LEWOLEBA, KOMPAS — Dua bangkai paus biru (Balaenoptera musculus) yang mati terdampar di dua tempat berbeda di Kabupaten Lembata pada Oktober 2014 menjadi tujuan wisata masyarakat lokal dan mancanegara. Pemda menyediakan tempat itu sebagai tempat wisata, tetapi masih dalam bentuk bangunan darurat. Lembata merupakan salah satu pulau yang menjadi pusat lalu lintas binatang mamalia seperti paus.
Wakil Bupati Lembata Thomas Ola Langoday dihubungi di Lewoleba dari Kupang, Senin (12/3), mengatakan, ada dua lokasi yang terdapat bangkai paus biru, yakni Desa Jontana di Kecamatan Ile Ape Timur dan Desa Watodiri di Kecamatan Ile Ape, keduanya di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur. Kedua ekor paus ini terdampar dalam rentang waktu berbeda pada 2014.
”Saat itu ada lima ekor paus biru yang terdampar di Teluk Waienga Desa Watodiri di Kecamatan Ile Ape. Mereka terjebak di dalam palung di teluk dengan kedalaman sekitar 100 meter, berjarak 100 meter dari garis pantai. Tiga ekor berhasil dipindahkan keluar,” kata Ola.
Dua ekor pun berhasil dipindahkan keluar dari dalam palungan. Satu ekor berusaha berenang, kemudian mati di Pantai Jontana, Kecamatan Ile Ape Timur, sekitar 15 mil dari Teluk Waienga, dan satu ekor lagi juga sudah keluar dari teluk itu. Namun, entah bagaimana, ia kembali lagi ke teluk kemudian mati di teluk itu. Jadi, satu ekor bangkai paus disimpan di Desa Jontana dan satu lagi di Desa Watodiri.
Dua tempat itu menjadi tujuan wisata. Hampir setiap hari selalu ada warga lokal atau turis dari luar, termasuk turis asing, berkunjung melihat bangkai paus itu. Namun, yang paling banyak diminati adalah bangkai paus di Desa Watodiri karena jaraknya hanya sekitar 17 km dari Lewoleba, sementara di Desa Jontana berjarak sekitar 50 km dari Lewoleba.
Tidak ada pungutan (retribusi) bagi pengunjung yang datang. Namun, mereka wajib menyerahkan uang ”sirih pinang” dengan jumlah Rp 10.000-Rp 50.000 secara sukarela kepada penjaga bangkai paus yang tinggal di sekitar.
Imelda Ose (54), penjaga bangkai paus di Desa Watodiri, mengatakan, bangunan yang dibuat dari daun kelapa dan tiang dari bambu untuk menaungi bangkai paus sepanjang 20,9 meter dan lingkar tubuh 8,8 meter itu sudah lapuk dan rusak. Daun kelapa sudah hancur sehingga saat musim panas atau hujan, langsung menerobos bangkai itu sehingga kondisi bangkai makin rusak, lapuk.
Di Desa Watodiri, bangkai paus diletakkan sekitar 10 meter dari sebuah batu dengan ketinggian sekitar 5 meter dari permukaan tanah. Batu ini diyakini sebagai asal-usul masyarakat dari Desa Watodiri. Watodiri sendiri dalam bahasa daerah setempat artinya batu berdiri. Tempat itu pun dianggap keramat sehingga tidak sembarang orang bisa mendekati, kecuali kepala suku setempat.
Perairan Lembata menjadi jalur lalu lintas paus dan hewan mamalia lain. Setiap tahun, ratusan paus, ikan pari, dugong, lumba-lumba, dan lainnya memasuki perairan Laut Sawu kemudian masuk di sekitar Pulau Lembata dan Alor.
Kepala Dinas Kebudayaan NTT Sinun Petrus Manuk mengatakan, semestinya pemda Lembata bisa membangun sebuah museum di Lewoleba, disebut museum paus. Museum ini khusus menyimpan bangkai paus, menceritakan tradisi menangkap paus oleh warga Desa Lamalera sekitar 45 km arah selatan Lewoleba, ratusan tahun silam.
”Dengan demikian, jika orang ingin melihat paus atau sejarah paus masuk Lembata, tidak perlu ke Lamalera, tetapi cukup melihat di Museum Lewoleba. Museum ini tidak hanya menceritakan cara menangkap paus secara tradisional oleh masyarakat, tetapi juga bagaimana merawat, melindungi, dan membudidayakan paus,” kata Manuk.
Kearifan lokal
Penangkapan paus secara tradisional di Lamalera Lembata tiap tahun berkisar 15-45 ekor. Januari-11 Maret 2018 sudah lima ekor paus ditangkap di Lamalera. Perburuan paus ini dilakukan sesuai adat dan tradisi lokal. Mereka memiliki sejumlah kearifan lokal, antara lain paus betina produktif tidak boleh ditangkap, kecuali paus jantan yang sudah tua. Jika paus betina tetapi sudah berusia di atas 100 tahun, boleh ditangkap.
Jika mereka menemukan paus betina produktif, segera dilepaskan kembali di laut. Para nelayan Lamalera memiliki pengetahuan, mengamati jenis paus, dan usia paus tersebut.
Paus yang ditangkap, daging, minyak, dan kulit paus dibagi kepada seluruh warga desa, termasuk desa-desa sekitar. Kelompok masyarakat yang pertama mendapatkan bagian daging paus adalah janda-janda dan yatim piatu serta warga miskin di dalam kampung. Kelompok kedua adalah penikam, pemilik perahu, suku, dan semua warga desa.
Daging paus ditukar dengan jagung, padi (beras), ubi, pisang, dan jenis makanan lokal lain dari warga pegunungan. Proses tukar-menukar ini berlangsung di Pasar Wulandoni, sebagai pasar barter khas Lamalera. Masyarakat Lamalera dari turun-temurun memiliki tradisi ini. Hidup mereka bergantung dari laut. Hasil tangkapan laut kemudian ditukar dengan hasil pertanian.