JAKARTA, KOMPAS — Kesiapsiagaan warga DKI Jakarta dalam menghadapi bencana dinilai masih kurang. Hal ini terjadi karena minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap potensi bencana yang mungkin terjadi. Untuk itu, pendidikan, latihan, dan sosialisasi perlu rutin dilakukan.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah DKI Jakarta Tri Indrawan berpendapat, kurang sadarnya masyarakat DKI dalam menghadapi bencana terlihat saat gempa melanda Jakarta dan sekitarnya pada akhir Januari lalu. Saat gempa terjadi, sebagian besar warga langsung panik. Warga belum bisa menentukan jenis gempa yang terjadi.
”Terutama (warga) yang di gedung tinggi. Mereka langsung buru-buru turun ke lantai dasar. Padahal, ada beberapa cara yang lebih baik dilakukan saat terjadi gempa, misalnya dengan bersembunyi di bawah (kolong) meja,” ujarnya di sela-sela acara lokakarya penanggulangan bencana di Jakarta, Selasa (13/3).
Oleh karena itu, Tri menilai, edukasi dan pelatihan perlu lebih masif dilakukan. Saat ini, pihaknya bersama dengan sejumlah lembaga swadaya masyarakat telah memulai edukasi tanggap bencana di beberapa sekolah dan madrasah di Jakarta. Pelatihan di tingkat pendidikan menjadi salah satu cara untuk menanamkan sikap tanggap bencana sejak dini.
Sejak 2017, terdapat sekitar 400 sekolah ataupun madrasah yang telah diberikan pelatihan tanggap bencana. Namun, jumlah itu masih jauh dari target yang ingin dicapai, yaitu sekitar 5.000 sekolah ataupun madrasah yang ada di DKI Jakarta.
”Upaya itu kami gaungkan melalui program Sekolah dan Madrasah Aman Bencana (SMAB). Kami juga sudah masukkan ke dalam RPJMD (Rencana Pembangungan Jangka Menengah Daerah) DKI Jakarta agar menjadi sistem yang berkelanjutan,” kata Tri.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Nomor 187 Tahun 2016, SMAB merupakan sekolah ataupun madrasah yang memiliki kesadaran akan risiko terjadi bencana. Selain itu, sekolah ataupun madrasah ini juga memiliki sarana dan prasarana serta manajemen penanggulangan bencana yang sesuai standar.
Selain di sektor pendidikan, edukasi dan pelatihan tanggap bencana ini juga digalakkan ke perusahaan-perusahaan, terutama yang berada di gedung tinggi. Tri mengatakan, ada lebih dari 1.000 gedung tinggi di Jakarta. Untuk itu, sebagai tindakan awal, setiap manajemen gedung diharapkan setidaknya mematuhi peraturan daerah terkait pengadaan rambu kebencanaan dan pengadaan alat penanggulangan kebakaran.
Sektor swasta didorong
Tri mengakui, pemerintah tidak dapat berkerja sendiri untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menghadapi bencana. Berbagai lintas sektor, mulai dari sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan individu dibutuhkan untuk mendukung kesadaran tersebut.
”Terlebih di sektor swasta karena memiliki peran yang besar terhadap karyawannya,” katanya.
Hal serupa juga disampaikan Valentina E Manurung, Team Leader Penguatan Kemampuan Pemerintah terhadap Siaga Bencana (Sigap) Wahana Visi Indonesia. Menurut dia, saat ini kinerja sektor swasta dalam menghadapi bencana masih sporadis, misalnya ketika memberikan bantuan di lokasi bencana.
”Terkadang ketika kami turun ke lokasi bencana, ada satu wilayah yang mendapatkan bantuan berlimpah, sementara di wilayah lain yang sebenarnya lebih terdampak bencana malah belum mendapatkan bantuan. Ini menjadi tanda, koordinasi belum terjadi dengan baik,” katanya.
Hal lain juga diungkapkan oleh relawan dari Artha Graha Peduli, M Muljanto. Ia mengatakan, koordinasi antarsektor usaha bisa menghasilkan nilai tambah selain dari pemberian tanggung jawab sosial kepada masyarakat ketika terjadi bencana. Koordinasi antarsektor swasta ini juga bisa dilakukan melalui konsep berbagi pengetahuan bersama.
”Pada dasarnya, ada tiga hal yang harus dijaga dari sebuah perusahaan, yaitu akses, aset, dan aktivitas. Ketiga hal ini bisa berdampak ketika terjadi suatu bencana jika perusahaan tersebut tidak siap siaga. Melalui knowledge sharing dengan perusahaan lain, persiapan bisa lebih mudah dan kuat dicapai,” katanya.
Kepala Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (UN-OCHA) Indonesia Oliver Lacey-Hall menuturkan, koordinasi lembaga usaha atau sektor swasta dalam menanggapi bencana akan lebih kuat jika tergabung dalam asosiasi tertentu. Ia menilai, beberapa perusahaan pun sudah merasakan adanya kebutuhan mendesak untuk mengelola koordinasi ini, baik antarlembaga usaha maupun dengan pemerintah dan masyarakat.
”Koordinasi ini sudah tidak lagi membahas soal tanggung jawab sosial lagi, tetapi lebih memastikan keberlanjutan aset yang dimiliki perusahaan itu sendiri. Sebuah perusahaan harus bersiap dan memiliki rencana dalam merespons terjadinya suatu bencana yang bisa memengaruhi kelangsungan usahanya,” kata Oliver.