Menjelang pertemuan bersejarah antara Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un, Jumat (27/4/2018) mendatang, dunia masih dibayang-bayangi rasa tidak percaya. Bahkan, komunitas global pun masih diliputi keraguan atas janji Kim Jong Un, Sabtu lalu, yaitu hendak menghentikan uji rudal dan nuklir, serta membongkar pusat uji nuklir Korut.
Sebagai langkah baru, Kim Jong Un menjanjikan membangun konstruksi ekonomi sosialis untuk negaranya. Harapannya, Korut yang miskin dapat bertransformasi dan mereformasi ekonomi. Namun, banyak pihak masih belum sepenuhnya yakin dengan sikap itu. Bahkan, dalam Twitter-nya terbaru, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengatakan, krisis nuklir Korut masih ”jauh dari kesimpulan”.
Ragu, tentu. Sejak era presiden Bill Clinton, AS dan Korut pernah terlibat dalam sejumlah pembicaraan yang kemudian berujung pada perjanjian nonproliferasi nuklir pada 1994. Sebagai kompensasi dari kesepakatan itu, AS akan mengirim 500.000 metrik ton minyak untuk Korut. Namun, ujungnya kesepakatan itu gagal.
Pada tahun 2003, saat Pyongyang mengancam mundur dari Perjanjian Nonproliferasi, AS pun mau kembali ke meja perundingan. Sejumlah pihak termasuk Korea Selatan, China, Jepang dan Rusia turut serta. September 2005 Pyongyang siap mengakhiri program nuklirnya dengan imbalan keamanan, ekonomi dan energi. Kantor berita Associated Press mencatat, perjanjian itu goyah karena beberapa hari sebelumnya, Departemen Keuangan AS memerintahkan bank-bank Amerika memutuskan hubungan dengan Bank Makau yang dituduh membantu Korut mencuci uang hasil perdagangan narkoba dan kegiatan terlarang lainnya. Hal itu membatalkan pembicaraan enam negara. Oktober 2006, Korut melakukan uji coba nuklirnya yang pertama.
Pada Februari 2007, AS dan empat negara lainnya mencapai kesepakatan untuk memberikan paket bantuan senilai 400 juta dollar AS untuk Korut. Ini adalah imbalan bagi Pyongyang agar menonaktifkan fasilitas nuklirnya dan mengizinkan kembali para inspektur internasional masuk ke negara itu. Korut pun menghancurkan menara pendingin reaktor Nyongbyon pada Juni 2008.
Pada bulan September, Korut melanjutkan pemrosesan ulang plutonium, karena Washington tidak memenuhi janjinya untuk menghapus negara itu dari daftar negara sponsor terorisme. Presiden Bush setuju mencoret Korut dari daftar itu. Namun, upaya Bush untuk menyelesaikan kesepakatan runtuh pada Desember ketika Korut menolak menerima metode verifikasi yang diusulkan AS. Sejak saat itu, perundingan enam negara terhenti. Pyongyang pun kembali menguji nuklirnya pada Mei 2009.
Pada era Presiden Barack Obama tercapai kesepakatan pada Februari 2012, antara lain menangguhkan uji coba rudal dan pengayaan uranium, imbalannya adalah bantuan makanan dari AS. Namun, Washington segera membekukan kesepakatan itu pada April 2012 karena Korut meluncurkan roket jarak jauh yang diklaim dibangun untuk mengirim satelit. Peluncuran itu dilihat sebagai uji coba teknologi rudal balistik. Pyongyang mengkritik Amerika Serikat yang dinilai ”bereaksi berlebihan”.
Etika
Saat ini, ketika teknologi nuklir dan rudal balistik Pyongyang telah sangat berkembang, Korut menunjukkan pada dunia wajah yang simpatik. Sejak Desember tahun lalu, Kim telah menawarkan pembicaraan kepada Moon. Pyongyang pun Februari lalu mengirim kontingen untuk berpartisipasi dalam Olimpiade Musim Dingin di Pyongchang. Seoul, pada era Moon yang lebih mengedepankan dialog, menyambutnya dengan sangat baik dan melihat ketulusan Pyongyang.
Dalam dunia diplomasi, selain citra baik, belakangan Korut pun tengah membangun apa yang disebut sebagai aset intangible, yaitu etika. Kunjungan Kim Jong Un ke China menunjukkan niat Korut untuk memulai berinteraksi dengan komunitas internasional. Janji yang dia kemukakan minggu lalu, boleh jadi adalah bagian dari upaya Pyongyang untuk memperkuat itu. Akan tetapi, berkaca pada masa lalu, ketulusan patut diuji. (AP/B JOSIE SUSILO HARDIANTO)