Tawa Tuntas dengan Ludruk Luntas
Anak lelaki 11 tahun itu merajuk saat ayahnya mengajak menonton ludruk, Sabtu (3/3) pukul 18.30. Ia sedang asyik dengan Youtube, situs berbagi video, dan atau Subway Surfer, permainan di aplikasi telepon seluler.
Rayuan ayahnya bahwa ludruk akan membuat terpingkal, menonton di gedung yang sejuk dan nyaman, dibelikan kudapan, dan suasana malam di luar rumah yang akan menyenangkan ternyata kurang mempan. Kemudian, dari sambungan telepon, ibunya merayu dengan agak memaksa. Akhirnya, anak itu luluh meski jelas terpancar aura terpaksa, malas, dan sebal.
Dari perbatasan Sidoarjo dan Surabaya, menggunakan jasa taksi daring, ayah dan anak lelaki itu pergi ke Gedung Kesenian Balai Pemuda di pusat ”Kota Pahlawan”, julukan Surabaya, ibu kota Jawa Timur. Mereka tak lupa menjemput ibu di kantor untuk bersama-sama menonton ludruk dengan lakon Ken Angrok oleh Luntas (Ludrukan Nom-noman Tjap Arek Soeroboio).
Setiba di kompleks Balai Pemuda, mereka tak segera masuk Gedung Kesenian meski waktu hampir pukul 20.00. Itu sudah lewat 30 menit dari jadwal pementasan ludruk. Mereka tak tahu di mana Gedung Kesenian. Sementara itu, di lapangan kompleks bangunan di sudut Jalan Gubernur Suryo dan Jalan Yos Sudarso itu ada hiburan panggung. Di dalam aula di sisi barat lapangan, kalangan warga giat berlatih tari remo.
Gedung Kesenian ternyata berada di lantai dua bangunan eks bioskop Mitra 21 di sisi timur lapangan. Setelah proyek pembangunan dan renovasi, gedung itu punya dua lantai. Lantai satu untuk Perpustakaan Umum Kota Surabaya, Rumah Bahasa Surabaya, dan Surabaya Tourism Center. Lantai dua untuk pementasan seni budaya tradisional suroboyoan atau jawatimuran. Antarlantai dihubungan dengan elevator atau kemudi angkat dan eskalator atau tangga berjalan.
Tepat pukul 20.00, mereka masuk Gedung Kesenian dan mendapat duduk di deretan kursi baris keempat. Saat itu, di panggung sedang berlangsung bagian lawakan atau banyolan. Mereka terlambat 15 menit sehingga melewatkan bagian pembukaan, yakni tari remo dan bagian bedhayan atau gending jula juli. Gedung berkapasitas 800 kursi empuk dan nyaman serta berpenyejuk udara itu hampir terisi penuh. Beruntung mereka dapat duduk di barisan agak depan.
Gol bunuh diri
Lawakan di panggung dibawakan dua lelaki yang salah satunya ialah Koordinator Ludruk Luntas Robert Bayoned. Di panggung mereka dengan bangga menyatakan diri sebagai Bonek (bondo nekat), pendukung setia, fanatik, dan militan Persebaya, klub sepak bola yang berdiri pada 1927 di Surabaya.
Salah satu bercerita amat lihat bermain sepak bola, tidak kalah dengan pemain profesional. Pernah dalam suatu laga, ia menggiring bola, melewati pemain lawan, dan sampai di depan gawang bola ditendang keras. ”Gol! Koen (kamu) memang sip berarti,” kata lawan bicara. ”Yo gak, bale melenceng (ya tidak, bolanya melenceng),” ujar si pembual yang membuat temannya kemudian tersenyum kecut.
Si pembual melanjutkan. Ia mendapat kesempatan ketiga. Bola digiring mendekati gawang. Ia dihadang pemain di kanan, kiri, depan, belakang. ”Aku mubeng-mubeng tok tapi pas ana kesempatan, bale tak tendan g sing kenceng. Gol! (aku berputar-putar saja tetapi saat ada kesempatan, bola ditendang dengan keras dan gol),” katanya. ”Gol! Wah koen hebat. Hebat koen. (Gol! Wah kamu hebat. Hebat kamu),” kata temannya.
”Tapi bar iku aku dikepruki sak stadion (Tapi setelah itu aku dipukuli orang sestadion),” kata si pembual.
”Lha, lapo? (Lha, kenapa?),” kata temannya.
”Aku ngegolke nang gawangku dewe (aku mencetak gol ke gawang sendiri),” kata si pembual.
”Oh, koen iku, sem**** (Oh, kamu itu ******),” balas temannya mengumpat kasar.
