Berdoa agar Terhindar dari Bom di Tengah Kemacetan Kota Kabul
Tiga minggu sebelum berangkat ke kota Kabul, Afghanistan, mengikuti rombongan Wakil Presiden Jusuf Kalla pada 27 Februari hingga 1 Maret 2018, saya dianjurkan seorang teman menonton film 12 Strong. Film itu bercerita tentang 12 prajurit Amerika Serikat yang berhasil mengusir rezim Taliban di sebuah kota di utara Afghanistan.
Namun, karena jadwal sangat padat, film itu tidak sempat saya tonton. Film itu diangkat dari buku Horse Soldiers karya Doug Stanton tentang prajurit paramiliter CIA dan US Special Forces yang dikirim ke Afghanistan setelah serangan 9/11.
Meski demikian, sebagai jurnalis, saya mencari beberapa bahan referensi sebagai bekal peliputan. Selain kliping berita harian sejak 1970-an, saya juga mencari sejumlah buku dan mendapatkan di antaranya Afghanistan (Louis Dupree, 1980 Edition) dan Taliban, The True Story of The World’s Most Feared Guerrilla Fighters (James Fergusson, 2011).
Saya juga sempat berdiskusi kecil dengan Wapres Kalla, yang diminta Presiden Joko Widodo untuk memimpin mewujudkan bina damai dan proses damai di Afghanistan. Kami berdiskusi soal sejarah, konflik, dan peluang Indonesia membantu negeri yang 40 tahun jatuh dalam konflik bersenjata dan kekerasan tersebut.
Wapres Kalla saat melihat kota Kabul dari jendela Istana Haram Sharai di Kabul, Afghanistan. Akankah Indonesia bisa mewujudkan proses damai di Afghanistan?
Sebelumnya, seperti diberitakan, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani saat melakukan kunjungan kenegaraan ke Istana Merdeka, Jakarta, April 2017, meminta secara khusus Presiden Joko Widodo membantu bina dan proses damai di Afghanistan. Kunjungannya itu didampingi Ketua Dewan Tinggi Perdamaian (The High Peace Council/HPC) Kharim Kalili, yang kemudian dilanjutkan pertemuan dengan Wapres Kalla yang dikenal berpengalaman mendamaikan sejumlah konflik di Ambon, Poso, dan Aceh.
Setelah ditindaklanjuti dengan berbagai pertemuan, Presiden Jokowi akhirnya mengunjungi Afghanistan pada akhir Januari lalu. Meskipun hanya sekitar enam jam di kota Kabul, kunjungan Presiden Jokowi sangat penting untuk menunjukkan komitmen dan membuka jalan Indonesia bekerja sama dan membantu proses perdamaian di Afghanistan.
Untuk itu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pada November 2017 terlebih dahulu datang untuk mempersiapkan kunjungan Presiden dengan meletakkan dasar-dasar kerja sama kedua negara sebagai fondasi perdamaian.
Pada awal Febuari lalu, bersama sejumlah ulama Afghanistan, Kharim juga kembali mengunjungi Indonesia dan bertemu dengan Wapres Kalla. Di Istana Wapres Kalla, selain membahas tindak lanjut proses dan bina damai, dilakukan pertemuan bilateral ulama Afghanistan dan Indonesia. Acara ini diselenggarakan diam-diam karena memang bagian dari silent operation mewujudkan perdamaian di Afghanistan.
Untuk mewujudkan proses damai, Wapres Kalla boleh dibilang menjadi ”panglima”-nya, sedangkan Menlu Retno sebagai ”komandan”-nya. Kalla juga melibatkan sejumlah anggota timnya yang pernah sukses dalam perundingan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Ambon, dan Poso untuk mengakhiri ”perang” selama 29 tahun dalam sebuah Nota Kesepahaman (MOU) Damai RI-GAM pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. Mereka di antaranya tim perunding Hamid Awaluddin dan tim penghubung Farid Husain.
Pemerintah Afghanistan yang baru memulai proses damai dengan menggelar Konferensi Proses Kabul 1 pada Juni 2017, dilanjutkan Konferensi Proses Kabul 2, yang dihadiri Wapres Kalla pada akhir Februari lalu, dengan tema perdamaiaan dan keamanan tampaknya menaruh harapan besar pada peran Indonesia.
