih ada 300-an rumah. Setelah terjadi banjir akibat luapan bendungan tak jauh dari desa ini, ditambah kebakaran, sekarang tersisa 114 rumah. Semuanya masih dihuni dan digunakan untuk aktivitas sehari-hari. Masih kokohnya rumah ini tak lepas dari gotong royong masyarakat, terutama saat mengganti atap jerami secara rutin dalam periode tertentu.
Pelestarian rumah inilah, berikut nilai-nilai yang dihidupi masyarakatnya untuk menyokong kehidupan di tengah alam yang keras, membuat mereka layak menyandang status Situs Warisan Budaya Dunia. Hampir tidak ada perubahan signifikan terhadap sistem jalan, kanal, dan pola pemanfaatan lahan.
”(Tempat) ini adalah contoh mengagumkan bagaimana sebuah cara hidup tradisional beradaptasi dengan sempurna terhadap lingkungannya. Mereka melestarikan bukti spiritual dan material atas sejarah panjang mereka,” demikian tertulis di laman UNESCO.
Petualangan
Menyusuri jalan-jalan Desa Shirakawa-go yang berselimut salju adalah petualangan spektakuler. Di sana-sini yang tampak adalah keriaan. Wisatawan bermain di tengah salju atau menyantap cita rasa lokal dan memilih-milih buah tangan.
Tujuan pertama adalah Wada House, rumah terbesar di Shirakawa-go dan terbuka untuk umum. Dengan tiket masuk seharga 300 yen atau sekitar
Rp 30.000, pengunjung bisa mencicipi pengalaman berada di rumah tradisional berusia ratusan tahun.
Kebun, pagar, dan saluran air di rumah milik keluarga Wada ini tetap dipertahankan sesuai aslinya. Sebagian lantai 1 dan lantai 2 dibuka untuk umum, tempat pengunjung bisa menyaksikan berbagai perkakas dan barang-barang tradisional yang digunakan keluarga ini secara turun-temurun selama ratusan tahun.
Kita bisa melihat tungku tempat keluarga memasak dan berkumpul. Peralatan dapur dan makan dipajang di dalam semacam lemari kaca. Ada pula sepatu, sandal, tas, dan penutup kepala yang terbuat dari jerami. Pengunjung bisa melihat jalinan tali-temali yang kuat mengikat kayu-kayu penopang rumah.
Dapat dibayangkan seperti apa kehidupan masyarakat Shirakawa-go semasa belum menjadi tempat tujuan wisata. Ketika zaman Edo, saat sutra mencapai masa jayanya, warga desa ini menanam pohon mulberi dan mengembangbiakkan ulat sutra. Loteng rumah digunakan sebagai tempat produksi benang sutra.
Jalan utama desa yang cukup lebar bebas dari salju. Tampak beberapa mobil berlalu-lalang. Setelah dikenal masyarakat luar, desa ini menjadi ramai dikunjungi wisatawan. Sepanjang tahun, mereka disuguhi empat pemandangan berbeda, sesuai dengan musimnya.
Sejumlah rumah disulap menjadi museum kecil atau galeri. Beberapa di antaranya juga difungsikan sebagai penginapan untuk memenuhi kebutuhan para wisatawan yang ingin merasakan tinggal beberapa waktu di desa unik tersebut. Beberapa bangunan dengan gaya yang lebih modern muncul dan dimanfaatkan sebagai restoran dan toko suvenir.
Kobayashi-san, pemandu rombongan, mengatakan, tak cukup hanya satu dua jam menikmati Shirakawa-go. ”Kalau kurang (waktu), besok-besok bisa kembali ke sini lagi, ya,” katanya dalam bahasa Indonesia yang lancar.
Segala kisah yang melingkupi perjalanan Shirakawa-go menyusuri zaman semakin membuat kunjungan singkat itu terasa istimewa. Salju masih setia menemani sampai kaki melangkah meninggalkan lembah. Secuil kue rumah jahe di atas tumpukan krim itu tersimpan rapi di sudut memori.