Adegan tadi sontak membuat gedung kesenian menjadi ramai oleh tawa penonton yang terpingkal. Ada yang kemudian melempari kedua peludruk tadi dengan rokok dan uang. Yang dilempari tentu senang dan minta lagi. Tak sedikit terdengar umpatan senang penonton tanda bahwa lawakan tadi sukses membuat perut terkocok dan terasa kaku.
Si anak lelaki tadi juga berkali-kali terpingkal, memegang perutnya, dan terkadang menangis gembira. Ia segera bilang ingin setiap Sabtu malam menonton pementasan drama tradisional karena ternyata banyak lawakan yang membuat ceria di malam gelap itu.
Pukulan kamehameha
Tertawa, olahraga perut dan mulut ternyata belum berhenti. Cerita tentang Ken Angrok pun penuh dibumbui banyolan yang norak, unik, aneh, bikin dahi mengernyit, bahkan diri mengumpat atau memaki. Misalnya adegan Ken Angrok mencobai kesaktian Resi Lohgawe. Pendeta saksi itu mengklaim mengetahui masa depan Ken Angrok akan menjadi raja dari kondisi sebelumnya sebagai perampok bengis.
Ken Angrok melepaskan pukulan jarak jauh ke Lohgawe. Pukulan itu berbentuk gumpalan awan putih biru yang berjalan karena dipegang oleh tokoh lain dengan topeng, baju, dan celana hitam. Gumpalan itu bergerak dari telapak Ken Angrok menuju Lohgawe. Tak disangka, oleh Lohgawe, pukulan itu dikembalikan dan menyerang si pemiliknya, Ken Angrok, sehingga tersungkur. Adegan itu sungguh kocak karena seperti film kartun atau komik Dragon Ball dengan sang jagoan Goku melepaskan kamehameha.
Adegan norak lainnya terjadi saat Ken Angrok ditaksir oleh seorang perempuan dan Ken Dedes. Saat berdialog dengan Ken Angrok, di atas kepala si perempuan penaksir dan Ken Dedes muncul tanda cinta berupa hati putih yang dipegang oleh pemain berpakaian serta hitam. Sungguh, kekonyolan itu bukan sekadar lucu, melainkan mengguncang sampai relung hati. Adegan yang konyol, gila, dan cocok jika diumpat dan dimaki tanda kagum.
Emoh ambruk
Nah, pementasan ludruk ibarat komedi dan tragedi. Komedi di panggung mungkin adalah gambaran tragedi kelestarian seni budaya ini yang katanya kian ditinggalkan. Benarkah? Tidak keliru bahwa bergulat dalam seni budaya tak memberi masa depan cerah. Apalagi di zaman digital seperti sekarang, saat dunia yang amat luas bisa digenggam melalui telepon seluler dan internet. Ludruk bahkan sudah dianggap mati, tidak sesuai selera anak zaman.
Ludruk pernah bertahan dengan pentas keliling atau disebut tobong dan diundang atau dibayar oleh masyarakat untuk memeriahkan acara hajatan. Namun, seiring zaman, kejayaan ludruk telah pudar dan hampir padam. Nyaris tiada lagi kelompok yang berani tobong atau pentas dengan menyewa gedung atau tempat dan mengandalkan pemasukan berasal dari penjualan tiket. Satu-satunya harapan kehidupan kelompok ludruk adalah ”ditanggap” masyarakat atau pemerintah untuk tujuan tertentu seperti festival.
Padahal, ludruk menyimpan nilai-nilai budaya bangsa yang otentik. Ludruk berakar pada kritik dan perjuangan bangsa menuju kemerdekaan. Untuk itu, ludruk bisa disebut salah satu benteng budaya identitas bangsa. Ludruk memang beridentitas multi, bukan melulu hiburan, melainkan penyuara kontrol sosial, nilai, moral, politik, dan budaya.
Di tengah lawakan peludruk mengatakan bahwa pementasan itu sebaiknya berakhir pukul 22.00 untuk mengepaskan dengan bayaran atau honor, tak terasa akhirnya batas waktu itu terlewati. Penonton nyaris tiada yang pergi sampai pementasan itu berakhir. Si anak tadi pulang dengan senang dan puas. Di mobil, dalam perjalanan pulang, ia menuntaskan hari dalam tidur yang pulas setelah tertawa tuntas.
Sebelum mata terpejam, lalu menyerah dalam bunga tidur atau mimpi, anak itu mengingatkan ayah dan ibu untuk kembali mengajaknya menonton drama tradisional, yakni ludruk, ketoprak, atau Srimulat pekan berikutnya. Ya, tentu ia akan kembali datang jika pentas mampu membuatnya sehat jiwa raga karena tertawa bahagia.