Langit yang cerah menaungi Kota Solo, Jawa Tengah, di usianya yang menginjak 273 tahun, Sabtu (17/2). Sejak pagi, warga berduyun-duyun datang ke halaman Benteng Vastenburg di Solo.
Hari itu, dalam rangka peringatan HUT ke-273 Solo, Pemerintah Kota Solo menggelar acara Semarak Jenang Solo. Ribuan takir (wadah terbuat dari daun pisang) yang berisi ragam jenang dibagikan kepada warga secara gratis. Masyarakat Solo pun berpesta menikmati lembut, lembek, dan lengketnya jenang yang berasa manis, gurih, dan ada pula yang berasa pedas.
Semarak Jenang Solo dimulai dengan arak-arakan Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo dan jajarannya beserta tokoh-tokoh masyarakat dengan berjalan kaki dari Balai Kota Solo berjalan menuju Benteng Vastenburg.
Rombongan membawa 17 macam jenang. Banyaknya macam jenang tersebut terinspirasi dari peristiwa boyongan Keraton Kartasura ke Surakarta 273 tahun silam, yang kemudian menjadi penanda lahirnya Kota Solo.
Sebanyak 17 macam jenang yang diarak ke Benteng Vastenburg terdiri dari jenang sengkala, jenang abang putih, jenang katul, jenang procot, jenang lemu, jenang puputan, jenang timbul, jenang ngangrang, jenang taming, jenang sumsum, jenang lahan, jenang grendul, jenang pati, jenang koloh, jenang majemukan, jenang saloka, dan jenang warna papat. Beragam jenang itu juga telah disajikan di stan-stan peserta Semarak Solo Festival.
Ketua Panitia Semarak Jenang Solo Subagiyo mengatakan, ada 273 stan yang menyediakan 17 macam jenang tersebut. Stan itu diisi berbagai organisasi pemerintah dan swasta serta elemen masyarakat, antara lain pedagang pasar tradisional, kelompok-kelompok PKK kelurahan dan kecamatan, hotel dan restoran, organisasi perangkat daerah, serta perbankan.
”Jenang merupakan salah satu kuliner khas Solo yang merupakan warisan leluhur kita dan mengandung filosofi kehidupan yang kuat,” katanya.
Menurut budayawan Solo, ST Wiyono, jenang bukan sebatas kuliner yang enak dinikmati. Lebih dari itu, jenang masing-masing memiliki makna.
Jenang lemu yang terbuat dari beras, misalnya, memiliki makna tak lemah membangun semangat baru dalam kehidupan. Dengan makna itu, orang yang makan jenang lemu diharapkan mendapatkan suntikan semangat baru dalam hidupnya.
”Jenang timbul maknanya harapan tidak selalu menjadi kenyataan. Jadi, manusia harus ingat Allah dan selalu berdoa untuk mewujudkan harapannya agar menjadi kenyataan,” lanjutnya.
Wiyono mengatakan, jenang di Jawa ada sejak zaman kerajaan Hindu dan Buddha, dan mampu bertahan hingga saat ini. Karena itu, sudah selayaknya jenang dilestarikan.
”Jenang pantas diuri-uri (dilestarikan) sebagai warisan leluhur yang luar biasa. Tidak salah kalau mencoba melestarikan jenang dari hari ke hari. Namun, tidak sekadar itu saja, tetapi juga harus mengembangkannya,” ucapnya.
Hadi Rudyatmo mengatakan, Semarak Jenang Solo merupakan kelanjutan Festival Jenang Solo yang rutin digelar untuk memperingati HUT Solo. Festival Jenang Solo selama ini diselenggarakan di Koridor Ngarsopuro, Solo, sejak tahun 2012. Tahun sebelumnya, Festival Jenang Solo digelar Yayasan Jenang Indonesia, didukung Pemkot Solo.
Karena tahun ini tidak ada Festival Jenang Solo, untuk meneruskan kegiatan itu, Pemkot Solo menggelar Semarak Jenang Solo.
”Sebagai kekayaan budaya, jenang harus dilestarikan. Tahun depan akan kami gelar lagi acara ini,” katanya.
Gelaran Semarak Jenang Solo mendapat sambutan antusias ribuan warga. Jenang-jenang yang disajikan dalam ribuan takir ludes dalam waktu singkat.
”Saya suka jenang, jadi khusus datang ke acara ini. Tadi dapat jenang lemu,” kata Dhira, salah seorang pengunjung.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.