Panggilan Mendidik
Susan sebenarnya tertarik dengan bidang arsitektur karena suka menggambar. Namun, Susan remaja juga sangat menyukai mode. Ia senang penampilan yang bergaya, unik, dan berbeda dari yang lain. Untuk itu, ia merasa perlu bisa membuat baju sendiri. Namun, untuk belajar mode secara serius, ia kesulitan mencari sekolah mode. Saat itu hanya ada ISWI yang sekarang menjadi Asride. Susan kemudian meneruskan pendidikan ke Jerman karena saat itu sekolah ke sana sangat dimudahkan. Selain mendapat beasiswa dan tidak perlu mengurus visa, siswa asal Indonesia juga diperbolehkan menyambi bekerja. Dengan model seperti itu, belajar ke Jerman tidak hanya bisa dicapai oleh anak-anak berpunya.
Berkebalikan dengan Berlin adalah London yang lebih mahal dan siswa dilarang menyambi bekerja. Namun, kota ini harus diakui lebih maju dalam hal mode. Saat itu sudah ada London Fashion Week dan pret a porter atau ready to wear yang kemudian ditekuni Susan. Sepulang dari Eropa, Susan menikah dan pindah ke Kanada mengikuti suami. Di sana, ia kembali masuk sekolah mode. Hanya lima tahun tinggal di Kanada, Susan kembali ke Tanah Air dan mulai terpikir mendirikan sekolah mode selain mengembangkan karier desain modenya.
Sejumlah desainer ternama pernah bersekolah di Lembaga Pengajaran Tata Busana (LPTB) Susan Budihardjo, seperti Sebastian Gunawan, Adrian Gan, Eddy Betty, Didi Budiardjo, Irsan, Deni Wirawan, Sofie, hingga generasi yang paling muda macam Rani Hatta dan Anaz Khairunnas. Selain di Jakarta, LPTB juga membuka cabangnya di Semarang, Surabaya, dan Bali. Kini, Susan sudah tidak terlalu aktif mendesain, hanya melayani klien individual. Begitu juga dengan sekolah modenya, Susan lebih banyak terjun langsung saat murid-muridnya terlibat proyek desain.
Dengan pengalaman 38 tahun membangun sekolah mode, apa yang membuat LPTB bertahan?
Sebenarnya kami kembang kempis juga. Makin hari makin susah. Saya mesti terus introspeksi, pantau tren, kebutuhannya apa, sih. Terus terang sekarang kompetitor banyak, tapi saya juga bersyukur kompetitornya bagus-bagus. Karena kalau enggak bagus saya jadi besar kepala. Dari situ saya terus belajar. Jadi lebih giat. Saya mau buktikan bahwa sekolah lokal enggak kalah. Saya enggak bisa bilang metode saya paling bagus. Biar anak didik saya yang bicara lewat karya. Kalau mereka berhasil, berarti saya berhasil.
Di luar masalah persaingan, apa pengaruh banyak dibukanya sekolah mode waralaba asing bagi kemajuan mode di Tanah Air?
Otomatis lebih bagus karena kita butuh tenaga di fashion bukan hanya perancang. Ada marketing dan lainnya yang itu disediakan sekolah-sekolah mode. Kalau di kami memang tidak dikhususkan. Kalau di sekolah-sekolah lain ada yang dipecah-pecah menjadi jurusan. Mau kayak apa pun, menurut saya ada bagusnya karena orang bisa belajar dengan cara yang benar di sekolah.
Apa pandangan Anda terhadap kualitas SDM dunia mode Tanah Air?
Saya lihat dari anak-anak (murid-murid) saya saja, ya. Anak-anak sekarang cara berpikirnya beda. Tanpa banyak diarahkan mereka sudah bisa riset sendiri. Mereka juga lebih mandiri. Seperti kemarin kami diminta presentasi untuk sebuah situs jual beli online. Saya coba tanpa bimbingan, hanya mengandalkan yang pernah diajarkan di kelas, ternyata mereka bisa mempersiapkan sendiri presentasinya. Mereka cari-cari sendiri, oh kalau mau presentasi tuh begini, saya mesti jual barang begini.
Untuk yang sudah jadi desainer lain lagi. Ada masalah jiplak-menjiplak atau karyanya itu-itu saja. Kita kan kalau nonton show (fashion show) pengin tahu, dia bikin apa sih. Ada statement apa. Kalau dia enggak bikin apa-apa, hanya ganti kain atau ganti warna, ya, sayang.
Banyak yang seperti itu?
Banyak sekali. Belum soal menjiplak. Tidak jarang di show desainer terkenal, kita lihat sekuen ini kok kayak bajunya si ini ya. Sekuens itu kayak bajunya si itu. Di fashion kan kita tidak bisa jadi pengikut terus, mesti mendobrak juga. Kalau enggak, ya membosankan. Yang paling penting sebenarnya styling. Saya selalu pesan sama anak-anak soal ini. Styling membangkitkan gairah pemakai.
