Tradisi menenun di Nusa Tenggara Timur belakangan ini mulai diminati kaum pria. Pemasaran untuk kain tenun semakin terbuka dan meluas sehingga permintaan akan wastra pun meningkat. Sejak ratusan tahun, sejak tradisi menenun diwariskan leluhur, kegiatan menenum hanya dikuasai kaum perempuan. Sampai tahun 1980, menenun menjadi salah satu sarat bagi kaum perempuan untuk menikah.
Di Sanggar Tenun “Ina Sabu”, yang terletak di Perumahan Kolhua Kecamatan Maulafa Kota Kupang, Selasa (6/3), Maksi Kale (43), salah seorang penenun pria, duduk di antara tiga perempuan sambil menenun. Kale mengaku, sejak 2015 terlibat dalam menenun karena peremintaan akan tenun (wastra) motif Sabu meningkat.
“Sekarang sudah tiga orang pria bergabung di sanggar tenun Ina Sabu ini. Satu di antaranya lulusan sarjana ekonomi, tetapi tidak mendapatkan kesempatan bekerja di kantor, ia memilih bergabung di sini sejak 2016. Awalnya sekedar mengisi kesempatan kerja, tetapi lama kelamaan, ia menjadi mahir menenun dan merasa betah,”kata Kale.
Sanggar Tenun Ina Sabu memberlakukan sistem induvidu dan kelompok. Selain kegiatan menenun bersama untuk kebutuhan kelompok tiap hari Jumat dan Sabtu, mereka juga diberi kesempatan menenun secara induvidu untuk milik pribadi pada hari Senin-Kamis. Hari Minggu istirahat, sanggar ditutup.
Alat menenun dan tempat menenun diadakan kelompok, dengan mengumpulkan uang bersama. Sanggar ini berdiri 2014, kemudian tahun 2015 mereka mendapatkan bantuan berupa lima unit alat tenun dari Pemkot Kupang dan benang dari pabrik.
Hasil tenun kelompok dijual secara bersama pada pameran-pameran tertentu, bersama dengan hasil tenun induvidu. Uang kelompok dimanfaatkan untuk mengadakan alat tenun baru, atau mengganti yang sudah rusak.
Kegiatan kelompok pada hari Jumat-Sabtu, sekedar untuk membangun persaudaraan dan kebersamaan. Kegiatan itu berlangsung di tempat yang sama. Hanya hasil kelompok untuk kepentingan kelompok.
Kale mengatakan, lebih penting adalah kegiatan induvidu. Di sanggar itu, tidak hanya anggota yang terdaftar di sanggar datang menenun, tetapi anggota keluarga lain bisa datang membantu menenun. Ini khusus untuk kegiatan menenum pribadi. Hasil tenun induvidu ini dijual sesuai kebutuhan (keinginan) penenun, tetapi hasil kelompok tergantung kesepakatan kelompok.
Satu kain tenun dijual dengan harga Rp 50.000 - Rp 2 juta. Sementara biaya produksi (pengadaan benang, pewarnaan, dan lainnya) Rp 20.000 – Rp 500.000 per kain. Hasil tenunan menjadi mahal karena proses menenun dan mewarnai butuh waktu lama, dan dikerjakan secara telaten. Ini khusus motif Sabu. Motif daerah lain di NTT bisa saja lebih mahal seperti motif Sumba karena tingkat kesulitan menenun.
Rata-rata satu orang menghasilkan tiga lembar wastra dalam satu pekan. Itu kalau mereka bekerja dari pukul 08.00 – pukul 22.00 Wita tanpa istirahat, kecuali istirahat makan siang dan urusan ke kamar mandi.
“Hasil tenun ini langsung dikirim ke setiap pusat sovenir dan pusat penjualan wastra khas NTT. Tidak ada wastra yang menumpuk di sini, kecuali pesanan dari orang, masih tersimpan di sini,”katanya.
Wastra dengan panjang sekitar 180 cm dan lebar 80 cm, dijual dengan harga Rp 2 juta per lembar. Kain seperti ini biasanya untuk seprei, atau selimut. Bisa juga untuk kain seragam, rok, baju, bawahan, atau lainnya, tergantung kebutuhan. Sementara kain selendang atau sal, hanya dihargai Rp 50.000 per lembar.
Jika satu orang mampu menghasilkan satu kain saja dengan panjang 180 cm dan lebar 80 cm, ia sudah mendapatkan uang Rp 2 juta per pekan. Jadi, pekerjaan ini santat tergantung pada keterampilan, ketelatenan, kesabaran, dan kemauan.
Leo Rihi (32) lulusan Fakultas Ekonomi Universitas PGRI Kupang mengatakan, bergabung dalam kegiatan ini karena tertarik dengan keuntungan yang diperoleh dari wastra. Saat ini makin banyak orang NTT dan di luar NTT mengenakan wastra.
Ia mengaku, hanya menghasilkan satu kain per pekan, tetapi berkwalitas dan dijual dengan nilai Rp 1 juta – Rp 2 juta. Penghasilan ini pun sudah cukup, tetapi saat ini persaingan di pasar terkait wastra sudah tinggi.
“Kreativitas dan inovasi motif memang sangat penting dalam wastra karena selera konsumen berbeda-beda, dan berubah-ubah. Jika penenun tidak berinovasi, ia akan ketinggalan,” kata Rihi.
Secara keseluruhan delapan anggota sanggar tenun Ina Sabu ini menghasilkan sekitar 14 tenun per pekan. Jumlah 11 -12 wastra jenis sarung, sementara yang lain jenis salendang atau syal.
Rihi mengaku, tidak merasa gengsi menekuni pekerjaan menenun, meskipun teman-teman lain bekerja di kantor atau menjadi guru di sekolah. Paling penting adalah bekerja untuk menghasilkan uang dan membangun hidup.
Ia membandingkan, zaman dulu perempuan mengenakan celana dianggap haram, sekarang di mana-mana perempuan mengenakan celana. Hal ini sama dengan menenun, yang sejak ratusan tahun silam, hanya dilakukan kaum perempuan, tetapi zaman sekarang kaum laki-laki pun boleh menekuni pekerjaan itu.
Budayawan NTT Frans Wora Hebi mengatakan, sampai tahun 1980, perempuan yang sudah dewasa tetapi belum bisa menenun, tidak boleh menikah. Menenun menjadi salah satu syarat untuk menikah. Tetapi sekarang, persyaratan itu diabaikan karena sebagian besar perempuan sudah duduk di bangku pendidikan.