Ahmad Basarah dari Fraksi PDI-P, Ahmad Muzani dari Fraksi Partai Gerindra, dan Muhaimin Iskandar dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Senin (26/3), dilantik menjadi Wakil Ketua MPR dalam Rapat Paripurna MPR yang dipimpin Ketua MPR Zulkifli Hasan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Pelantikan itu dihadiri oleh sembilan dari sepuluh fraksi partai politik dan kelompok Dewan Perwakilan Daerah di MPR. Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tidak hadir dalam acara itu karena menolak Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang menjadi dasar penambahan tiga unsur pimpinan baru MPR.
”Penambahan pimpinan MPR ini diharapkan bisa memperkuat tugas-tugas kelembagaan MPR. Melihat perkembangan situasi berbangsa dan bernegara saat ini, sangat penting untuk menambah kekuatan,” kata Zulkifli.
Menurut Zulkifli, ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan sebagai dasar meningkatkan kinerja MPR melalui penambahan kursi wakil ketua. Pertama, kepercayaan publik yang sedang rendah terhadap lembaga legislatif. Kedua, kesenjangan politik dan ekonomi serta adanya kebutuhan mendesak untuk mewujudkan keadilan dan merawat keragaman di Indonesia. Ketiga, masalah korupsi yang dipicu oleh mahalnya biaya politik.
Ahmad Basarah meyakini, penambahan pimpinan MPR dapat mengefektifkan rencana MPR untuk mengamendemen UUD 1945 guna mengembalikan kewenangan MPR menyusun dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Ahmad Muzani mengakui penambahan pimpinan berarti akan pula menambah beban keuangan negara. Namun, itu semua bisa diimbangi jika MPR bisa membuktikan dengan kinerjanya.
Adapun Muhaimin Iskandar melihat penambahan pimpinan merupakan cara untuk memperbaiki anomali penetapan pimpinan MPR pasca-Pemilu 2014, di mana pimpinan dipilih tidak mengacu pada proporsionalitas suara Pemilu 2014. Penambahan kursi wakil ketua MPR ini juga sebagai momentum bersatunya kekuatan-kekuatan politik yang akhirnya bisa menguatkan lembaga MPR.
Jika ada pandangan penambahan ini hanya untuk kepentingan partai menaikkan suara pada Pemilu 2019, dan kans dirinya menjadi calon wakil presiden pada Pemilu 2019, Muhaimin mempersilakan munculnya pandangan tersebut. ”Itu terserah perspektif orang. Bagi kami, Pemilu 2019 masih lama, sekarang konsentrasi di MPR saja,” katanya.
Cacat hukum
Ketua Fraksi PPP di MPR Arwani Thomafi mengatakan, PPP tetap menilai penambahan kursi pimpinan MPR untuk PKB seperti diatur dalam UU No 2/2018 cacat hukum. Ini karena dalam UU tersebut yang berhak mendapatkan kursi tambahan pimpinan MPR adalah urutan ke-6 suara terbanyak pada Pemilu 2014. Urutan ke-6 adalah Partai Amanat Nasional, bukan PKB.
Oleh karena itu, PPP menolak hadir saat pelantikan. ”Sikap kami ini untuk menjaga marwah lembaga MPR,” kata Arwani.
Penolakan terhadap UU No 2/2018 juga dilakukan sejumlah kalangan, seperti oleh sekitar 100 mahasiswa di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), yang kemarin berunjuk rasa di depan gedung DPRD NTT.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Arie Sujito mengatakan, wakil rakyat harusnya paham, kepercayaan publik kepada mereka terus menurun karena minimnya prestasi dan kinerja yang dapat dibanggakan.
Kepercayaan kepada wakil rakyat ini bisa semakin turun dengan diabaikannya kritik dan aspirasi publik atas UU No 2/ 2018, antara lain terkait penambahan kursi pimpinan MPR.
”Penambahan kursi wakil ketua MPR itu bukan untuk kepentingan publik. Juga tak ada jaminan penambahan itu akan meningkatkan kinerja MPR. Kini yang jelas terlihat, penambahan itu hanya untuk kepentingan mereka sendiri, menciptakan panggung baru yang tujuannya meningkatkan suara partai pada Pemilu 2019,” katanya.
Wakil rakyat yang terus mengabaikan kritik dan aspirasi publik, lanjut Arie, berarti mereka makin membuat jarak dengan rakyat. ”Ini bahaya bagi demokrasi karena dapat membuat publik makin tak punya harapan atas wakilnya di parlemen,” katanya. (APA/KOR/AGE)