Menelusuri Rel, Mewariskan Sejarah
Kereta api adalah moda transportasi umum dengan sejarah panjang. Tak cuma andal sebagai alat angkutan massal, kereta dan segala seluk-beluknya adalah sumber wawasan. Sekumpulan anak muda di Komunitas Jejak Railfans menggali wawasan itu sambil bersenang-senang.
”Ada suara batuk, tapi orang di ruangan tidak ada yang batuk,” demikian tulisan di tayangan video yang direkam oleh Tias Anarki. Bersama dua temannya, Tias sedang berkunjung ke Stasiun Lampegan, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Saat tulisan itu terpampang, mereka sedang menyimak penjelasan perihal mesin sinyal dari Kepala Stasiun Lampegan Sarifudin.
Suara batuk itu kembali terdengar sebelum mereka masuk ke dalam terowongan Lampegan yang dibangun tahun 1879 sampai 1882. Jalur kereta itu menghubungkan Stasiun Sukabumi dan Stasiun Cianjur. Terowongan itu pernah tertutup longsor. Belakangan, jalur kereta Sukabumi-Cianjur diaktifkan kembali.
”Perjalanan itu (ke Lampegan) sebenarnya cuma main-main saja, pas kebetulan berlibur ke Sukabumi,” kata Tias (23), di Jakarta, Senin (9/4/2018). Mahasiswi Universitas Gunadarma, Jakarta, ini mengaku punya rasa ingin tahu yang besar, terutama pada urusan perkeretaapian. Makanya, di kala libur, dia menyempatkan diri menengok salah satu terowongan peninggalan masa penjajahan Belanda itu.
Perjalanan menggali wawasan perkeretaapian yang lebih serius pernah dilakukan Tias. Dia agak terobsesi dengan lokomotif yang beroperasi di Indonesia. Sayangnya, tak semua lokomotif ada di Pulau Jawa. ”Masih ada lokomotif yang cuma beroperasi di Sumatera, misalnya lokomotif seri C2, C4, dan C5,” ujarnya.
Berkat koneksi dengan sesama peminat perkeretaapian di komunitas Railfans, Tias berkesempatan mendatangi Stasiun Tanjung Karang, Bandar Lampung. Jadilah ia berfoto-foto bersama lokomotif penarik rangkaian kereta batubara atau ”babaranjang”.
”Harus tahu lebih dulu di mana saja dan kapan saja kereta itu melintas, pemberhentiannya di mana. Yang tahu informasi seperti itu, ya, teman-teman komunitas Railfans setempat. Mereka akhirnya mau mengantarkan kami,” tutur Tias yang bernama asli Tias Nirmala Dewi.
Oleh karena itu, riset sederhana perlu dilakukan sebelum ”turun ke lapangan”. Bertanya-tanya kepada sesama anggota komunitas pencinta perkeretaapian adalah salah satu cara. Tias juga punya kebiasaan lain, yaitu menggali arsip-arsip lawas tentang perkeretaapian dari situs perpustakaan Belanda.
Temuannya itu sering ia bagikan kepada teman-temannya di Komunitas Jejak Railfans. Tias adalah salah satu penggagas komunitas yang terbentuk pada 26 Juni 2014 di Stasiun Manggarai, Jakarta, itu. Informasi dari arsip tersebut menjadi pembahasan mereka sebelum ditindaklanjuti lebih jauh. Mereka akan memutuskan hal teknis kunjungan ke tempat yang disepakati.
”Belanda dulu membikin jalur kereta api, tentu lengkap dengan petanya. Dari situ kita jadi tahu, mana jalur yang masih aktif dan yang sudah tidak aktif lagi. Titik yang ada di peta lawas itu jadi acuan kunjungan kami,” lanjut Tias.
Salah satu ”temuan” mereka tentang jalur kereta api di masa silam adalah adanya jalur di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Selain itu, ada juga jalur yang menghubungkan Purwokerto dan Wonosobo, Jawa Tengah.
