Rumah Film Lawas
Di masa kini, poster film bioskop sudah lebih banyak mengandalkan kemudahan digital. Jasa poster film dengan lukisan tangan di atas kain kanvas berukuran besar mulai meredup. Namun, bagi penggemar film lama, poster-poster tersebut memiliki nilai nostalgia.
Setiap kali mampir ke rumahnya, di Jalan Hayam Wuruk, Jelutung, Kota Jambi, para tamu seakan dibawa kembali ke masa lalu. Sejumlah lukisan poster film lawas terpajang di dinding ruang tamu. Poster itu di antaranya The Snake Prince (1976) yang dibintangi aktor ganteng asal Hong Kong, Ti Lung, dan pasangannya, si cantik Lin Chen Chi. Di sampingnya poster Eight Hundred Heroes, sebuah drama kolosal perang bersejarah Taiwan. Film karya Ting Shan-hsi tersebut sangat happening pada tahun 1977.
Di bawahnya tampak poster Pasukan Berani Mati (1982). Film seru ini berkisah tentang romantika dalam perang revolusi kemerdekaan. Tentu saja sejumlah bintang film yahud di masanya bertebaran dalam film ini, seperti Rini S Bono, Roy Marten, Eva Arnaz, Barry Prima, dan El Manik. ”Ini beda. Saya bikin versi tiga dimensi. Lebih sulit bikinnya, tapi berkesan lebih dinamis,” kata Harkopo.
Sesaat para tamunya pun larut dalam kenangan. membahas film-film yang pernah dijagokan. Ujung-ujungnya mereka ingin juga menyimpan poster bergambar bintang film idola. Namun, kata Harkopo, poster-poster itu tidak dijual.
Seluruh poster yang dibuat Harkopo sejak remaja tersimpan rapi dalam sebuah ruangan di kompleks rumahnya. Jumlahnya melebihi 100 poster. Ada pula poster-poster film yang dibuat bareng bersama pelukis lain. Total hampir 1.000 poster!
Rumah masa kecil
Rumah itu telah ditempatinya sejak berusia dua tahun. Dulu, di kawasan itu sepi. Sekitar rumah masih berupa hutan belukar. Almarhum ayahnya membuka areal seluas 2 hektar, lalu membangun sebuah pondokan sederhana. Pembangunan rumah semakin berkembang seiring bertambah banyaknya keturunan sang ayah. ”Mohon jangan kaget, kami ini 20 bersaudara. Makanya ada banyak kamar di dalam rumah ini,” katanya sembari tertawa.
Rumah itu tampak sederhana dan masih sama dengan awalnya dibangun, dari kayu bulian. Namun, ada banyak ruangan di dalamnya. Harkopo menunjukkan kamarnya di bagian depan. Di depan kamar, ia memasang poster-poster film yang dibuat semasa remaja.
Bagian dalam rumah juga melewati sejumlah kelokan. Lagi-lagi ada ruang-ruang kamar di tiap kelokan. Di bagian belakang rumah itu ada sebuah ruang besar berukuran sekitar 250 meter persegi. Terdapat banyak bangku tersusun bertumpuk. Tempat itu adalah ruang bioskop keluarga. Menonton film bersama-sama sudah kebiasaan keluarga besar Harkopo. ”Kami sering nonton film bioskop ramai-ramai di ruang ini. Mesin pemutar filmnya di sini, lalu layarnya di ujung sana,” ujar Harkopo sambil menunjuk dinding yang dimaksud.
Di seluruh keluarganya tak ada yang menjadi pelukis kecuali Harkopo. Sejak kecil, kebiasaan menggambar dan melukis ia geluti sendiri. Bisa jadi, tradisi nonton film dalam keluarga besar itu yang membentuk jiwa seninya.
Sewaktu di sekolah dasar, Harkopo mulai menggambar alam dan satwa di teras rumah. Lama- kelamaan ia tertarik membuat sketsa wajah. Kemampuannya pun terus berkembang. Rumah itu jadi ruang bereksplorasi seni. Setiap kali menonton film baru, ia lalu terobsesi melukis. Poster film dilukis di atas kain kanvas dengan memanfaatkan cat tembok. Kuasnya yang paling halus.
Setelah lulus SD, Harkopo makin menyadari kecintaannya pada dunia seni. Ia memutuskan berhenti sekolah, lalu ikut salah satu saudaranya merantau ke Jakarta. Harkopo menjajal berbagai kursus seni, melukis poster, lukisan abstrak, hingga menggambar sketsa. Salah satu guru lukis poster yang masih diingatnya adalah Jean Marcia Tjendana, yang kini masih aktif mengurus Ikatan Pelukis Poster Film Indonesia.
Di Jakarta, kepiawaian Harkopo melukis poster pun kian terasah. Ia kebanjiran pesanan. Hampir setiap film bioskop yang siap tayang, ia buatkan posternya. Tentu Harkopo harus lebih dulu menyaksikan film itu sebelum membuat posternya. Dari berangkai adegan, ia memilih adegan terbaik sebagai profil poster.
Mengetahui bakat besar anaknya, ayah Harkopo pun mengembangkan bisnis bioskop di Jambi. Ayahnya lalu mengajak Harkopo kembali ke Jambi. Saat itu di Jambi belum ada pelukis poster film sehingga Harkopo menjadi satu-satunya harapan keluarga mengembangkan usaha.
Memasuki 1990-an, perfilman nasional kian lesu seiring maraknya film-film Barat impor. Jaringan bioskop pun dikuasai segelintir pemodal. Sementara bioskop-bioskop lokal mulai banyak yang tutup, termasuk sekitar 20 bioskop yang dikembangkan keluarga besar Harkopo.
Poster film bioskop dari lukisan boleh jadi tinggal cerita. Harkopo sendiri kini menjalankan usaha resto dan galeri seni The Tempoa di kompleks rumahnya. Peninggalan masa lalu, baik poster maupun mesin-mesin tua pemutar film, masih ia rawat. Harkopo tengah mempersiapkan rumah museum yang menyimpan kenangan akan film-film lawas. ”Doakan, akhir tahun ini sudah siap dibuka untuk umum,” tutupnya.