9 Kartini Kendeng Lantunkan Pangkur untuk Jokowi
Pangkur untuk Jokowi dan tentang Menjaga Jawa
Dalam khasanah Budaya Jawa, berbicara dengan simbol adalah salah satu cara menyampaikan protes. Sembilan orang Kartini, perempuan yang tak lelah menyampaikan gugatan, dari wilayah Kendeng, Senin (13/2) di bawah terik matahari, menumbuk lesung sambil mendendangkan tembang di seberang Istana Merdeka.
Perempuan-perempuan Rembang dan Pati, Jawa Tengah itu melantunkan Tembang Pangkur,
Yen to Kendheng den kiwakna//kalau kendeng diabaikan
Putusan pangwasa teges anti tani//Keputusan penguasa sudah jelas anti petani
Pak Jokowi, ngaten niku?//Begitukah Pak Jokowi?
Kang pangwasa kersakna?//Yang dikehendaki penguasa?
Lamun ngaten kula namung saget nguwuh
Lmah banyu angin dayanya//Jika demikian, kami hanya bisa meminta kekuatan tanah, air, dan angina,
Uripa kanggo mbengkasi//Hiduplah, untuk menyelesaikan masalah.
Berdua belas, sembilan Kartini Kendeng didampingi Gunritno, Ngatiban, dan Turah, naik kendaraan yang harus dibongkar tempat duduknya. Mereka berdempetan duduk di atas lesung dalam perjalanan ke Jakarta. Tembang Lesung Jumengglung dan Tembang Esuk-esuk, yang bertutur tentang aktivitas petani, bergantian dilantunkan. Sebelumnya, mereka melakukan sedikit ritual mengelilingi Patung Tani dan selanjutnya mereka mengusung lesung ke plataran Monas di seberang Istana Merdeka.
Kedatangan mereka ke Jakarta, tutur Gunritno, pemimpin Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), berkaitan dengan hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Tahap II yang tak kunjung dipresentasikan ke Kantor Staf Presiden (KSP). Kajian tersebut sudah selesai Desember 2017 lalu.
"Kelihatan sekali Badan Geologi mengundang JMPPK hanya dijadikan legitimasi sebagai syarat administrasi, tapi keterlibatan kami tidak penuh. Dari awal kami tanya metodenya tidak ada penjelasan. Seharusnya temuan itu juga harus fair, terbuka dan diolah bersama," ujarnya.
Kepala Badan Geologi Kementerian energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Suhendar saat ditanya tentang laporan KLHS Tahap II menjawab melalui Whatsapp, “Sampai hari ini meskipun hasilnya sudah selesai kami pun masih menunggu arahan pimpinan,” tulis Rudi. Menurut Suryo Adi Wibowo, dari tim panel pakar menjelaskan, untuk membuka hasil KLHS Tahap 2 masih menunggu rakor antarmenteri.
Pembuatan KLHS pada awalnya diminta Presiden Joko Widodo dalam pertemuan dengan para petani Kendeng 2 Agustus 2016. Presiden meminta, selama proses kajian tersebut, KLHS Tahap I, tidak boleh ada izin pertambangan baru yang keluar, semua proses pertambangan batu kapur dan aktivitas produksi harus dihentikan. Namun ternyata ketika proses kajian sedang berlangsung justru terbit izin lingkungan baru hanya berdasar addendum pada amdal (Kompas, 25/2/2017). Kajian diumumkan 12 April 2017 yang merekomendasikan semua aktivitas pertambangan di Cadangan Air Tanah (CAT) Watuputih harus dihentikan (Kompas, 13/4/2017). Kendati demikian penambangan terus berlangsung di CAT Watuputih (Kompas, 8/8/2017).
“Bukti kemenangan warga Kendeng di pengadilan melalui keputusan MA yang bersifat inkrah (mengikat) pun belum membuat pemerintah tergerak untuk menyelamatkan Kendeng. Negara yang harusnya meletakkan hukum sebagai panglima keadilan, tetapi justru menginjak-injaknya,” ungkap Gunritno melalui tulisannya.
Negara yang harusnya meletakkan hukum sebagai panglima keadilan, tetapi justru menginjak-injaknya
Rekomendasi KLHS Tahap I berbunyi, pemda agar mengusulkan kawasan CAT yang memenuhi kriteria dijadikan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK). Beberapa kabupaten dan kota seperti Rembang, Pati, dan Semarang saat ini sedang menyusun revisi tata ruang. “Namun prosesnya total kurang terbuka. Taruhlah, Jaring Asmara yaitu menjaring aspirasi masyarakat. Mereka mengatakan ‘masyarakat sudah saya libatkan. Tapi masyarakat yang mana?” tegas Gunritno.
Menjaga Jawa
Cerita Kendeng adalah cerita petani. Cerita petani Kendeng adalah cerita tentang keberlanjutan. Sukinah bertutur tentang petani, tentang kelestarian, tentang pembangunan yang tak menyebabkan bencana. Dia berbicara tentang warisan pegunungan, warisan lingkungan alam yang lestari.
Dengan bahasa Jawa, Sukinah mengatakan, “Sesuai fakta lapangan KLHS Tahap I, Pak Jokowi tidak perlu sungkan. Apa yang benar katakan benar sehingga masyarakat tidak merasa terombang-ambing. Kami berharap Pak Jokowi itu pro petani, pro rakyat.” Kisah Kendeng bukan milik rakyat Kendeng. Jika masyarakat Kendeng tenteram, maka tidak hanya mereka yang tenteram. “Orang mau kembali menjadi petani.Namun kalau lahannya dirusak oleh perusahaan semen, mereka tidak bisa bertani. Petani butuh lahan dan air,”ujar Sukinah.
Pak Jokowi tidak perlu sungkan. Apa yang benar katakan benar sehingga masyarakat tidak merasa terombang-ambing.
“Biar Jawa jangan tinggal cerita. Dulu nak di sana ada gunung, dulu ada desa di sana. Tapi lalu apa yang bisa diceritakan jika gunungnya tidak ada desanya tidak ada,” tambah Sukinah.
Mereka kembali menegaskan, bahwa para petani Kendeng bukan anti pembangunan, bukan anti industri, dan bukan anti semen. “Namun lokasinya. Lokasinya yang benar. Kan masih ada tempat yang tidak ada penduduknya. Tempat yang bisa untuk membangun pabrik tanpa merusak. Manusia seharusnya melindungi yang harus dilindungi,” tegas Sukinah.
Bagi para petani tersebut, pemerintah dinilai tidak berpikir. “Seharusnya berpikir… jangan terus didesakkannnnnn (nada panjang bahasa Jawa) saja di Jawa. Jawa sudah padat penduduk. Maka bencananya menjadi cepat dan banyak,” ungkap Sukinah. Bencana adalah peringatan. “Dari pada uangnya habis untuk mengurus bencana, lebih baik mengantisipasi (pembangunan),” tuturnya menutup pembicaraan. Aksi mereka berbuah. Hari ini, Gunritno dan rombongan akan diterima oleh pihak KSP. (ISW/SON)