Mereka pernah mendatangi bekas bangunan Stasiun Wonosobo itu. Mereka bahkan bertemu dengan keluarga mantan kepala stasiun tersebut. Mereka bercakap-cakap, bertanya tentang kesibukan di jalur tersebut pada masa silam. Tak lupa, bangunan stasiun dan bekas rel mereka dokumentasikan.
Pendokumentasian adalah salah satu aspek penting di setiap kunjungan mereka. Hal itu dirasa perlu sebagai bentuk pencatatan sejarah perkeretaapian di Indonesia. Foto dan video dokumentasi tak hanya diunggah ke media sosial komunitas dan pribadi anggotanya. Mereka juga memberi tahu hasil kunjungan itu ke bagian kehumasan PT Kereta Api Indonesia.
Erlangga Kusjulianto (25), penanggung jawab komunitas, menceritakan, mereka pernah mendatangi jalur nonaktif yang menghubungkan Rangkasbitung-Pandeglang-Labuan di Provinsi Banten pada 2014. Mereka memotret rel-rel yang masih tersisa dan memberitahukan kepada PT KAI.
”Katanya, setelah menerima laporan itu, mereka (perusahaan) mendatangi lokasi untuk melakukan pengecekan. Entah tindak lanjutnya apa. Itu sudah di luar kuasa kami,” kata Erlangga alias Angga, mahasiswa Bina Sarana Informatika, Jakarta.
Komunitas Jejak Railfans adalah salah satu bagian dari ”payung besar” masyarakat Railfans atau pemerhati perkeretaapian di Indonesia. Kegiatan yang menonjol di Komunitas Jejak Railfans adalah blusukan ke jalur-jalur nonaktif dan mendokumentasikan sarana yang masih tersisa.
Selain mendatangi jalur di Pandeglang-Labuan, mereka juga pernah ke bekas Stasiun Anyer Kidul, Banten, bekas Stasiun Wonosobo, Jawa Tengah, dan Stasiun Banyuwangi Lama, Jawa Timur. ”Sambil bertamasya juga. Apalagi, bekas Stasiun Anyer Kidul itu bersebelahan dengan menara titik nol kilometer Pulau Jawa, tepi pantai juga,” lanjut Angga.
Untuk masyarakat
Kegiatan di Komunitas Jejak Railfans sepertinya memang dibuat untuk memenuhi rasa keingintahuan anggotanya. Tetapi, bukan itu saja. Mereka juga menyusun kegiatan lain yang manfaatnya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat luas.
”Kami membantu menginformasikan perkembangan layanan perkeretaapian, seperti adanya kereta super-eksekutif untuk jalur Jakarta-Bandung baru-baru ini. Kami menyebarkan informasi itu karena kami juga penumpang kereta api seperti biasa,” ucap Angga.
Mereka sering diundang instansi perhubungan ataupun PT KAI. Selain itu, mereka juga dengan senang hati menjadi relawan di stasiun pada masa mudik hari raya.
”Untuk angkutan selama masa mudik itu, kami bergabung dengan relawan dari komunitas lain. Biasanya, kami membantu penumpang menunjukkan lokasi gerbongnya,” ujar Angga.
Baik Tias maupun Angga, juga anggota lainnya, mengaku tak lebih istimewa dari penumpang kereta lainnya. Hanya saja, mereka punya kecintaan lebih pada moda transportasi ini. Kecintaan itu, rupanya, sama-sama bermula dari pengalaman masa kecil. Bukan kebetulan bahwa mereka pernah tinggal di dekat stasiun. Tias pernah tinggal di dekat Stasiun Cakung, sementara Angga tak jauh dari Stasiun Karet.
”Dulu, waktu kecil, ayahku sering mengajak ke Jatinegara cari kaset Iwan Fals naik kereta,” kata Tias. Sementara Angga sering disuapi makan sore sambil melihat kereta di stasiun. Sejak itu, kesukaan mereka pada kereta api bertumbuh. Angga bahkan pernah bercita-cita kerja di perusahaan kereta api.
”Sudah lolos beberapa tes. Pas tes kesehatan mata, saya gagal. Saya tidak bisa membedakan warna. Pupus sudah harapan kerja di kereta api,” ujar Angga. Aktif di komunitas perkeretaapian jadi penyambung cita-citanya. (HEI)