Selain diamanatkan di UUD 1945 untuk ikut berpartipasi dan menciptakan perdamaian dunia, Indonesia tak punya kepentingan politik, sosial, dan ekonomi terhadap Afghanistan. Bahkan, Indonesia dinilai memiliki rekam jejak yang baik sebagai negeri dengan mayoritas Muslim tetapi tetap menganut demokrasi, serta punya pengalaman menyelesaikan berbagai konflik secara damai dan bermartabat. Itulah yang mendorong Pemerintah Afghanistan meminta bantuan Pemerintah Indonesia.
Udara cerah meski tak menentu
Saat Pesawat Kepresidenan Indonesia-2 yang membawa Wapres Kalla dan 40 orang anggota rombongannya terbang di atas pegunungan Hindu Kush sebelum memasuki Kota Kabul, Komandan Grup B Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) Kolonel Pas Deny Muis menghampiri saya dan dua wartawan lainnya, Republika dan TvOne.
Ia menjelaskan sisi pengamanan selama kunjungan Wapres, termasuk bagaimana wartawan harus mengantisipasi segala kemungkinan jika terjadi sesuatu selama di Afghanistan.
”Ikuti kami karena teman-teman pers termasuk yang kami harus lindungi jika terjadi apa-apa selama di sana. Kami juga akan bagikan jaket pelindung yang wajib dipakai Rabu (28/2) sebelum ke Indonesia Islamic Centre (IIC) karena lokasinya rawan. Tetapi, silakan jika mau dipakai mulai hari ini dan selama di Kabul untuk berjaga-jaga,” ungkap Deny seraya meminta anak buahnya membagikan jaket pelindung dan mengajari cara menggunakannya.
Wartawan juga disarankan tidak sendirian ke luar hotel dan tidak sembarang memotret karena ada pengalaman anggota tim pendahulu rombongan sebelumnya terpaksa harus diinterogasi akibat ketahuan memotret prajurit Afghanistan.
Anggota Paspampres yang ikut rombongan utama Wapres Kalla pun kemudian mulai mempersiapkan perlengkapan dan peralatan satuan dan personel selama pengamanan di Afghanistan.
Selain sarana komunikasi dan jaket pelindung yang ditutup dengan rompi hitam, personel Paspampres juga mempersiapkan pistol dan senjata otomatis di pinggangnya. Dua senapan panjang yang digunakan sniper dari Paspampres juga terlihat di antara sejumlah barang yang dibawa dari Jakarta.
Wapres Kalla yang menemui anggota rombongannya di kabin belakang pesawat tampak menaruh perhatian dengan langkah pengamanan kunjungannya. Ia kemudian mendapat penjelasan dari Deputi Bidang Intelijen Luar Negeri Badan Intelijen Negara (BIN) Mayjen TNI Chandra W Sukotjo, Wakil Komandan Paspampres Brigjen TNI Maruli Simanjuntak, dan Kepala Biro Pengamanan Sekretariat Militer (Sesmil) Marsma TNI Haris Haryanto soal aspek-aspek pengamanan di Afghanistan.
Bahkan, Wapres Kalla tertarik dan melihat kotak peluru sebuah pistol yang akan digunakan Paspampres. Paspampres pun memberikan penjelasan terkait persenjataan yang digunakan.
Tak lama terbang di atas hamparan pasir dan bebatuan serta puncak gunung yang saljunya mulai mencair di atas wilayah Afghanistan, Selasa (27/2) pukul 14.40 waktu setempat, Pesawat Kepresidenan Indonesia-2 mendarat di Bandara Internasional Hamid Karzai dengan mulus.
Wapres Kalla disambut Duta Besar RI di Afghanistan Mayjen TNI Arief Racham dan petugas protokol negara dari Afghanistan. Meskipun udara sangat cerah dengan suhu sekitar 7 derajat celsius, kondisi keamanan kota Kabul disebutkan saat itu tak menentu. Ancaman serangan dari kelompok Taliban masih membayang-bayangi pasukan keamanan pemerintah.
Apalagi, seperti dilaporkan Reuters, akhir pekan itu serangkaian serangan oleh kelompok Taliban tetap terjadi dan menewaskan lebih dari 20 orang. Serangan itu antara lain dilakukan Jumat (24/2), atau empat hari sebelum kunjungan Wapres Kalla, terhadap pos militer di kota Kabul.
