Pelayaran Rakyat Semakin Ditinggalkan
SUMENEP, KOMPAS – Pelayaran rakyat di Sumenep, Madura, Jawa Timur, semakin ditinggalkan penumpang. Keberadaan kapal motor penumpang dengan ukuran lebih besar dan harga lebih murah membuat pelayaran rakyat menjadi pilihan terakhir untuk menyeberangi pulau.
Bahkan, pelaku pelayaran rakyat kerap merugi akibat pemasukan dari tiket penumpang tidak cukup untuk biaya operasional.
Seperti yang dialami perahu dengan rute Pelabuhan Dungkek menuju Pulau Sapudi, Kamis (12/4/2018). Perahu berukuran 5 GT milik Hafidi (48) hanya mengangkut lima orang penumpang, termasuk Kompas, dari kapasitas maksimal 40 orang. Padahal untuk sekali perjalanan, diperlukan minimal 10 penumpang agar bisa mencukupi biaya operasional sekali jalan.
Untuk sekali perjalanan sepanjang 30 kilometer ditempuh selama dua jam. Setiap penumpang ditarik biaya Rp 40.000. Tak hanya itu, penumpang masih harus membayar Rp 5.000 selama dua kali saat naik dan turun menggunakan perahu kecil karena perahu yang ditumpangi tidak bisa mendekat ke dermaga sehingga dalam sekali perjalanan memerlukan biaya Rp 50.000 per orang.
Hafidi menuturkan, untuk satu kali perjalanan, diperlukan biaya operasional sebesar Rp 400.000 untuk membeli solar, mengupah empat anak buah kapal, dan membayar biaya sandar di dermaga.
Praktis, dengan operasional sebesar itu diperlukan penumpang minimal 10 orang sekali jalan agar biaya tercukupi. Bila tidak, Hafidi dipastikan menanggung kerugian.
“Hari ini penumpang terpaksa kami tarik biaya Rp 50.000 per orang karena jika hanya Rp 40.000 per orang seperti biasanya kami merugi terlalu banyak,” kata Hafidi.
Minim alat keselamatan
Selain biaya yang mahal, perjalanan menggunakan perahu pun terasa tidak nyaman. Ukurannya yang kecil membuat perahu sering terombang-ambing di laut akibat angin dan gelombang. Alat keselamatan juga kurang, karena tidak disediakan sekoci dan pelampung hanya berjumlah lima buah.
Sedangkan Hafidi yang merupakan pemilik sekaligus nakhoda perahu tidak memiliki alat navigasi. Dia hanya mengandalkan ingatan bahwa arah menuju Pulau Sapudi adalah timur.
Menurut dia, penumpang perahunya mulai turun drastis sejak 10 tahun terakhir. Pria asal Pulau Sapudi yang membuka pelayaran sejak 20 tahun lalu ini mengatakan, perahunya tidak pernah terisi penuh kecuali saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha karena mengangkut pemudik. Selain waktu-waktu itu, penumpang hanya berkisar antara lima hingga 15 orang.
Hafidi menuturkan, ada 11 perahu yang melayani trayek Sumenep-Pulau Sapudi. Setiap perahu hanya beroperasi satu kali pulang-pergi tiap 11 hari sekali.
Mereka harus bergantian beroperasi karena kesepakatan antar anggota kelompok. Tidak mungkin juga 11 perahu beroperasi bersamaan setiap hari karena penumpang yang sepi.
“Meskipun sering merugi, saya tetap ingin melanjutkan operasional perahu karena rezeki sudah ada yang mengatur,” kata Hafizi yang sejak sebulan lalu mengoperasikan kapal baru senilai Rp 500 juta.
Pelayaran rakyat di Sumenep telah melewati masa-masa kejayaan. Dari tiga rute pelayaran rakyat yang tersedia, yakni dari Sumenep ke Pulau Sapudi, Gili Iyang, dan Pulau Raas sering sepi penumpang.
Padahal setiap hari mereka beroperasi dan tidak pernah membatalkan perjalanan meskipun dengan penumpang yang seadanya.
Banyak warga yang beralih dari perahu ke KMP. Ada KMP yang dioperasikan PT Dharma Dwipa Utama yang melayani rute sama dengan pelayaran rakyat, yakni dari Sumenep ke Pulau Sapudi dan Pulau Raas.
