Pusaka Kota di Tengah Kota Bogor
Memasuki gerbang kompleks bangunan di sisi Jalan Pemuda, Tanah Sareal, Bogor, itu, sejumlah bangunan berdiri kokoh dengan banyak jendela lebar dan lubang angin. Atapnya tinggi dengan genteng menghitam. Itulah bekas rumah pemotongan hewan yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda di Kota Bogor pada 1926 dan dioperasikan pada tahun 1928.
Kontras di sisi kanan, bangunan lebih dari enam tingkat masih dalam proses penyelesaian. Bangunan itu calon Gedung DPRD Kota Bogor. Di kiri kompleks RPH itu berdiri bangunan bertingkat yang juga relatif baru.
Pada buku Bahan Penetapan Cagar Budaya Provinsi Jawa Barat yang diterbitkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, bekas rumah pemotongan hewan (RPH) di Jalan Pemuda (Jalan Penjagalan) ini salah satu dari enam bangunan era kolonial di Kota Bogor yang masuk kriteria cagar budaya (CB) provinsi.
RPH ini tak dioperasikan lagi sejak 2009 atau setelah 80 tahun. Pemerintah Kota Bogor membangun penggantinya di Bubulak, Bogor Barat, di lahan yang berbatasan dengan Sungai Cisadane.
”Kami tidak tahu, sudah resmi ditetapkan sebagai CB tingkat provinsi atau belum. Tim peneliti provinsi meninjau bangunan itu tahun 2012. Yang jelas, untuk Kota Bogor ada 24 bangunan resmi ditetapkan sebagai CB, namun tidak atau belum termasuk bangunan bekas RPH Pemuda,” tutur Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Bogor Shahlan Rasyidi, Kamis (19/4/2018).
Menurut Shahlan, tahun 2012, dinasnya mengajukan permohonan agar kompleks RPH menjadi atau difungsikan sebagai kantor dinas pariwisata dengan mempertahankan lima bangunan utamanya, dilengkapi satu bangunan baru sebagai galeri kebudayaan.
”Perkembangan selanjutnya, ternyata dibangun gedung untuk DPRD. Sebulan lalu, saya mengajukan permohonan ke Pak Wali Kota untuk meminta kembali bangunan bekas RPH Pemuda itu untuk kantor dinas,” ujarnya.
Melihat kompleks bekas RPH itu memprihatinkan. Ada lima bangunan beratap limas dengan genteng kodok. Bangunan persegi itu setengah dinding luarnya dari tembok batu kali. Rumput liar tumbuh di antara puing dan sampah di lantai. Sebagian plafon ambrol, genteng melorot.
Yang juga tersisa adalah rel besi dan alat bantu memindahkan karkas dari tempat pemotongan/pengulitan ke ruang penyimpanan. Rel itu ada di langit-langit ruang, menyatu dengan dinding atau rangka bangunan. Jika saja mudah dilepas, besi-besi itu barangkali juga bakal raib, seperti rantai besi pengerek ternak seusai disembelih untuk dikuliti.
”Waktu pindah ke RPH Bubulak, yang kami bawa hanya engkol kerekannya dan besi kait untuk gantung karkas,” kata Ahmad Rivai (52), juru sembelih hewan RPH tersebut.
Menurut dia, alat-alat dari besi baja itu didatangkan dari Jerman. Ia pernah melihat keterangan tercetak berbahasa Jerman. Ia yang awalnya bekerja di bagian limbah, saat usia 20 tahunan, masih mengalami membuang limbah isi perut ternak dengan troli di atas rel kereta dari tempat pemotongan ke lahan penampungan limbah untuk pupuk.
Dulu, lanjut Rivai, rel kereta, selain ke Stasiun Bogor, juga ada yang berbelok ke RPH untuk mengangkut ternak.
”Waktu saya baru masuk kerja sudah tidak ada rel kereta yang menyambung ke jalur rel kereta Bogor. Yang di dalam kompleks RPH juga akhirnya tidak ada. Karena tidak dipakai lagi, relnya diambil warga. Saya lupa tahun berapa, tetapi sempat lihat, satu ruas rel panjangnya delapan meteran dipotong-potong, harga per kilo Rp 150.000,” ungkapnya.
Kondisi awal
Kenangan lain soal bangunan RPH itu, lantainya dari batu andesit. Saat beberapa lantai dibongkar untuk tiang tambahan, bagian bawah setiap kotak batu itu berbentuk kerucut. Di bawah lantai itu pasir. Sedalam panjang tangan ditanamkan belum terkeruk tanah.
Lantai ruang pemotongan juga dari batu andesit, masing-masing kotak persegi berukuran 40 sentimeter (cm) x 50 cm dengan ketebalan 10 cm, sedangkan kakinya mengerucut 20 cm seperti piramida terbalik. Setiap tepi atas bidang lantai ruang membentuk tali air menuju selokan di pinggir ruangan, sejajar dengan dinding ruang pemotongan. Lalu, limbah cair masuk ke bak penyaringan limbah.
Bak penyaringan limbah cair ada lima buah dengan pengolahan bersekat-sekat sistem spiral. Diameternya 5 meter dengan kedalaman bak bervariasi, paling dalam 2 meter. Keluar dari bak terakhir, limbah cair tak merah lagi, mengalir ke selokan. Bak itu tak ada lagi, digantikan gedung kantor Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan.
Dinding ruang pemotongan sejak awal sudah dilapisi keramik agar mudah dibersihkan. Selain ruang pemotongan, ada ruang pelayuan atau penyimpanan daging yang lengkap dengan kipas angin untuk menstabilkan suhu, ruang penimbangan, dan ruang krematorium.