Karena itu, tentara Afghanistan terlihat waspada berjaga-jaga di sekitar pesawat dan bandara saat Wapres dan rombongan tiba. Mereka tersebar di setiap sudut dengan senjata otomatis. Meski demikian, mereka tetap ramah saat disapa, ”Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Jawaban mereka, "Wa\'alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh." Uniknya, sebagian dari mereka juga mau diajak berfoto sambil menenteng senjata otomatisnya.
Jika dibandingkan saat Presiden Joko Widodo datang melakukan kunjungan kenegaraan sekitar 6 jam di Kabul akhir Januari lalu, cuaca dan kondisi keamanan saat itu memang agak berbeda. Seperti dilaporkan waktu itu, sebelum Presiden Jokowi mendarat di Kabul, cuaca dan kondisi keamanan Kabul jauh lebih buruk.
Bukan hanya hujan salju dan udara dingin yang menyergap, tetapi juga ledakan bom sehari sebelumnya, yang menewaskan ratusan orang. Jarak titik ledakan juga hanya sekitar 400 meter dari Kedutaan Besar RI di Kabul. Juga adanya serangan bersenjata ke markas militer pada pagi harinya sebelum Presiden mendarat di Kabul.
”Pengalaman pengamanan saat kedatangan Presiden tentu menjadi rujukan dan evaluasi kami sebelum berangkat untuk terus berlatih dan berlatih serta mempersiapkan diri meskipun setiap hari Paspampres itu selalu siap dan siaga serta waspada,” ujar Maruli saat perjalanan pulang dari Kabul ke Jakarta.
Selama lebih dari tiga minggu, Paspampres memang melatih diri dan mendengarkan evaluasi dan paparan langsung dari Komandan Paspampres Mayjen TNI (Mar) Suhartono yang pernah memimpin langsung pengamanan Presiden Joko Widodo selama kunjungannya di Kabul waktu itu.
Untuk pengamanan kali ini, Paspampres tidak main-main. Para anggota Paspampres yang ikut rombongan Wapres diseleksi dulu. Mereka yang terpilih harus berlatih tiap hari dalam penggunaan senjata, pencegahan ancaman, serta perlindungan dan penyelamatan, terutama bagi Wapres dan rombongan. Saat keberangkatan, Kompas mencatat ada 10 anggota Paspampres terlatih yang siap mendampingi Kalla.
Adapun tim pendahulu (advance) yang datang beberapa hari sebelumnya berjumlah 15 prajurit Paspampres,. Mereka dipimpin Wakil Komandan Grup B Letkol Hernawan. ”Untuk tim advance, kami memberangkatkan tiga letnan kolonel,” kata Hernawan. Bahkan, saat keberangkatan di Base Ops Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Selasa pagi, Komandan Paspampres Mayjen Suhartono juga ikut mengantar keberangkatan anak buahnya. ”Ini pelepasan yang sangat besar artinya dari komandan Paspampres untuk memperkuat semangat anak buah,” ujar prajurit Paspampres lainnya.
Sejarah konflik
Afghanistan yang aman dan relatif damai saat Rajanya Mohammed Zahir Shah dikunjungi presiden ke-1 RI Ir Soekarno pada 18 Mei 1961 kini memang sudah berubah total. Negeri dengan potensi sumber daya mineral dan perdagangan yang besar itu jatuh dalam ”perang saudara” berkepanjangan akibat faktor internal dan eksternal di negaranya.
Sejumlah bangsa asing—mulai dari Aleksander Agung atau Iskandar Agung, raja dari Kekaisaran Makedonia, sebuah negara di daerah timur laut Yunani pada 330 Sebelum Masehi (SM)—pernah datang dan mencoba menundukkan Afghanistan. Mongolia dan Inggris juga termasuk yang ingin mencoba menguasasi Afghanistan.
Rusia pun pernah mencoba menduduki Afghanistan. Meskipun beberapa tahun berhasil menginvasi Afghanistan dengan dalih menahan laju rembesan pengaruh Iran setelah Revolusi Saur (nqilab-e-Saur) pada 1978, Rusia akhirnya meninggalkan Afghanistan pada 1989 setelah digerilya pasukan Mujahidin dan cikal bakal Taliban, yang disokong persenjataan Amerika Serikat dan Pakistan.
