Menunggu Mimpi Demokrasi dengan E-Voting
Politik praktis paling nyata ketegangannya, bisa jadi adalah Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Desa Kepuhkiriman, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, semacam desa urban mengalami ketegangan itu, saat pelaksanaan Pilkades hari Minggu (25/3). Meski berstatus desa, namun warga asli bercampur dengan warga pendatang, membentuk semacam pluralisme penduduk asli dan pendatang yang berekonomi bersama.
Desa ini bersebelahan dengan jalur jalan masuk ke Surabaya paling utama, yakni bersebelahan dengan jalur jalan propinsi Malang/Solo - Sidoarjo - Surabaya. Desa ini juga bersebelahan dengan pertemuan jalur rel dan jalur jalan propinsi masuk wilayah Surabaya.
Di desa ini ada banyak berlokasi perumahan-perumahan modern sistem kluster, juga tempat lokasi kawasan industri Berbek, tempat beroperasinya pabrik pada wilayah industri di Jawa Timur, dan tentu saja deretan sepanjang jalan kios-kios barang dan jasa, bengkel hingga toko HP.
Meski lalu lintas ekonomi bergerak cepat, ternyata jabatan semacam kepala desa di kawasan urban ini masih penting. Persaingan sengit tiga pasangan calon, tampak dari cukup padatnya massa penonton di depan Balai Desa. Seorang adalah kepala desa lama (inkamben) Choirun Nasirun, dan penantangnya dua calon Sarwat, pensiunan PNS dan Solikan seorang pebisnis swasta, seluruhnya usia 50-an.
Warung kopi di lokasi satu-satunya TPS (Tempat Pemungutan Suara) di Balai Desa penuh dengan warga yang sedang duduk menunggu hasil. Bahkan kaum wanita usia dewasa hingga 50-an, memiliki volume suara obrolan tak kalah keras, saling berolok di antara mereka. Tenda di jalan yang sengaja dibuntu untuk kegiatan Pilkades dipenuhi massa penonton dan cukup sesak.
Sejumlah isu mengemuka terekam dari obrolan, di antaranya semacam "ketidakmnerataan" kesejahteraan anggaran bagi 10 RW yang ada, renovasi pasar Kepuhkiriman yang "mangkrak" dan bahkan kontraktor yang sudah dinyatakan gagal menyelesaikan bangunan..
"Masalah di desa kami, kesejahteraan antar RW yang tidak merata," kata salah satu warga, yang keberatan disebut namanya. Ia duduk di warung kopi dengan dua warga lainnya, dan ketiganya mengakui mendukung tiga calon Kades yang berbeda. "Kami ini teman sejak anak-anak, tapi nyatanya kami bisa tegang karena mendukung calon yang berbeda," kata mereka, saling membenarkan.
Apakah desa ini menerima bantuan dana desa Rp 1 miliar itu ? "Ya menerima pak, dan itulah masalahnya, kepala desa lama serba tidak jelas mengelolanya," demikian di antara celotehan yang muncul di obrolan warung kopi. Semua jajanan dan gorengan di warung kopi sudah ludes dari pagi karena membludaknya pengunjung penonton Pilkades. Kopi dibuat dan dibayar seolah tanpa henti.
Ada lelaki dengan topi militer rambut kuncir rompi terkesan garang. ada para pria bertampang pekerja kasar dengan mata memerah seperti sudah beberapa hari kurang tidur. Ada yang cuma duduk di pojok membisu namun mengamati dengan mata tajam. Ada yang terus bicara dengan nada bicara kasar. Mereka saling berkomentar di tengah bunyi pengeras suara sangat lantang yang digunakan panitia mengatur warga.
Ada yang protes sudah membawa kartu keluarga dan KTP, namun namanya tidak masuk dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) dan diminta menunggu tidak langsung mencoblos. Ada petugas Dinas Infokom yang sibuk menjelaskan kenapa ada warga bermasalah sehingga namanya tidak masuk.
Seluruhnya ada 70 desa dari 300 desa di Kabupaten Sidoarjo yang hari Minggu (25/2) melaksanakan Pilkades. Namun ada 14 desa yang menggunakan teknologi pemungutran suara e-voting. Desa Kepuhkiriman termasuk yang menerima penerapan teknologi evoting.
Ini teknologi produk BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) yang kemudian diproduksi oleh BUMN teknologi, PT INTI. Komunitas PNS Dinas Komunikasi dan Informasi Pemkab Sidoarjo telah mendapatkan pelatihan penggunaan e-voting.
Satu desa pengguna e-voting menggunakan hingga 10 bilik suara dan tujuh komputer. Pemilih harus membekali diri dengan KTP dan surat undangan, yang akan ditukar dengan semacam kartu menggunakan cip, yang oleh petugas Infokom disebut, kartu suara elektronik. Prosedurnya sangat mudah, pemilih yanbg telah diberi cip, masuk ke bilik suara, lalu memasukkan ke lubang slot seperti memasukkan kartu ATM.
Pada layar komputer bilik suara muncul wajah kontestan, lalu pemilih menyentuh layar. Selesai. Pemilih lalu mencelupkan jari untuk mendapat tinta biru pencegah coblos ulang. Namun prakteknya muncul masalah-masalah. Tidak semua warga memiliki KTP elektronik (KTP-El), dan hanya memiliki KTP kertas sementara.
Panitia mengumpulkan kelompok warga dengan masalah ini, yang akibatnya menimbulkan tumpukan massa pengunjung di ruang tunggu. Lalu mulai muncul protes atas problem teknis itu.
Ada pemilih yang tinggal di luar kota, lalu kini muncul dengan semangat menggebu hanya bermodal KTP dan kartu keluarga. Namanya tak ada di DPT (dafgtar Pemilih Tetap).
Panitia juga menunda kasus seperti ini. Setelah pencoblosan selesai pukul 14.00, kelompok ini diberi kesempatan mencoblos. Suara gaduh. Polisi lalu menutup gerbang, membatasi warga yang boleh masuk halaman TPS.
"Sampai pukul 18.00 sudah ada hasil pada seluruh PIlkades dengan evoting. Sedangklan Pilkades cara manual belum ada hasil karena harus ada rekapitulasi manual. Namun dijadwalkan semua selesai Minggu malam ini," kata Basori, Panitia Pilkades di Command Centre di Pendopo Pemkab Sidoarjo.
Polisi mengerahkan 1.140 personil yang bahkan harus dibantu Polres tetangga, yakni Polres Pasuruan. "Meski ada evoting, namun 54 Pilkades tanpa evoting, kami waspada penuh, dengan memobilisasi personil," kata Kapolresta Sidoarjo, Himawan.
Pukul 20 muncul informasi, Pilkades evoting di Desa Klantingsari, Kecamatan Tarik mengalami ketegangan. Polisi merangsek melindungi petugas dan peralatan komputer. Warga dikabarkan bergerak ke Mapolsek, meminta pemilihan ulang, karena hasil penghitungan mesin menjadikan angka pemilih membengkak. Hingga Minggu malam belum kepastian hasil.
Basori mengatakan, di Klantingsari ada calon yang tidak mau tanda tangan, karena daftar hadir absensi pemilih tak sama dengan DPT. "Itu mungkin saja, karena human error. Dalam kasus seperti itu, yang harus dipercaya hasil DPT, bukan daftar hadir," tegasnya.
Evoting dan Pilkades, Pilkada, Pilleg, apalagi Pilpres, menunggu waktu mencapai harmonisasi.