JAKARTA, KOMPAS — Indonesia masih mengalami ketimpangan yang cukup tinggi. Isu tersebut berpotensi dimainkan oleh para elite politik demi meraup suara dan kekuasaan semata dalam menyambut pilkada 2018 dan pilpres tahun 2019. Hal yang dikhawatirkan adalah jika isu itu berhenti pada tataran janji tanpa realisasi.
Dalam riset International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) 2017, sebesar 84 persen dari total 2.250 responden mempunyai persepsi adanya ketimpangan sosial pada sejumlah ranah.
Adapun ranah-ranah itu terdiri dari kesempatan kerja, kesehatan, pendidikan, dan penghasilan. Angka ketimpangan tertinggi terdapat pada ranah penghasilan yang dipilih 71 persen responden dan kesempatan kerja sebanyak 62,6 persen responden.
Direktur Eksekutif INFID Sugeng Bahagijo mengatakan, ketimpangan menjadi persoalan yang penting untuk diperhatikan.
”Mungkin, saat ini ketimpangan bagai api yang kecil. Tetapi, kalau api ini digunakan oleh kelompok yang tidak sesuai konstitusi, dapat menggoyahkan sendi-sendi bangsa. Dapat merusak rasa gotong royong,” tutur Sugeng, di Jakarta, Kamis (1/3).
Ia menjelaskan lebih lanjut, urusan ketimpangan ini membuat orang tidak percaya lagi kepada negara. Ketimpangan seolah membuktikan bahwa negara tidak benar-benar hadir dalam kehidupan masyarakatnya.
”Titik ini bisa dimanfaatkan oleh orang-orang yang ingin memecah belah bangsa. Mereka menjejali masyarakat yang merasa tidak makmur ini dengan ideologi yang bertentangan dengan dasar negara dan menjanjikan kehidupan yang lebih baik,” kata Sugeng.
Dian Kartika Sari, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, menyebutkan, ketimpangan secara umum didasari oleh adanya ketimpangan jender. Ia menilai adanya indikasi pemiskinan melalui ketimpangan jender. Contoh yang dia sebutkan adalah tentang perkawinan anak.
”Perkawinan anak ini biasa terjadi di masyarakat miskin. Anak perempuan dikawinkan di usia muda dengan tujuan melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Tetapi, yang terjadi justru anak itu semakin terbelenggu oleh kemiskinan,” lanjutnya.
Dian menjelaskan, ketika seorang perempuan menjadi korban perkawinan anak, ia kehilangan hak untuk tumbuh kembang. Perempuan itu pun akan terjebak dalam kemiskinan karena usia pernikahan biasanya hanya dua sampai tiga tahun.
”Ia telanjur kawin dan memiliki anak, sedangkan kemampuan dan pendidikan sangat rendah. Sementara itu suaminya meninggalkannya. Akhirnya, ia tetap jatuh miskin dengan bekerja di sektor informal,” ucap Dian.
”Jika perkawinan anak tidak diatasi, program-program penurunan ketimpangan dan kemiskinan tak akan mencapai hasil yang optimal,” tambah Dian.
Perkawinan anak biasa terjadi di masyarakat miskin. Anak perempuan dikawinkan di usia muda dengan tujuan melepaskan diri dari jerat kemiskinan. Tetapi, yang terjadi justru anak itu semakin terbelenggu oleh kemiskinan.
Intoleransi
Beberapa waktu lalu, Pilkada DKI 2017 sempat membuat masyarakat terpecah belah. Isu suku, ras, antargolongan, dan agama dimainkan oleh elite politik untuk memperoleh kekuasaan. Politik identitas dikhawatirkan mengancam kerukunan di kalangan masyarakat.
”Intoleransi harus jadi perhatian semua. Potensinya dahsyat untuk merusak kerukunan bangsa Indonesia,” kata Sugeng. ”Indonesia terbentuk agar orang Indonesia ini lebih bahagia dan sejahtera.”
Sugeng mengharapkan, para elite politik hendaknya beradu program pengentasan rakyat dari kemiskinan daripada memainkan isu-isu perbedaan agama dan intoleransi.
”Perlu ada agenda yang menghentikan atau mengurangi penggunaan politik identitas untuk menjaga gotong royong dan kedamaian antarwarga di Indonesia,” ucap Sugeng.
Totok Yulianto, Ketua Badan Pengurus Nasional Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengatakan, penegak hukum harus bertindak tegas terhadap kampanye intoleran. Ia mengharapkan masyarakat lebih memusatkan perhatiannya kepada visi-misi dan program kerja calon. ”Jangan sampai menjadi obyek kampanye intoleran,” ujar Totok.
Untuk mewujudkan hal itu, Istiatun dari Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) Yogyakarta menyebutkan, gerakan yang mengarusutamakan perdamaian dan persaudaraan itu harus terus digaungkan. Namun, ia tak menampik bahwa narasi-narasi yang mengacu pada kebencian akan selalu hadir.
”Yang harus dilakukan adalah kita buat narasi tandingan atas narasi kebencian itu. Jangan sampai narasi yang bernada kebencian mendominasi di seluruh ruang hidup masyarakat,” kata Istiatun.
”Tokoh-tokoh agama pun seharusnya memberikan kesejukan dan contoh hidup berdampingan dengan masyarakat yang beragam latar belakangnya. Jangan memperkeruh dengan ujaran kebencian,” lanjut Istiatun. (DD16)