Pangkur untuk Jokowi dan tentang Menjaga Jawa
Dalam khazanah budaya Jawa, berbicara dengan simbol ialah cara menyampaikan protes. Sembilan ”Kartini”, para perempuan yang tak lelah menyampaikan gugatan, dari Kendeng, Senin (12/2), di bawah terik matahari, menumbuk lesung sambil melantunkan tembang di seberang Istana Merdeka.
Perempuan-perempuan Rembang dan Pati, Jawa Tengah, itu melantunkan tembang ”Pangkur”.
”Yen to Kendheng den kiwakna//kalau kendeng diabaikan
Putusan pangwasa teges anti tani//Putusan penguasa jelas anti petani
Pak Jokowi, ngaten niku?//Begitukah Pak Jokowi?
Kang pangwasa kersakna?//Kehendak penguasa?
Lamun ngaten kula namung saget nguwuh Lemah banyu angin dayanya//Jika demikian, kami hanya bisa meminta kekuatan tanah, air, dan angina,
Uripa kanggo mbengkasi//Hiduplah, untuk menyelesaikan masalah.”
Berdua belas, 9 Kartini Kendeng didampingi Gunritno, Ngatiban, dan Turah, naik kendaraan yang dibongkar tempat duduknya. Mereka berdempetan duduk di lesung dalam perjalanan ke Jakarta. Tembang Lesung Jumengglung dan Tembang Esuk-esuk, tentang aktivitas petani, bergantian dilantunkan. Sebelumnya, mereka mengelilingi Patung Tani, mengusung lesung ke pelataran Monas, di seberang Istana Merdeka.
Kedatangan mereka ke Jakarta, menurut Gunritno, Pemimpin Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK), terkait hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) tahap II yang tak kunjung dipresentasikan ke Kantor Staf Presiden. Kajian selesai Desember 2017.
”Kelihatan Badan Geologi mengundang JMPPK hanya jadi legitimasi, syarat administrasi, tetapi keterlibatan kami tak penuh. Dari awal kami tanya metodenya tak ada penjelasan. Seharusnya temuan itu terbuka dan diolah bersama,” ujarnya.
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Rudi Suhendar saat ditanya terkait laporan KLHS tahap II menjawab melalui Whatsapp, ”Meski hasilnya selesai, kami menanti arahan pimpinan,” tulis Rudi. Menurut Suryo Adi Wibowo, dari tim panel pakar, KLHS tahap 2, menanti rapat koordinasi antarmenteri.
Pembuatan KLHS diminta Presiden Joko Widodo pada pertemuan dengan para petani Kendeng, 2 Agustus 2016. Presiden meminta, selama KLHS tahap I, tak boleh ada izin pertambangan baru, aktivitas pertambangan batu kapur dan aktivitas produksi dihentikan.
Namun, saat kajian berlangsung, terbit izin lingkungan baru hanya berdasar addendum pada analisis mengenai dampak lingkungan (Kompas, 25/2/2017). Kajian diumumkan 12 April 2017 merekomendasikan semua aktivitas pertambangan di Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih dihentikan (Kompas, 13/4/2017). Namun, penambangan terus terjadi di CAT Watuputih (Kompas, 8/8/2017).
”Bukti kemenangan warga Kendeng di pengadilan lewat putusan Mahkamah Agung bersifat inkracht (mengikat) belum membuat pemerintah menyelamatkan Kendeng. Negara yang seharusnya meletakkan hukum sebagai panglima keadilan justru menginjak-injaknya,” kata Gunritno melalui tulisannya.
Rekomendasi KLHS tahap I berbunyi, pemda agar mengusulkan CAT yang memenuhi kriteria dijadikan Kawasan Bentang Alam Karst. Sejumlah kabupaten dan kota, seperti Rembang, Pati, dan Semarang, menyusun revisi tata ruang. ”Namun, prosesnya kurang terbuka,” kata Gunritno.
Menjaga Jawa
Cerita Kendeng adalah cerita petani. Kisah petani Kendeng ialah cerita keberlanjutan. Sukinah bertutur soal petani, kelestarian, pembangunan tak memicu bencana, serta warisan pegunungan dan alam lestari.
Dalam bahasa Jawa, Sukinah mengatakan, ”Sesuai fakta lapangan KLHS Tahap I, Pak Jokowi tak perlu sungkan. Apa yang benar katakan benar. Kami berharap Pak Jokowi propetani, prorakyat.”
Kisah Kendeng bukan milik rakyat Kendeng. ”Orang mau jadi petani. Namun, jika lahannya dirusak perusahaan semen, mereka tak bisa bertani. Petani butuh lahan dan air,” ujar Sukinah.
”Biar Jawa jangan tinggal cerita. Dulu di sana ada gunung, dulu ada desa di sana. Tapi lalu apa yang bisa diceritakan jika gunungnya tak ada, desanya tidak ada,” tambah Sukinah.
Para petani Kendeng bukan anti pembangunan, bukan anti industri, dan bukan anti semen. “Namun lokasinya harus benar. Kan ada tempat untuk membangun pabrik tanpa merusak. Manusia melindungi yang harus dilindungi,” tegas Sukinah.
“Seharusnya berpikir… jangan terus didesakkan di Jawa yang padat penduduk. Maka bencananya jadi banyak,” ungkapnya. Aksi mereka berbuah. Hari ini, Gunritno dan rombongan akan diterima pihak KSP. (ISW/SON)