Ada desainer yang saya kenal baik pernah bilang, ya enggak apa-apa, yang penting baju gue laku. Bodo orang mau ngomong apa. Ya, apa mau dikata. Menurut saya, bikinlah suatu statement yang mempertahankan ciri khasnya. Memang itu enggak gampang, sih. Susah menjalaninya.
Apa tantangan desainer muda sekarang?
Selain bersaing dengan label yang sudah mapan, mereka juga menghadapi masalah harga bahan baku dan pasar. Saya merasakan saat anak-anak lagi mau bikin karya. Idenya kan fantastik, tetapi ketika mau jalan (cari bahan) mereka mengeluh, aduh mahal, Bu. Penjualnya enggak mau melayani karena mereka hanya beli sedikit. Kalaupun boleh, jatuhnya mahal. Kain boleh jadi bisa dapat yang murah, tapi yang lain-lain enggak bisa. Harga jadi baju akhirnya sangat tinggi. Siapa yang mau beli.
Kemudian, kalau sudah bisa produksi, barangnya harus dilempar ke mana? Dilempar ke department store sewanya mahal, mereka juga banyak yang tutup. Ada yang lari ke online, tapi ini juga baru berkembang. Kalau dia bisa masuk perusahaan online yang besar ya bagus, tapi kan itu juga tidak mudah. Makanya saya bikin Acakacak supaya anak-anak paham dunia nyata. Mereka bisa ikut satu atau beberapa project dengan bantuan tim kami.
Beberapa tahun lalu, Susan membuat label Acakacak untuk mewadahi lulusannya yang ingin segera berproduksi, terutama di segmen siap pakai. Sebagian siswa memilih magang pada desainer yang sudah mapan. Produksi massal memberi tantangan lebih berat. Tidak sedikit lulusan sekolah mode yang kemudian ”lari” ke couture, baju pengantin, atau baju malam karena hanya perlu memikirkan satu klien. Beda dengan produk massal yang harus memikirkan selera banyak orang, bahan baku, produksi yang efisien, dan pasar. Pasar siap pakai, menurut Susan, sebenarnya strategis karena produknya dipakai sehari-hari oleh semua orang.
Menurut Susan, masalah bahan baku, akses teknologi, dan pasar sebenarnya bukan hanya persoalan desainer pemula, melainkan juga mereka yang sudah lebih lama berkecimpung di dunia mode. Masalah ini sudah dirasakan, bahkan sejak beberapa tahun lalu. Namun, perkembangannya masih jalan di tempat.
Apa yang perlu didorong pemerintah untuk menjawab hal ini?
Desainer tidak bisa gerak sendiri. Kalau mau besar mesti ditunjang oleh tim yang solid, manajemen, marketing, termasuk pabrik tekstil. Sebenarnya bukan hanya tekstil, ada laser, bordir, dan yang lain. Sekarang alat makin canggih, tapi yang bisa beli cuma pabrik besar yang desainer enggak bisa akses. Saya enggak menyalahkan perusahaan besar karena mereka sudah investasi mahal. Jadi, mereka perlu order besar. Sementara anak-anak baru atau desainer yang pasarnya belum besar, ordernya sedikit. Enggak masuk hitungan ekonomi pabrik. Akhirnya, kalau mau kain printing, desainer lari, misalnya, ke digital printing yang harganya lebih mahal. Di pasaran, harga jual mereka jadi kalah saing dengan merek-merek asal luar negeri yang proses produksinya dibuat oleh pabrik-pabrik di sini. Masyarakat, kan, otomatis pilih yang kualitas bagus, tapi harganya juga terjangkau.
Beda dengan di China. Saya pernah menemani seorang pengusaha sepatu. Semula dia punya 3.000 karyawan, sekarang tinggal 300 orang karena produksinya lebih banyak di-sub-kan (subproduksi) ke Cina. Ada juga teman yang menyuplai baju-baju ke department store. Suatu kali kami ke China. Datang ke pabrik pukul 10.00 minta dibuatkan sampel baju-baju, pukul 23.00 sampel sudah diantar ke hotel. Dalam beberapa hari barang sudah jadi bisa dibawa pulang ke Tanah Air. Sisanya dikirim.
Hal seperti ini sebenarnya sudah dibicarakan sejak 20 tahun lalu, desainer dikawinin sama pabrik tekstil. Tapi cuma sampai sebatas presentasi karya. Belum sampai tahap produksi. Saya sendiri juga mengalami bareng Acakacak. Mungkin bisa bikin banyak, tapi terus mau dibuang ke mana. Kendalanya di situ.
Saya dengar pemerintah punya mesin-mesin tertentu untuk membantu para desainer, tetapi menganggur karena tidak ada operatornya. Sebenarnya kalau dilihat, dukungan pemerintah untuk pengembangan dunia mode sudah besar, tapi saya merasa masih terbatas diterima oleh grup-grup tertentu saja, yang lain mau masuk susah. Belum merata.