Penyerang Ulama Lamongan Diduga Warga yang 4 Tahun Menghilang
Oleh
ADI SUCIPTO KISSWARA
·4 menit baca
LAMONGAN, KOMPAS — Kepolisian mengungkap identitas pelaku penyerangan terhadap KH Abdul Hakam Mubarok, pengasuh Pondok Pesantren Karangasem di Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, Minggu lalu. Ia bernama Nandang Triyana (23) asal Cirebon. Untuk memastikannya, penyidik Kepolisian Resor Lamongan dan Polres Cirebon berkoordinasi untuk mendatangkan orangtuanya.
Kepala Polres Lamongan Ajun Komisaris Besar Feby Hutagalung, Selasa (20/2), menjelaskan, awalnya penyidik kesulitan menguak identitas tersangka yang menyerang KH Abdul Hakam Mubarok. Berdasarkan interogasi dan penyidikan awal, pelaku berulang kali menyebutkan, bapaknya Klewar, rumahnya di Lemahbang Kulon, namanya Paijo, atau Gana Kriana. ”Tetapi, dari ungkapan Lemahbang yang terlontar dari tersangka dan berkat koordinasi dengan Polres Cirebon akhirnya identitasnya bisa terkuak,” ujarnya.
Setelah penyidik menganalisis, Lemahbang Kulon masuk Kabupaten Cirebon. Penyidik Polres Lamongan berkoordinasi dengan Kepala Satuan Reserse Polres Cirebon Ajun Komisaris Reza Arfian dan timnya untuk mengecek ke lapangan. Berdasarkan hasil koordinasi, akhirnya diperoleh keterangan bahwa orangtua Nandang Triyana bernama Achmad Satibi (50) dan Sri Anah (49), warga Lemahbang Kulon, RT 011 RW 003, Kecamatan Lemahbang, Kabupaten Cirebon.
Keterangan keluarga, ciri fisik, dan pemeriksaan kejiwaan akan disinkronkan.
Nandang Triyana yang lahir pada 23 November 1994 pernah menempuh sekolah hingga kelas II SMP. Ia sekolah di SD Negeri 2 Lemahbang dan SMP NU Sindanglaut. Nandang menderita gangguan jiwa sejak kecil, tetapi tidak ada surat keterangan resmi. Ia memiliki tanda lahir (tompel) di tangan kiri dekat ketiak dan menderita penyakit kulit.
”Kemarin kami sudah mengidentifikasi orang yang diduga gila dan menyerang kiai di Paciran. Namanya Nandang Triyana asal Cirebon. Kami akan berkoordinasi kembali dengan Polres Cirebon untuk mendatangkan orangtuanya ke Rumah Sakit Bhayangkara dan dipertemukan dengan Nandang. Tujuannya agar bisa disinkronkan dan diyakinkan apakah ciri-ciri fisik dan identitas sesuai,” katanya.
Feby menuturkan, berdasarkan keterangan Polres Cirebon, yang bersangkutan menderita gangguan jiwa sejak kecil. Umur 2 bulan sampai sekitar 5 tahun, Nandang mengalami sakit step (kejang) dan panas berkepanjangan. Akibatnya, sejak kecil hingga kelas II SMP, Nandang menderita gangguan jiwa.
Yang penting warga menjaga kerukunan dan patuh pada hukum itu saja.
Namun, Nandang belum pernah dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan rutin. ”Dari keterangan orangtua, pernah diperiksa dokter Yogi di Cirebon, ada dugaan Nandang menderita gangguan jiwa,” ujar Feby.
Nandang meninggalkan rumah sejak 4 tahun lalu. Berdasarkan keterangan Kuwu Lemahbang Kulon Rudiana dengan diketahui Ketua RT 011 Edi Tarmedi dan Ketua RW 003 Wedaryono bertanggal 19 Februari 2018, Nandang Triyana meninggalkan rumah pada tahun 2013 karena menderita gangguan jiwa dan sampai saat ini belum diketahui keberadaannya.
Oleh karena itu, rujuk silang dengan mempertemukan orangtua dan Nandang sangat penting untuk mengembangkan kasus itu. ”Keterangan keluarga, ciri fisik, dan pemeriksaan kejiwaan akan disinkronkan,” ujar Feby.
Feby berharap masyarakat tidak berspekulasi agar masalah tidak melebar ke mana-mana. Penyidik telah bekerja keras hingga berhasil mengungkap jati diri tersangka. Namun, untuk memastikan kondisi kejiwaannya, tersangka masih diperiksa di Rumah Sakit Bhayangkara melibatkan 6 psikiater. Tim dari Rumah Sakit Jiwa Menur Surabaya juga dilibatkan.
”Kami hanya berharap masyarakat turut menjaga kondusivitas wilayahnya dan tidak terpancing isu-isu yang merebak akhir-akhir ini (penyerangan tokoh agama dan perusakan tempat ibadah). Kalau ada apa-apa, jangan main hakim sendiri,” ujar Feby seusai bersilaturahim ke Pondok Pesantren Darul Mustaghitsin di Lamongan.
Menurut Feby, tokoh agama, ulama, dan tokoh masyarakat punya andil dalam menjaga keteduhan di wilayahnya. Ia sendiri akan rutin bersilaturahim ke tokoh masyarakat dan tokoh agama untuk menambah kesejukan.
Saat Feby ke Ponpes Darul Mustaghitsin, ia menerima cendera mata cincin dengan batu akik panca warna dari pengasuh Ponpes, KH Mas’ud Al Mudjenar. ”Ini silaturahim pribadi, sekaligus sebagai upaya merekatkan sinergi antara kepolisian dan tokoh agama untuk menjaga kondusivitas wilayah,” ujar Feby.
KH Mas’ud Al Mudjenar mengimbau kepada masyarakat agar mematuhi dan taat pada peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan perundangan dibuat tidak ngawur atau asal-asalan. Semua itu untuk menjaga keamanan ketertiban. Intinya, kalau ada persoalan masyarakat, silakan memercayakan kepada penegak hukum. ”Yang penting warga menjaga kerukunan dan patuh pada hukum itu saja,” kata Mas’ud.
Ini silaturahim pribadi, sekaligus sebagai upaya merekatkan sinergi antara kepolisian dan tokoh agama untuk menjaga kondusivitas wilayah.
Sebelumnya, korban penyerangan, KH Abdul Hakam Mubarok, meminta kasus itu diusut tuntas. Jika terbukti tersangka menderita gangguan jiwa, ia rela dan meminta yang bersangkutan dibebaskan. Namun, jika tidak terbukti menderita gangguan jiwa dan pura-pura gila, harus diproses hukum dan diusut apa motifnya dan siapa yang menyuruhnya.