Di sela Dies Natalis Ke-37 Universitas Islam Malang, Jawa Timur, Kamis (23/3), Presiden Joko Widodo meninjau pameran yang digelar Unit Kegiatan Mahasiswa Unisma. Produk yang dipamerkan di antaranya wayang suket, wayang yang dibuat dari batang rumput mendong atau purun tikus (Fimbristylis umbellaris) kering, yang banyak tumbuh di pinggir sungai dan sering dipakai untuk bahan pembuatan tikar dan lainnya.
Wayang suket tersebut buatan pelestari dan dalang wayang suket Syamsul Subakri (51) alias Karjo, yang juga ikut mengajari mahasiswa di UKM Unisma. Karjo atau Mbah Karjo adalah nama panggilannya, yang diambil dari akronim lembaga swadaya masyarakat yang diikutinya, Konservasi Asli Rakyat di Luar Jalur Organisasi (Karjo).
Saat Presiden Jokowi datang meninjau, sepasang wayang buatannya pun diserahkan. Mbah Jo lalu menyebutkan nama sepasang wayang suket itu, yakni Singo Manggolo Jalmo Wono. ”Singo Manggolo itu nama panglima, Pak. Jalmo artinya manusia, wono itu hutan. Jadi, pemimpin itu harusnya orang yang dapat memahami soal hutan dan pengelolaannya,” tutur Mbah Jo saat menjelaskan pemberian karyanya kepada Presiden.
Jokowi yang kebetulan lulusan Sarjana Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tentu tersenyum saat menerimanya. Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) M Romahurmuziy, yang ikut mendampinginya, juga ikut tersenyum mendengar penjelasan Mbah Jo.
Apa pun Singo Manggolo Jalmo Wono sedikit banyak memberi semangat kepada Presiden Jokowi. Pasalnya, wayang suket tersebut dibawa sampai ke kediaman pribadi Presiden Jokowi di Solo, Jawa Tengah, Kamis.
Menurut Pramono, wayang yang diberikan Mbah Jo selaras dengan kondisi Indonesia saat ini sebagai negara agraris dan salah satu negara dengan hutan tropis terluas.
Karena itu, kata Pramono, sangat wajar apabila diperlukan pemimpin yang mengerti cara memanfaatkan dan merawat hutan dengan baik. Dengan demikian, rakyat juga mendapatkan banyak manfaat. ”Ki Dalang Wayang Suket yang bertemu Presiden di Unisma memberi wayang kepada Presiden dengan harapan Pemilu 2019, Indonesia tetap dipimpin oleh pemimpin yang mampu mengelola hutan dengan baik,” ujar Pramono saat dihubungi.
Tak sekadar keterampilan
Memang, bagi Mbah Karjo, menjalin batang mendong tak sekadar keterampilan belaka, tetapi punya makna sendiri sejak awal hingga selesainya pembuatan wayang.
Pertama, jumlahnya rumput yang dijadikan bahan ada tiga. ”Ini simbol dari ati (hati), lathi (ucapan), dan pakarti (perilaku),” ujarnya menceritakan.
Kedua, panjangnya rumput masing-masing harus sama, yakni 100 jari atau sekitar
1 meter. Angka 100 disebutnya diambil dari jumlah penanggalan Jawa, sebagai penanda kehidupan manusia, alam, dan proses ciptaannya.
Mbah Jo lalu melipat tengah tiga rumput yang punya panjang sama, selanjutnya dipotong menjadi enam bagian. ”Enam ini yang kita jadikan bahan pembuatan wayang suket. Prosesnya dimulai dari membuat hidung, yang jadi napas penanda kehidupan.”
Kemudian anyaman dilanjutkan dengan membuat mata, kepala, dan rambut. Dari atas terus ke bawah, ke bagian perut. Tiap bagian itu punya makna. ”Iki weteng. Ojo ngliwet kalo peteng. (Ini perut. Jangan menanak nasi atau meliwet kalau gelap), artinya jangan makan kalau sumbernya enggak jelas,” tutur Mbah Jo.
Kalimat sederhana Mbah Jo ini terasa sederhana dan arif. Sesuatu yang seolah hilang karena sebagian orang seperti ”menghalalkan segala cara”, mengumpulkan kekayaannya dengan cara korupsi lewat tutur ”Ojo ngliwet kalo peteng”. Hal ini bukan rahasia lagi kalau segelintir orang seolah berlomba memperkaya diri sendiri. Hingga kini, tak kurang 10 kepala daerah dan calon kepala daerah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat dugaan korupsi pada awal 2018 ini.
Mbah Jo kemudian melanjutkan ceritanya ke bagian pinggang, paha, serta betis dengan celana yang hanya selutut. ”Celana wong wong (orang) Jawa dulu hanya pada lututnya. Yen durung mudeng, ojok dumengkul (kalau belum paham, jangan pergi dulu),” ujarnya menjelaskan makna seseorang yang harus mendengar secara jelas dan lengkap sebelum melontarkan berbagai pernyataan.
Pada bagian kaki, Mbah Jo lalu mengatakan, ”Nah, sampun paripurno anggen kaulo adamel puspo saliro (sudah selesai saya membuat puspa salira).” Ia menegaskan, seperti halnya seorang manusia, wayang suket pun dianggap sempurna jika sudah tersusun bagian mulai dari kepala hingga ke kaki.
Mbah Jo butuh waktu sekitar 20 menit untuk menyelesaikan sebuah wayang suket dengan berbagai makna filosofi Jawa. Inilah yang harus jadi pengingat setiap manusia atas keberadaannya.