Tolak UU MD3, Mahasiswa di Palangkaraya Bakar Peti Mati
Oleh
Dionisius Reynaldo Triwibowo
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Kalteng Peduli Demokrasi melakukan aksi membakar peti mati di depan Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Tengah, Jumat (9/3). Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD.
Aksi dilakukan sejak pukul 07.00 WIB sampai pukul 11.30 WIB di depan Kantor DPRD Provinsi Kalimantan Tengah Jalan Ahmad Yani, Kota Palangkaraya.
Sekitar 100 mahasiswa yang tergabung dalam aliansi tersebut merupakan perwakilan dari beberapa organisasi kepemudaan, yakni Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Cabang Palangkaraya, Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Santu Dionisius Cabang Palangkaraya, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palangkaraya, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Cabang Palangkaraya, dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Palangkaraya.
Selain membakar peti mati, para demonstran juga membakar ban bekas di depan kantor DPRD. Aksi tersebut dijaga oleh ratusan aparat keamanan dari Kepolisian Resor Palangkaraya dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palangkaraya.
”Peti mati itu menggambarkan matinya demokrasi di Indonesia dengan adanya revisi undang-undang tersebut,” ungkap Ketua GMKI Cabang Palangkaraya Novia Adventy Juran di sela-sela aksi.
Menurut Novia, UU No 17/2017 tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (UU MD3) merupakan bentuk ketakutan wakil rakyat terhadap kritik masyarakat. Hal itu juga dinilai sebagai bentuk pembungkaman demokrasi di Indonesia.
”Kebijakan itu merupakan langkah mundur demokrasi di Indonesia. Saat ini seharusnya wakil rakyat mengurusi kebijakan yang membantu percepatan pembangunan, bukan malah kebijakan yang menguntungkan lembaga mereka sendiri,” tutur Novia.
Melalui UU MD3 hasil revisi yang pada 12 Februari lalu telah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR untuk disetujui menjadi undang-undang, DPR antara lain membuat peraturan bahwa penegak hukum yang akan meminta keterangan anggota DPR terkait kasus hukum harus ada pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). MKD juga berwenang mengambil langkah hukum terhadap mereka yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. DPR juga dapat melakukan pemanggilan paksa dengan ancaman sandera (Kompas, 14 Februari 2018).
Novia berharap, perjuangan penolakan UU MD3 bisa dilakukan seluruh masyarakat. Pasalnya, dengan adanya undang-undang tersebut, DPR dinilai tidak lagi mewakili masyarakat.
Ketua PMKRI Santu Dionisius Cabang Palangkaraya Saman mengatakan, revisi UU MD3 merupakan bentuk tameng DPR untuk menolak segala bentuk kritik, termasuk kebal hukum. Padahal, lembaga DPR dinilai sebagai salah satu lembaga yang paling korup dan penuh kolusi.
”DPR sedang membentuk imunitasnya terhadap kritik dan hukum. Ini tidak boleh dibiarkan, dari dulu seluruh masyarakat tahu DPR bukan lembaga suci tanpa dosa. Berapa banyak anggota dan juga pimpinan DPR yang terlibat korupsi, itu sudah bisa jadi bukti,” ungkap Saman.
Sekretaris DPRD Provinsi Kalteng Tantan, yang menerima peserta aksi, mengatakan, tak ada anggota Dewan yang berada di kantor. Baik ketua, wakil, maupun anggota Dewan sedang melakukan kunjungan ke luar daerah.
”Saya tidak bisa mengizinkan peserta aksi masuk ke dalam kantor karena percuma saja, tidak ada satu pun anggota Dewan di dalam,” ucapnya.
Koordinator lapangan aksi tersebut, Arifudin, mengatakan, pihaknya kecewa karena tak ada satu pun anggota Dewan yang ada di lokasi. Pihaknya akan melakukan aksi lanjutan sampai tuntutan mereka diterima dan bisa menyampaikan langsung aspirasi masyarakat kepada anggota Dewan.