PANGKALAN BUN, KOMPAS Kopi liberika mulai serius dibudidayakan di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Komoditas ini dinilai cocok dengan kondisi tanah setempat yang berada di dataran rendah. Apalagi, kopi jenis ini tumbuh dengan baik sejak dirintis tahun 1977.
Sutrisno (45), Ketua Kelompok Tani Kopi Kumpai Batu Atas (KBA), mengatakan, kopi liberika awalnya dibawa oleh masyarakat transmigran asal Jawa Timur ke Kalteng pada 1977. Namun, karena tidak banyak pembeli kopi di Kalteng sehingga banyak pohon kopi tersebut ditebangi dan ditinggalkan.
”Dulu itu buah kopi tidak kami panen sampai membusuk di rantingnya. Dulu jumlahnya ribuan, lebih banyak dari sekarang,” kata Sutrisno di sela-sela kunjungan ke Kantor Perwakilan Bank Indonesia di Kalteng di Desa Kumpai Batu Atas, Kotawaringin Barat, Rabu (18/4/2018).
Saat ini pohon-pohon kopi liberika siap panen hanya ada di pekarangan rumah penduduk desa itu dengan jumlah 1.500 pohon yang rata-rata berumur 10-22 tahun. ”Karena sebagian besar pohonnya sudah tua dan jarang dirawat, jadi saat panen kadang dapat yang kualitasnya buruk. Kalau begitu, tidak bisa diolah. Jadi, hasilnya belum maksimal,” ujar Sutrisno.
Sekali panen, kelompok itu baru bisa menghasilkan 80 kilogram biji kopi mentah. Kemudian diolah dalam kemasan dengan merek Kopi Liberika KBA dan Kopi Kahawa.
Dari 80 kg kopi liberika, petani bisa mendapatkan 640 bungkus dengan ukuran 125 gram per bungkus. Satu bungkusnya dijual dengan harga Rp 40.000 sampai Rp 45.000.
Kelompok tani itu tak hanya mengolah kopi liberika dalam kemasan, tetapi juga memburu biji kopi hingga ke luar daerah. Mereka membeli biji kopi basah dari warga dengan harga Rp 5.000 per kg, sedangkan biji kopi kering harganya Rp 10.000 per kg. Harga ini termasuk mahal di Kotawaringin Barat.
Dalam proses pengolahan, mereka didampingi Forum Selanting, sebuah forum anak muda kreatif di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat. Warga diajak untuk memperbaiki kualitas pohon kopi liberika yang selama ini ditinggalkan.
Hayrianto, anggota forum yang juga barista, mengatakan, saat ini kopi liberika setempat sudah tersebar hampir di setiap kafe di Kota Pangkalan Bun. Bahkan, para petani kerap kewalahan karena banyaknya permintaan.
”Kopi ini cirinya berbeda, bijinya lebih kecil, pohonnya juga agak lebih tinggi dibandingkan dengan kopi jenis lain. Asal-usul sebenarnya dari Liberia, Afrika, di sana kopi ini tumbuh liar,” ucap Hayrianto.
Beberapa kota lain, seperti Sampit, Kotawaringin Timur, dan Kota Palangkaraya, mulai memesan kopi liberika tersebut. Petani di wilayah itu mulai mencoba persilangan antara kopi liberika dan robusta. Para petani menggunakan pola setek pohon.
”Kami akan dampingi terus. Kalau bisa, bapak-bapak atau ibu-ibu di sini menyajikan kopi kepada tamu atau turis yang datang, sama seperti barista menyajikan kopi,” katanya.
Keuntungan dari kopi liberika tercium warga lain. Slamet (60), warga daerah lain, seperti Kumpai Batu Atas, mengaku sudah menanam 70 pohon kopi liberika di kebun miliknya. Padahal, sebelumnya Slamet menebangi pohon kopi di kebunnya.
”Ayah saya dulu menanam sejak pindah dari Jawa ke sini tahun 1977-an. Tetapi, karena enggak banyak peminat, ya, kami tebang, hanya tersisa di pekarangan untuk konsumsi sendiri,” ujar Slamet.
Obyek wisata
Sutrisno mengungkapkan, pihaknya juga menyiapkan paket wisata kopi di desanya dengan harga Rp 300.000. Ia dan anggota kelompoknya membuat sebuah pondok kopi agak besar agar turis datang untuk menikmati kopi dan melihat prosesnya.
”Turis senang melihat ibu-ibu kami menyangrai kopi, lalu diseduh langsung pakai teko, minum sambil mengobrol di pondok,” ujar Sutrisno.
Bupati Kotawaringin Barat Nurhidayah mengatakan, pihaknya berupaya menarik wisatawan yang awalnya hanya ingin mengunjungi Tanjung Puting, salah satu wilayah ekowisata, ke desa kopi itu. Hal itu efektif untuk membuat turis lebih lama berada di Kotawaringin Barat. ”Ini bisa jadi contoh pengelolaan wisata yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat, tetapi memang dari segi produksi masih kurang, ini yang akan kami dorong terus,” ungkapnya.
Marinus Kristiadi Harun, peneliti pertanian dan perkebunan dari Balai Pengembangan dan Penelitian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjar Baru, mengatakan, tanaman kopi liberika bisa bertahan di pesisir pantai dengan ukuran PH 6-7. Jika di tanah ke- ras dengan ketinggian di bawah 100 mdpl, tanaman liberika bisa bertahan (IDO)