Namun, kaum Mujahidin yang berhasil mengusir Rusia dan memimpin pemerintahan di Afghanistan akhirnya jatuh juga dalam konflik dan perpecahan elite. Selain dengan Taliban, Mujahidin berseteru dengan Partai Islam (Hezb-e-Islami Leninis), yang dipimpin Gulbuddin Hekmatyar, juga berseteru dengan Partai Masyarakat Islam (Jamiat-e-Islami) dipimpin Burhanuddin Rabbani. Belum lagi ada partai-partai kecil lainnya yang ikut dalam persaingan merebut kekuasaan yang memperumit Afghanistan.
Di tengah konflik dan perpecahan ini, kelompok Taliban yang berasal dari siswa-siswa madrasah di perbatasan Afghanistan dan Pakistan akhirnya muncul sebagai kekuatan baru dan besar dengan dukungan warga Afghanistan. Mereka tak hanya menolak korupsi merajalela yang dipratikkan pemerintahan baru di Kabul, tetapi juga mendukung penerapan hukum Islam yang keras di Afghanistan.
Kelompok ini awalnya juga ikut mengusir Rusia dari bumi Afghanistan di utara, tetapi akhirnya larut dalam pergolakan. Setelah berhasil merebut kekuasaan di Afghanistan pada pertengahan 1990, Taliban pada 2001 akhirnya dipaksa kembali ke gunung setelah serangan besar-besaran tentara AS dan pasukan NATO. AS dan NATO waktu itu menggempur Afghanistan untuk mencari Osama bin Laden yang dianggap bertanggung jawab atas serangan 9/11, menara kembar WTC di New York.
Dengan bergerilya, Taliban kini berusaha merebut kembali kekuasaannya dan mencoba memimpin pemerintahan. Tak pelak perang saudara pun hingga sekarang terjadi. Pemerintahan Presiden Hamid Karzai kemudian diganti Presiden Ashraf Ghani yang masih dianggap sebagai ”boneka” AS dan NATO. Dilaporkan kantor berita asing, pemerintah Afghanistan hanya mampu mengontrol sekitar 60 persen kondisi keamanan wilayahnya. Selebihnya dikontrol oleh Taliban.
Menurut Taliban, rezim pemerintahan tersebut harus diganti karena legitimasi dari Barat. Itulah akar konflik yang terus terjadi di Afghanistan, dan dicoba ingin diperdamaikan dan dirukunkan Pemerintah Indonesia lewat Wapres Kalla.
Ketika Wapres Kalla akan datang dan memulai proses perdamaian tersebut, diharapankan Kabul aman dan damai. Namun, siapa yang dapat menjamin keamanan selama di sana. Meski demikian, dalam sehari-hari, kehidupan warga kota Kabul terlihat normal dan biasa. Mereka tetap berdagang di pasar dan di jalan tanpa khawatir serangan bersenjata ataupun ledakan bom. Pedagang pakaian, buah, dan makanan dengan santai terlihat tetap menawarkan dagangannya. Pedagang jus dengan santainya memutar alat pemerasnya secara manual, dan ditunggui calon pembelinya yang tampak tetap sabar menunggu.
Namun, apa pun kondisinya, Paspampres tetap selalu bersiaga. ”Kami selalu waspada di mana pun, apalagi kondisi Kabul dilaporkan tidak menentu. Selain ancaman Taliban, juga ada sekitar 5.000 anggota kelompok Negara Islam di Irak di Suriah (NIIS/ISIS) yang sudah masuk. Kami melakukan pengamanan tertutup,” ujar Maruli.
Terus terang, saat dalam rangkaian iring-iringan kendaraan mobil rombongan Wapres dari Bandara Hamid Karzai ke Istana Haram Sharai, saya tidak merasa khawatir. Pasalnya, pengawalan sangat ketat di perjalanan. Dari bandara menuju Istana Haram Sharai, selain harus berjalan zig-zag melewati ratusan tembok beton yang ditempatkan sedemikian rupa, juga palang atau portal besi dan kawat berduri serta karung-karung pasir dan pos-pos penjagaan, yang masih ada di pinggir jalan ataupun di depan gedung-gedung.
Namun, saat berjalan sendiri, tanpa pengawalan dan harus melewati kemacetan tak jauh dari pintu gerbang selepas dari Istana Wisma Sharai, yang dijaga ketat, hati pun menjadi kecut. Rombongan pers hanya bisa berdoa. Pasalnya, di tengah kemacetan dan lalu lalang warga kota Kabul jalan di pinggir jalan, siapa yang bisa menyangka jika tiba-tiba saja ada sebuah bom diledakkan atau terjadi penyerangan sporadis terhadap warga atau anggota rombongan.