”Dari pertama bertugas awal 1990-an, semua secara teknis berfungsi. Namun, sampai menjabat Kepala UPTD RPH (2001-2002), krematorium tak pernah digunakan. Tak ada ternak sakit terkontaminasi penyakit berbahaya,” kata mantan Kepala UPTD RPH Apip Supriadi (52).
Dulu, Apip sempat melihat gambar rancang bangun dan peta lokasi RPH di arsip berbahasa Belanda. Dari sana, ia tahu, RPH dibangun di pinggir Kota Bogor pada 1926-1927 dan beroperasi pada 1928. Masa itu, pengelolanya instansi Jawatan Kehewanan.
Dari peta itu diketahui pula, kompleks RPH dilengkapi kebun rumput dan pasar ternak, selain kandang atau tempat menambatkan ternak siap disembelih.
Kini, batas lahan RPH adalah lahan perkebunan pabrik ban Goodyear di sisi kanan, jalur rel kereta Bogor-Batavia sampai pelintasan sebidang kereta api (kini pelintasan Kebon Pedes) di sisi belakang, dan Jalan Pejagalan di sisi depan sampai pelintasan sebidang kereta. Dengan posisi itu, lahan areal RPH seperti delta.
”Pada peta, Jalan Pejagalan sepertinya buntu di pelintasan sebidang itu, tidak ada jalan tembus lain. Di seberang jalan depan RPH adalah lapangan pacuan kuda. Saya tidak tahu apa peta dan dokumen itu masih ada di kantor RPH Bubulak. Saya pindah dari RPH tahun 2002,” kata Apip.
Paris dan London
Penggiat budaya Bogor, Taufik Hassunna (62), mengatakan, Belanda membangun RPH di Jalan Pejagalan terkait pembenahan tata kota wilayah Bogor, yang kemudian dibangun kawasan permukiman bertema kota Paris dan London. Sebelumnya, pasar ternak ada di Jalan Kedung Sawah, belakang Hotel Salak kini.
Dipindah ke Jalan Pejagalan karena kawasan itu dulu perkebunan di luar Kota Bogor. Lahan itu milik Kapiten Thung, tuan tanah penguasa lahan sangat luas sampai Cilebut.
Oleh karena ada RPH, lama-lama muncul permukiman penduduk. Hingga akhirnya, awal 1970-an, lahan kebun di seberang jalan RPH, kecuali lapangan pacuan kuda (kini sisa lahannya jadi GOR Pajajaran), dikuasai seorang kaya keturunan Arab.
”Lahan itu lalu dikapling-kapling dan dijual dengan harga per meter satu riyal. Dari sanalah asal kata Tanah Sareal,” ujar Taufik.
Kawasan itu lalu dikenal sebagai Kampung Tanah Sareal, yang kemudian Tanah Sareal jadi nama kecamatan. Jalan Penjagalan akhirnya nyambung dengan Jalan A Yani dari beberapa titik yang merupakan Jalan Pos Daendels. ”Awalnya ke Jalan Penjagalan hanya dari Simpang Air Mancur. Pabrik ban Goodyear baru dibangun pada 1935,” lanjutnya.
Ia masih ingat lapangan pacuan kuda, yang jadi lapangan sepak bola Purada, lalu GOR Pajajaran. Rumah kakek dan orangtuanya di Jalan Dr Sumeru juga ada istalnya karena mereka memiliki kuda. Kakek buyutnya yang keturunan Jerman selalu berkuda.
Lapangan pacuan kuda dibangun di sana, tidak lain karena tetap ada pasar ternak di RPH itu. Taufik, yang terlibat dalam tim rencana bekas RPH menjadi kantor Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Bogor, menyesalkan penelantaran bangunan itu.
”Saya bingung, yang dibangun, kok, jadi gedung DPRD. Menurut rencana akan dibangun gedung pertunjukan budaya dengan fasilitas penunjangnya, dengan tetap melestarikan bangunan-bangunan RPH,” ujarnya.
Kepala Bagian Tata Usaha UPTD RPH Terpadu Dinas Pertanian Kota Bogor Didong Suherbi mengatakan, RPH pindah ke Bubulak tahun 2009 karena, secara sosial ekonomi masyarakat, RPH Pemuda tidak optimal dioperasikan. Sekelilingnya sudah jadi kawasan perkantoran dan permukiman. Bangunan dan fasilitasnya secara teknis masih bagus, tetapi lokasinya jadi berada di dalam kota.
Kini, UPTD-nya tak lagi mengurusi bangunan bekas RPH itu. Wewenang ada pada Bagian Pengelolaan Aset dan Keuangan Daerah Pemerintah Kota Bogor.
Pelaksana Tugas Wali Kota Bogor Usmar Hariman memastikan, bangunan RPH Pemuda sudah masuk bangunan warisan budaya. Ia sudah minta Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Bogor menganggarkan rehabilitasi bangunan itu pada tahun anggaran 2019.
”Bekas bangunan RPH ini bisa jadi pusat informasi pariwisata dan ruang-ruang pameran budaya,” ucapnya.
Semoga rehabilitasi RPH tak melanggar ketentuan cara menangani dan merawat cagar budaya seperti amanat Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Saatnya memastikan pembangunan Kota Bogor sejalan dengan UU. Perlakuan pada RPH yang kini berusia 90 tahun ini menjadi tolok ukur konsistensi Bogor sebagai Kota Pusaka.