Perahu Eretan di Persimpangan Masa
Sore menjelang, ketika Chasiyadi (54) atau Adi dijumpai di Kampung Tanah Rendah, Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (28/3/2018). Tiga remaja mencuci piring di atas perahu getek, tak jauh dari rumah Adi yang ditembus melalui gang seukuran lebar badan dua orang dewasa. Akses jalan hanya cukup untuk papasan dua motor.
Getek buatan setahun lalu itu mulai lapuk. Adi yang membuat getek itu bersama 20 warga setempat. Ia siap membuat getek baru, tetapi terkendala biaya.
Selain berharap sumbangan warga, sekitar Rp 100.000 per orang, ia berharap bantuan mahasiswa dan dosen sejumlah perguruan tinggi. Beberapa bulan terakhir, mereka riset di sana.
”Biayanya sekitar Rp 2,5 juta,” kata Adi yang orangtuanya dari Pekalongan, Jawa Tengah, itu.
Harga itu untuk membeli 37 batang bambu sepanjang masingmasing 6 meter. Sebanyak 25 batang bambu untuk badan getek. Sisanya dijadikan tangga atau tempat berjalan dari bibir daratan menuju getek dan membangun bilik semitertutup di salah satu ujungnya.
Getek itu satu yang tersisa dan masih digunakan warga. Namun, bukan sebagai alat transportasi, melainkan aktivitas mandi, cuci, kakus (MCK). Sebagian besar untuk aktivitas buang air besar.
Di sana, getek masih digunakan warga yang memiliki kakus, tetapi tangki septiknya penuh. ”Puluhan tahun tidak ada yang datang menyedot (lumpur tinja). Bagaimana menyedot, jaraknya dari depan jauh,” kata Adi tentang kawasan perkampungan di kawasan Kebon Pala itu.
Buang air di MCK umum dinilai boros karena membayar Rp 2.000 setiap menggunakan. Adi membandingkan dengan patungan Rp 100.000 untuk pembuatan getek yang bisa bertahan hingga satu tahun. ”WC (di rumah) buat cadangan atau kalau ada tamu,” ujarnya.
Sebagian penduduk memiliki kakus tanpa tangki septik. Ini termasuk milik Adi di rumahnya, dengan empat batang paralon yang langsung bermuara ke aliran Sungai Ciliwung.
Keberadaan getek untuk MCK itu sebagian disebabkan ketiadaan fasilitas MCK di sebagian rumah. Salah satu warga, Saroni (75), mengatakan, ketiadaan fasilitas itu, terutama di rumah kontrakan warga setempat.
Pergeseran fungsi
Getek sebagai sarana transportasi cenderung ditinggalkan sejak 1980-an. Getek lalu hanya difungsikan sebagai MCK.
Riset dokumentasi peneliti gabungan beberapa universitas dengan dana hibah National Geographic, Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Tarumanagara menunjukkan, hingga akhir tahun 2000 masih ada 25 getek di Kampung Tanah Rendah. Banjir yang menyapu sebagian kawasan di bibir Ciliwung dan kecenderungan dilarangnya penggunaan getek untuk MCK membuat keberadaan jalinan bambu itu menghilang.
Getek ditinggalkan juga terkait kenaikan harga bambu. Batangbatang bambu yang sebelumnya ditransportasikan melalui aliran sungai, relatif tanpa biaya, kini diangkut di atas truk.
Itu membuat anak-anak pewaris bisnis getek enggan meneruskan usaha orangtuanya. Keengganan juga terjadi pada aktivitas transportasi penyeberangan sungai menggunakan perahu kolek atau eretan.
Menurut Saroni, jalinan bambu dalam keadaan diam untuk beragam aktivitas warga seperti MCK disebut getek. Adapun struktur sejenis untuk menyeberangi sungai, yang kini relatif punah, disebut getek eretan.
Di Jakarta, yang masih digunakan untuk menyeberang sungai adalah perahu berbahan kayu kamper yang oleh Saroni disebut perahu kolek. Sebagian orang menyebut perahu eretan.
Penyebutan perahu kolek dan eretan dicampurbaurkan dengan getek berbahan bambu itu kemungkinan terkait keakraban warga dengan keberadaan kolek, yang terhubung dengan wilayah Eretan di Indramayu, Jawa Barat. Seperti dikutip dari buku Atlas Pelabuhan-pelabuhan Bersejarah di Indonesia, perahu kolek cenderung hanya ditemukan di Eretan di Indramayu. Ada pula pendapat, kolek digunakan di seluruh pantai utara Jawa Barat. Bahkan, seluruh pantai utara Jawa dan Madura (Pradjoko & Utomo, 2013).
Perahu kolek
Keakraban itu pula yang dirasakan Maman (55) dengan usaha penyeberangan perahu eretan dari kayu kamper. Ia generasi ketiga pemilik jasa penyeberangan perahu bertenaga tarikan manusia di Kebon Pala, Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Tarif sekali menyeberang Rp 1.000 dengan jam kerja pukul 06.00-pukul 18.00. Sekitar 20 orang diseberangkan setiap hari menuju dan dari kawasan Manggarai. Pelanggannya sebagian besar pekerja.
Maman mengenang, masa orangtuanya dulu, moda yang digunakan getek bambu. ”Saya enggak ngalamin. Itu tahun 1950-an,” kata Maman soal aktivitas bisnis transportasi sungai keluarganya di Manggarai.
Keakraban warga Manggarai dengan getek direkam dalam Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa" (Erman & Saptari (ed), 2013) yang menyebut ihwal produksi kompor memasak oleh buruh Djawatan Kereta Api pada 1950-an untuk dipasarkan di Cawang. Ke Cawang, mereka gunakan getek dari Ciliwung di Manggarai utara, berhenti di Cawang bawah.
Di Kebon Pala, tinggal Maman yang berprofesi operator perahu eretan. Pemilik usaha serupa telah meninggal tanpa penerus.
Di Kampung Tongkol, Ancol, Jakarta Utara, ada Saidi (64), pemilik eretan. Pelanggannya, puluhan pekerja di kawasan Ancol yang menyeberang ke Kampung Japat setiap pagi.
Sore hari, aktivitas itu diulangi lagi. Sekitar 25 penumpang biasa dilayaninya saat pagi dan atau petang dengan ongkos berkisar Rp 1.000-Rp 2.000.
”Kalau siang, mah, sepi,” kata Saidi, asal Brebes, Jawa Tengah, yang tinggal di kampung itu sejak 1988. Selain Saidi, di dekat lokasi itu ada seorang lainnya yang mengusahakan perahu serupa untuk penyeberangan.
Tahun 2010, Saidi yang sebelumnya sopir truk dan bus itu membeli hak pengelolaan lokasi penyeberangan dari Royon. Sebuah kapal berbahan kayu kamper dibangun dengan biaya sekitar Rp 15 juta.
Lokasi penyeberangan agak digeser mendekati bagian depan rumahnya. Di salah satu tepian, dua rakit bambu selebar 1 meter teronggok.
Kata Saidi, rakit itu digunakan untuk membersihkan sampah oleh warga. Namun, menyusul keberadaan petugas penanganan prasarana dan sarana umum (PPSU), dua rakit ”menganggur”.
Bagi Saidi, perahu eretan adalah ”penyelamat” setelah tulang pinggul kanannya copot akibat terjatuh dari truk, enam bulan lalu. Entah, sampai kapan Saidi, Maman, dan segelintir pemilik perahu eretan lain bertahan. Mereka saksi kejayaan sarana transportasi sungai Jakarta.