Kami hanya bisa berdoa tak hanya untuk keselamatan diri dan rombongan, tetapi juga berdoa agar perdamaian nyata dapat segera diwujudkan sehingga bagi warga negara mana pun tidak ada kekhawatiran dan kecemasan selama di kota Kabul.
Terlebih bagi penduduk Kabul dan wilayah di Afghanistan lainnya yang sudah lama merindukan perdamaian dan kerukunan antarsesama penduduk. Seperti yang diungkapkan seorang wartawan di Kabul, Jawad Jalali, dari kantor berita foto European Pressphoto Agency (EPA) saat bertemu Kompas di sela-sela Konferensi Proses Kabul II. ”Rombonganmu adalah tamu spesial kami yang sudah lama kami tunggu untuk mendamaikan negeri kami,” ujarnya, sembari bertukar alamat e-mail jika sewaktu-waktu meliput Forum Tripartit Ulama tiga negara, Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia, di Jakarta, akhir Maret ini.
Rombonganmu adalah tamu spesial kami yang sudah lama kami tunggu untuk mendamaikan negeri kami.
Menjelang masuk ke Hotel Serena di selatan Kabul atau Jalan Froshgah, kebetulan mobil yang saya tumpangi memang ditempeli tanda khusus Rombongan Wapres RI sehingga bisa masuk. Namun, mobil tanpa tanda khusus, praktis tidak akan bisa lewat. Jalan utama depan Hotel Serena Selasa sore itu agak lengang karena, baik mobil maupun pejalan kaki, tak boleh lalu lalang di depan hotel.
Hotel Serena pun tidak terlihat seperti hotel umumnya, yang indah dan aksesnya mudah. Di depan hotel dibangun atau dipasangi tembok pembatas yang tebal dan tinggi sekitar 2 meter. Itulah tempat kami menginap di Kabul.
Untuk masuk ke hotel, kami harus melewati jalan berkelok dengan ”polisi tidur” yang tinggi, dan tiga lapis penjagaan yang tertutup portal besi dan pos tentara dengan prajurit bersenjata yang siap menarik pelatuknya. Pintu gerbang hotel juga tertutup pagar besi besar yang dibuka dua prajurit bersenjata. Wajah-wajah berkumis dan berjenggot dengan topi pakol (topi tradisional Afghanistan) serta berpakaian tradisional salwar kameez membukakan portal dengan ekspresi dingin.
Demikian pula ketika masuk hotel yang pernah diserang Taliban pada 2008 dan 2014 dengan sejumlah korban tewas di dalamnya. Tampak sejumlah prajurit dengan pakaian jas dan jaket antipeluru berjaga-jaga di sudut-sudut hotel.
Melalui ”jalur neraka”
Hari kedua di kota Kabul, Rabu (28/2), kondisi cuaca boleh dikatakan tetap sejuk dengan suhu masih 5 derajat celsius. Meski demikian, kondisi keamanan kota masih dinyatakan tetap tidak menentu. Hal itu diungkapkan Wakil Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Komisaris Jenderal Syafruddin yang menyertai rombongan Wapres Kalla.
Menurut mantan ajudan Wapres Kalla saat berpasangan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode 2004-2009, dari berbagai laporan yang diterimanya, kondisi Kabul pada Rabu itu memang tak menentu dan tidak lebih baik dari hari sebelumnya. Masih ada ancaman dari kelompok Taliban yang tak mau berunding dengan pemerintah serta simpatisan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) sudah masuk kota Kabul.
Pengamanan Wapres Kalla diperketat. ”Buat Pak Wapres aman, tidak akan terjadi apa-apa,” kata Syafruddin saat ditanya seusai Konferensi Proses Kabul II di Istana Haram Sharai.
Dari Istana Haram Sharai, agenda Wapres Kalla berikutnya adalah peletakan batu pertama pembangunan klinik kesehatan di Indonesia Islamic Centre di Ahmad Shah Baba Mina, kawasan permukiman kumuh, yang berjarak 40 menit berkendara dari kota Kabul. Lahan seluas 10.000 meter persegi yang pernah dihibahkan kepada Pemerintah Indonesia di era Presiden Yudhoyono itu sudah berdiri Masjid As-Salam.
