YOGYAKARTA, KOMPAS – Sedikitnya 300 akademisi di Yogyakarta dan sekitarnya mendesak Arief Hidayat segera mundur dari jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi. Arief dinilai telah kehilangan legitimasi moral dan etik untuk memimpin lembaga peradilan penafsir tunggal konstitusi.
Desakan tersebut mereka tuangkan dalam sebuah surat raksasa yang dikirimkan langsung ke alamat Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat Nomor 6, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat, DKI Jakarta.
Surat ini mewakili seruan ratusan guru besar, dosen, dan mahasiswa bidang ilmu hukum dari berbagai universitas di antaranya Universitas Gadjah Mada (UGM), Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia yang juga mantan Ketua KPK, Busyro Muqoddas, menilai desakan perlu dilakukan mengingat MK punya kedudukan sebagai lembaga peradilan penafsir tunggal di Indonesia. Kedudukan ini membuat MK menjadi alas pijak inti pengunci judicial review sejumlah undang-undang.
“Saat moral, etika, dan akhlak dari hakim konstitusi sudah rontok, maka akan rontok pula predikat kenegarawanan dari hakim konstitusi,” kata Busyro dalam pernyataan sikap bersama ratusan akademisi bidang ilmu hukum di Gelanggang Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rabu (21/2).
Busyro menganggap masyarakat perlu mengawasi moralitas dari hakim MK dengan ekstra ketat karena hakim MK adalah ujung tombak pengawal proses penyusunan perundang-undangan. Masyarakat punya tanggung jawab menjaga integritas MK, sama halnya seperti Komisi Yudisial (KY) dan KPK.
“Mahkamah konstitusi lahir dari gerakan reformasi sebagai koreksi total atas krisis moral pemerintahan order baru kala itu yang korup dalam banyak hal banyak sektor. MK harus dijaga oleh semua pihak terutama hakim MK sendiri,” ujar Busyro.
Arief dijatuhi sanksi etik berupa teguran lisan sebanyak dua kali oleh Dewan Etik MK. Sanksi pertama dijatuhkan pada 2016 karena memberikan katebelece kepada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Widyo Pramono terkait dengan seorang jaksa muda dari Trenggalek, Jawa Timur. Sanksi kedua pada 16 Januari 2018, Arief kembali mendapat sanksi karena bertemu pimpinan Komisi III DPR di sebuah hotel di Jakarta untuk membahas pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi.
Dua laporan lain juga diserahkan kepada Dewan Etik MK, yakni soal laporan harta kekayaan penyelenggara negara yang belum diserahkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2016 dan laporan pelanggaran etik oleh peneliti MK Abdul Ghoffar (31 Januari 2018), yang kini ditangani Dewan Etik MK.
Terbaru, elemen masyarakat sipil kembali melaporkan Arief. Kali ini, Arief diduga melanggar kode etik lantaran potongan percakapan dan pendapatnya di suatu grup media sosial Whatsapp yang substansinya dinilai mengomentari putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 tentang perluasan perzinaan.
Dekan Fakultas Hukum UGM Sigit Riyanto menilai hakim MK selaku pengawal hukum ketatanegaraan sekaligus peradaban Indonesia tidak selayaknya menyalahi norma hukum yang berlaku. Hakim MK seharusnya mampu menegakkan nurani, nalar, dan kebudayaan.
“Melihat kondisi MK saat ini, kita sebagai warga negara Indonesia punyai pilihan untuk memebiarkan jalan ketatanegaraan kita menuju kehancuran, atau mengoreksinya dengan mendesak Ketua MK untuk segera mundur,” kata Sigit.
Sementara itu, Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, Eko Riyadi, menyatakaan desakan berbagai elemen masyarakat kepada Arief Hidayat untuk mundur dari jabatan sebagai Ketua MK muncul karena Arief mencoreng jabatan hakim konstitusi.
Syarat sebagai hakim konsitusi, lanjut dia, adalah terbebas dari perilaku tercela. “Sejumlah laporan pelanggaran etika yang Arief lakukan tidak mencerminkan sikap negarawan yang seharusnya dimiliki dan dijunjung tinggi oleh seorang Hakim Konstitusi,” ujar Eko.