Ki Hadjar Dewantara mengkritik sistem pendidikan kolonial yang memosisikan sekolah sebagai penghasil tenaga kerja. Hampir 96 tahun kemudian, orientasi pendidikan dari pemerintah tidak berbeda jauh dari masa kolonial.
JAKARTA, KOMPAS -- Orientasi pendidikan yang ditawarkan pemerintah lebih pada pendidikan instrumentalistik daripada humanistik. Dalam hal ini, pendidikan lebih mengedepankan intelektualitas agar siswa mencapai prestasi akademik tinggi dan mengikuti pasar kerja. Padahal, pendidikan tidak cukup hanya aspek kognitif, tetapi juga afektif dan psikomotorik agar anak didik bisa menjadi manusia yang seutuhnya di masyarakat.
"Pendidikan kita lebih melihat pasar kerja butuhnya apa, tetapi bagaimana menciptakan manusia seutuhnya dengan budi pekerti agak dikesampingkan," kata peneliti bidang pendidikan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Anggi Afriansyah dalam diskusi bertemakan "Kontekstualisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara di Zaman Now" di Gedung Widya Graha LIPI, Jakarta, Kamis (15/2).
Pendidikan kita lebih melihat pasar kerja butuhnya apa, tetapi bagaimana menciptakan manusia seutuhnya dengan budi pekerti agak dikesampingkan
Anggi mengatakan, keputusan pemerintah memperbesar persentase SMK menjadi 70 persen dibandingkan SMA yang sebesar 30 persen harus diperhatikan betul agar tepat sasaran. Hal mengerikan terjadi ketika SMK yang digadang-gadang menghasilkan lulusan siap kerja, justru menghasilkan pengangguran. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2017, lulusan SMK mendominasi pengangguran di Indonesia, yakni sebesar 11,4 persen.
"Karena itu, kita tidak bisa lagi bicara pasar kerja, tetapi dunia kerja yang melingkupi kewirausahaan, bekerja secara mandiri," ucap Anggi.
Kritik Ki Hadjar Dewantara
Kritik itu sebenarnya telah dilontarkan Ki Hadjar Dewantara dengan upayanya mendirikan perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1922. Taman Siswa merupakan bentuk kritiknya atas sistem pendidikan kolonial yang memposisikan sekolah sebagai penghasil tenaga kerja. Saat itu konteksnya tenaga kerja di perkembangan industri kolonial, seperti perkebunan swasta, industri gula, dan kereta api.
"Ki Hadjar tidak ingin sampai pendidikan sebagai pabrik. Ki Hadjar ingin melawan kolonialisme dengan membangun pribadi yang merdeka," ujar Anggi.
Kemerdekaan yang dimaksudkan di sini adalah berdiri sendiri (zelfstandig), tidak bergantung kepada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, zelfsbeschikking).
Peneliti di Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Makmuri Sukarno menambahkan, Ki Hadjar ingin agar pendidikan bertolak pada budaya sendiri, bukan mengarah pada industri asing. Pendidikan harus bisa merestorasi industri-industri lokal demi kepentingan bangsa.
Ki Hadjar ingin agar pendidikan bertolak pada budaya sendiri, bukan mengarah pada industri asing. Pendidikan harus bisa merestorasi industri-industri lokal demi kepentingan bangsa.
"Jadi, orientasinya daerah. Pendidikan harus mampu menyuntikkan sumber daya manusia yang baik secara budi pekerti, pikiran, dan tenaganya relevan dengan konteks sosial, geografi dan budayanya," kata Makmuri.
Praktisi Pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Jimmy Ph Paat menuturkan, dalam pendidikan, penting untuk tidak hanya mengasah pikiran, tetapi juga rasa kepedulian terhadap budaya lokalnya. Hal ini bertujuan agar murid memiliki totalitas sebagai manusia seutuhnya.
"Yang diharapkan, kan, selepas dari pendidikan, siswa punya akar yang kuat untuk siap terjun ke masyarakat. Jadi semua aspek harus diseimbangkan," kata Jimmy.
Menurut Jimmy, pendidikan sendiri semata-mata bukan menjadi tanggung jawab guru. Dalam teori pemikiran Ki Hadjar, ada tiga hal penting dalam pola pendidikan atau trisentra pendidikan, yakni keluarga, perguruan, dan pergerakan pemuda (lingkungan). Ketiga aspek tersebut harus saling sinergis karena sangat berperan penting dalam pembentukan karakter anak. (DD18)