Pemerintahan Jokowi-Kalla akan membangun kembali sebuah klinik kesehatan dan tempat pendidikan Islam yang moderat di kawasan itu. Namun, lokasinya berada di wilayah terbuka, dikelilingi rumah penduduk, beberapa gedung bertingkat, dan apartemen karena itu rawan dengan penembakan.
Sesuai standar pengamanan Paspampres, Wapres Kalla diminta menggunakan jaket pelindung untuk mencegah menjadi sasaran penembakan, tetapi Wapres Kalla menolak. ”Presiden Joko Widodo saja berani (ke Afghanistan). Saya, ’kan, mendapat tugas negara mewujudkan perdamaian. Masa takut,” ujar Kalla yang menirukan jejak Presiden Jokowi menolak menggunakan jaket pelindung dan kendaraan taktis saat di Kabul.
Untuk itu, Maruli menempatkan 2 penembak jitu dari Paspampres, selain 15 penembak jitu dari tentara Afghanistan yang ditempatkan di sejumlah gedung. Awalnya, demi keamanan, tenda biru yang dipasang di lokasi Indonesia Islamic Centre hampir menutup seluruh lokasi itu. Namun, setelah ditinjau Maruli, pemasangan tenda diperkecil dan hanya di lokasi peletakan batu pertama dan untuk ”ruang” holding Wapres Kalla saja.
”Kami juga menolak lokasi peletakan batu pertama klinik kesehatan di Indonesia Islamic Centre dikelilingi tenda agar saat Wapres Kalla melakukan peletakan batu pertama tidak kelihatan. Tidak usah berlebihan-lah. Pantasnya saja dan aman,” kata Maruli menceritakan.
Maruli juga mengakui, jalan aspal dari pusat kota Kabul di Istana Haram Sharai menuju Ahmad Shah Baba Mina dikenal sebagai jalur yang rawan atau ”jalur neraka”. Untungnya, kendaraan yang saya gunakan bersama rombongan lainnya adalah keluaran AS, Suburban, sehingga dapat dipacu di atas 80 kilmeter per jam.
Selain menggunakan voorijders, mobil rombongan Wapres Kalla juga dipacu dengan sangat cepat. Mobil yang digunakan Wapres Kalla adalah mobil anti peluru. Selain itu, ada mobil pengawal prajurit Afghanistan yang berada di jalur sebelah kiri mobil rombongan. Mereka kerapkali menginstruksikan sang supir untuk memacu mobilnya lebih cepat lagi tersebut agar tak mudah jadi sasaran tembak aparat.
Untuk kepentingan kunjungan kerja Wapres, semua jalan ditutup sehingga praktis hanya mobil rombongan Wapres Kalla dan mobil petugas yang dapat lewat.
”Di jalan itu sering terjadi penghadangan dan penembakan karena sebelah kiri jalan adalah perbukitan dan sebelah kanan permukiman padat. Karena itu, kendaraan yang dipakai Pak Wapres adalah jenis antipeluru. Meski dikawal tentara Afghanistan, mobil ini harus dipacu cepat untuk menghindar jika ada penembakan,” kata Maruli.
Jalur dari Istana Haram Sharai menuju Ahmad Shah Baba Mina selepas pusat kota Kabul adalah kawasan permukiman padat. Di sebelah kanan jalan ada kalanya kawasan kumuh dan di sisi kirinya kawasan perbukitan tandus.
Menjelang tiba di kawasan Ahmad Shah Baba Mina, banyak prajurit Afghanistan berjaga-jaga dan terlihat menyebar di sejumlah tempat. Sejumlah panser bercat putih dengan totol-totol hitam yang dijaga tentara bersenjata lengkap juga tampak dipajang di depan pintu masuk jalan menuju Indonesia Islamic Centre dan pintu gerbangnya.
Pasukan Keamanan Khusus Kepresidenan Afghanistan juga diterjunkan untuk mengawal Wapres Kalla. Selain anggota rombongan Wapres Kalla dan Kedutaan Besar RI, tidak boleh ada orang lain satu pun yang diizinkan masuk oleh petugas keamanan Afghanistan.
Kalla kemudian melakukan peletakan batu pertama pembangunan klinik kesehatan di kompleks Indonesia Islamic Centre. Saat peletakan, dua anggota Pasukan Keamanan Khusus Kepresidenan Afghanistan mengawal ketat gerakan Wapres Kalla. Selain menggunakan jaket pelindung di luar jasnya, keduanya juga selalu memegang senjata otomatis berikut amunisinya di dadanya, yang siap digunakan jika kondisi darurat.