Namun, berbeda dengan pelayaran rakyat yang berlayar setiap hari, KMP ini hanya melayani pelayaran dua kali seminggu.
Potret berbeda terlihat antara pelayaran rakyat dengan KMP. Kompas mencoba naik KPM Dharma Kartika dari Pulau Sapudi menuju Pelabuhan Kalianget, Kamis malam.
Kapal di bawah bendera Dharma Lautan Utama ini berlayar dari Pulau Sapudi pukul 22.30, namun penumpang sudah mulai memadati pelabuhan sejak pukul 19.00.
Adapun tiket penumpang sebesar Rp 33.000 per orang dengan waktu tempuh selama tiga jam.
Berdasarkan catatan manifes kapal, tak kurang dari 115 penumpang naik-turun dari dan ke Pulau Sapudi. Mereka membawa kendaraan bermotor, hasil bumi, sapi, dan kambing menuju Sumenep.
Kapalnya yang berukuran besar membuat perjalanan lebih nyaman dibanding naik perahu karena minim guncangan.
Ananto (52) salah seorang penumpang pelayaran rakyat, mengatakan, pelayaran rakyat dengan perahu kecil merupakan pilihan terakhir untuk menyeberang. Sebab, biaya sebesar lebih dari Rp 50.000 per orang lebih mahal dibandingkan naik KMP yang berbiaya Rp 33.000 per orang.
Keselamatan juga lebih terjamin karena KMP memiliki ukuran yang lebih besar sehingga mampu menahan ombak.
“Saya naik perahu karena terpaksa. Kebetulan hari ini ada urusan mendadak di rumah sehingga harus kembali ke Pulau Sapudi. Jika bisa ditunda, lebih baik saya menunggu KMP Dharma Kartika yang berangkat Minggu karena jadwal Kamis sudah berangkat,” ujar pria yang tinggal di Kecamatan Gayam ini.
Keperluan mendadak
Perahu rakyat dari Sumenep ke Pulau Sapudi ini mayoritas berisi penumpang yang tidak rutin setiap hari melakukan perjalanan Sumenep-Pulau Sapudi.
Qomaidi (42) misalnya, hanya menggunakan perahu untuk menyeberang jika ada keperluan mendadak di Sumenep, sama seperti Ananto.
Hafidi mengatakan, penumpang di perahu miliknya mayoritas adalah warga biasa, bukan pedagang.
Para pedagang di Pulau Sapudi lebih memilih membawa barang dagangannya menggunakan perahu pribadi atau perahu khusus barang karena ongkos yang dinilai lebih murah.
Sibawi (35) salah satu nahkoda perahu barang yang ditemui di Pelabuhan Kalianget, mengatakan, pedagang di Pulau Sapudi dan Pulau Raas memilih menggunakan perahu barang untuk mengirim barang dagangan yang dibeli dari Sumenep.
Untuk ongkos sewa sekali jalan yakni Rp 1,2 juta dengan kapasitas maksimal barang bawaan setara dua truk.
Perahu khusus barang memiliki dermaga yang berbeda dengan perahu untuk penumpang. Jika perahu penumpang berlayar dari Pelabuhan Dungkek, perahu khusus barang berangkat dari Pelabuhan Kalianget.
Barang yang dibawa adalah barang pokok, seperti semen, beras, gula, dan makanan ringan.
“Biasanya hanya berlayar satu kali tiap minggu, tergantung habisnya stok pedagang di kepulauan,” kata Sibawi.
Sibawi membawa kapal Bersama seorang nakhoda lainnya, Ahmarudin (35). Keduanya berlayar selama Sembilan hingga 13 jam sekali perjalanan dari Pulau Raas ke Pelabuhan Kalianget.
Mereka baru menjadi nakhoda sejak satu tahun terakhir. “Saya tidak pernah mendapat pelatihan atau sertifikat menjadi nahkoda. Perjalanan dipandu dengan kompas untuk menjaga rute tetap benar saat malam hari,” kata Ahmarudin.
Meskipun sepi penumpang, pelayaran rakyat masih dibutuhkan oleh segelintir warga. Sebab, jadwal perjalanan tidak selalu bisa direncanakan. Jika ada pelayaran yang beroperasi setiap hari, tetap menjadi solusi bagi warga yang tidak bisa menunggu kedatangan KMP.