”Di lokasi ini tidak bisa main-main. Kami harus selalu siap sedia mengantisipasi segala kemungkinan. Bukan hanya Taliban yang sewaktu-waktu dapat menyerang, melainkan juga NIIS,” bisik anggota Paspampres kepada saya.
Setelah sekitar 1 jam berada di kompleks Indonesia Islamic Centre dan shalat Tahiyatul di masjid, Wapres Kalla menuju Kedutaan Besar RI di Malalai Watt, Shah-re-Naw, pusat kota Kabul. Perjalanan berjalan lancar dengan kecepatan 80 kilometer per jam. Masuk ke KBRI juga sama, melewati dua pos penjagaan yang sama ketatnya. Selain ditutup dengan portal besi, juga penjagaan prajurit Afghanistan yang ketat dan selalu waspada.
Di KBRI, Wapres Kalla kemudian bertemu dengan sejumlah pihak yang ikut terlibat dalam proses dan bina damai di Afghanistan. Pertemuan dilakukan tertutup dan sama sekali tidak boleh diberitakan oleh pers.
Dari KBRI, rombongan wartawan harus kembali ke Hotel Serena untuk membuat berita. Para wartawan merasa lebih mudah akses Wifi di Hotel Serena dalam proses pengiriman berita liputan dari Afghanistan. Sebenarnya, akses internet di KBRI sebenarnya mudah tetapi karena ada sejumlah pertemuan intern yang tak dapat diliput, pers memilih membuat berita di hotel. Akses internet selama di Afghanistan memang tidak mudah. Jaringan seluler dan sinyal di berbagai tempat di Kabul adakalanya muncul tetapi adakalnya juga menghilang. Begitu juga saat di Istana Haram Sharai, akses wifi dan jaringan sulit didapat. Oleh karena itu, Hotel Serena, tempat menginap rombongan, kecuali Wapres yang menginap di Istana Haram Sharai, menjadi pilihan utama rombongan berkomunikasi dan mengirim berita.
Namun, perjalanan dengan mobil wartawan dan staf Wapres dari KBRI di Malalai Watt, Shah-re-Naw, ke Hotel Serena ternyata tidak mudah jika tanpa pengawalan dan petugas dari KBRI. Walaupun tetap melalui jalan zig-zag, melewati berbagai pembatas tembok dan pos-pos tentara di hampir semua jalan kota, sebagian rombongan yang mendahului ke hotel nyaris tak dapat lewat. Pasalnya, hampir seluruh jalan menuju pusat kota dan komplek Istana Kepresidenan ditutup.
Naser, warga Kabul yang menjadi pengemudi, tampak putus asa. Penjelasannya kepada beberapa petugas bersenjata otomatis agar diberi akses jalan menuju kota tak didengar petugas. Mobil kami dan staf Wapres tetap tak boleh lewat. Meskipun memotong jalan melalui pasar di Kabul, akses jalan menuju pusat kota ditutup.
Juru Bicara Wapres Kalla, Husain Abdullah, yang mencoba menegosiasi petugas keamanan juga gagal. Naser malah menyuruh Husain masuk ke mobil agar tidak terjadi kesalahpahaman. Setelah satu jam berputar-putar dan mengontak petugas KBRI di Kabul, mobil pers dan sebagian rombongan Setwapres akhirnya tiba di Hotel Serena dengan selamat.
Kini, Wapres Kalla dan Menlu Retno tengah mempersiapkan pelaksanaan Forum Tripartit Ulama Tiga Negara, yang akan dihadiri para ulama dan pihak-pihak yang terkait. Memang tidak mudah membalikkan tangan perdamaian selama 40 tahun yang sudah dirindukan penduduk Afghanistan dalam ”perang saudara”.
Ini juga pekerjaan besar dari mandat konstitusi yang diemban Presiden Jokowi dan Wapres Kalla untuk menciptakan perdamaian dan ikut serta dalam proses mewujudkan kedamaian di muka bumi meskipun hasilnya belum kita ketahui. Namun, apa pun Indonesia sudah mencoba dan tidak membiarkan saudara-saudara di Afghanistan tidak terjebak dalam upaya berseteru dan membunuh. Semoga.