Dari Bekasi, Memaknai Dunia
Perkenalkan, tim sepak bola Garuda Baru. Sembilan anak 14-16 tahun dari Jakarta dan Bekasi itu akan mewakili Indonesia dalam ajang Street Child World Cup 2018 di Moskwa, Rusia, 10-18 Mei.
Mereka adalah Krisna Sugina, Somad, Andre Widianto, Malikal Febry Pratama, Aditiya Rahman, Sugeng Reja Pamungkas, Bayu Pamungkas, Ardi Nata, dan Ryan Febriyansah. Sembilan anak jalanan ini, enam orang dari Bekasi, bakal bertanding dengan tim dari sejumlah negara dalam format laga mini-soccer. Tujuh orang di lapangan, termasuk kiper, melawan tujuh pemain lawan.
Dikutip dari laman Streetchildunited.org, kompetisi bakal digelar jelang Piala Dunia 2018. Sebanyak 24 tim anak jalanan dari seluruh dunia bakal berlaga.
Sehari-hari, kesembilan anak ini membagi habis waktu yang terbatas untuk bekerja dan bersekolah di Bekasi dan Jakarta. Mengumpulkan dan menyortir barang bekas, jadi buruh bangunan, dan pengojek payung adalah beberapa pekerjaan yang dilakoni anak-anak itu.
Ardi Nata (15), misalnya, kerap membantu ayahnya sebagai buruh bangunan. ”Bantu ngaduk pasir sama ngecat,” kata Ardi yang menilai jago ngecat.
Bersama ayahnya, ia kerja pada akhir pekan. Selain Bekasi, mereka kadang bekerja hingga Cikarang, Jawa Barat, dan tiba di rumah sekitar pukul 20.00.
Mungkin karena terbiasa memberi ”sentuhan akhir” pengecatan, Ardi nyaman pada posisi striker. Namun, ia kadang merasa terburu-buru mengeksekusi serangan.
Minggu (22/4/2018) pagi itu, Ardi bersama tim pelatih (Wahyu Kurniawan, Irpan Anugrah, Aris Suwandi) dan tim bertanding melawan tim SMAK BPK Penabur, Cibubur, di Lapangan Sepak Bola Dirgantara III, Halim, Jakarta Timur. Garuda Baru menang 6-5 dalam laga yang juga disaksikan Ketua Konsorsium Garuda Baru Jessica Hutting.
”Setelah latihan, anak-anak ada kelas public speaking,” kata Jessica. Materi ini untuk sejumlah kebutuhan, misalnya agar bisa turut dalam konferensi, pertemuan majelis umum, dan perhelatan seni.
Materi soft skill ini diberikan setelah mengevaluasi hasil turnamen serupa di Brasil, 2014. Saat itu, sebagian besar peserta tak bisa berpartisipasi dalam acara lain seusai laga. Padahal, ujar Jessica, acara itu memberikan kesempatan besar untuk saling berbagi pengalaman dan berjejaring.
Selain itu, materi mengenai hak-hak anak juga diberikan selama sesi persiapan. Misalnya mengenai kesadaran bahwa bekerja di jalanan rentan terhadap paparan kejahatan oleh orang dewasa seperti pemalakan dan atau kejadian seperti terserempet kendaraan bermotor.
”Suatu hal yang (oleh anak-anak) mungkin (dianggap) senang-senang aja. (Sesuatu yang) Tadinya dianggap wajar,” ucap Jessica.
Latar belakang
Sebagian hasil latihan itu tampak pada Ardi. Ia tak canggung menghadapi pertanyaan pagi itu. ”Rencana saya mau membanggakan kedua orangtua dan membanggakan bangsa di luar sana,” kata Ardi, anak ketiga dari lima bersaudara.
Demi bermain bola yang benar, ia mampu mengidentifikasi sejumlah kekurangan, antara lain mengontrol dan mengoper bola.
Bagi Ardi, ini kesempatan kedua pergi ke luar negeri. Saat masih murid SD Alam Anak Sholeh, Bekasi, yang dimotori aktivis kemanusiaan Agustian, ia mengunjungi Filipina.
”Teruslah berlatih, pantang menyerah, walaupun (kamu) sebatang kara,” katanya saat diminta memberikan pesan bagi anak-anak sebayanya.
Ardi merasa perlu menambahkan frasa ”sebatang kara” karena sejumlah teman mainnya hidup demikian. Sendirian menjadi tulang punggung keluarga, mengumpulkan rongsokan.
Krisna Sugina (16) salah satu anggota lain tim impian itu. Ia semestinya duduk di kelas I SMA (kelas X). Namun, ia masih kelas II SMP (kelas VIII).
Krisna, enam bersaudara itu, pernah gamang memilih membantu ayahnya yang pengepul barang bekas atau terus mengikuti latihan. Ia juga merasa grogi pada tahap seleksi.
Pelatih Garuda Baru Wahyu Kurniawan mengatakan, salah satu tantangan adalah waktu singkat, Januari hingga April, untuk membentuk tim. Mereka berlatih Sabtu petang dan Minggu pagi.
Sejumlah uji coba dengan beberapa murid sekolah internasional di Jabodetabek, dengan postur lawan mendekati orang Eropa, dilakukan dengan hasil cukup memuaskan. Ini asah mental mencakup semangat, daya juang, dan kepercayaan diri.
Proses panjang
Jessica menyebutkan, proses pembentukan tim Garuda Baru dimulai 30 September 2017. Mereka diseleksi dari sekitar 400 anak binaan Yayasan Kampus Diakonia Modern (KDM). ”Garuda Baru program community empowerment (pemberdayaan masyarakat). Kerja sama dengan beberapa lembaga, pendekatan ke lembaga bimbingan belajar dan sekolah,” ujarnya.
Terdaftar 100 anak, dan 92 orang datang untuk seleksi. Kini terpilih sembilan orang.
Keikutsertaan mereka dalam ajang Street Child World Cup 2018 sepenuhnya didaftarkan melalui Yayasan KDM. Ini sebagai pemenuhan syarat bahwa peserta dinaungi lembaga legal yang diakui di negaranya dan memiliki keterkaitan dengan isu anak jalanan.
Proses panjang itu jadi tantangan terbesar, terutama ketika dihadapkan pada sudut pandang anak jalanan yang terbiasa berpikir jangka pendek. Frasa kumaha engke atau ’bagaimana nanti’ dalam bahasa Sunda begitu lekat.
Dalam keseharian, anak-anak itu cenderung tak ada konsep masa depan. Untuk urusan makan, misalnya, konsepnya cara bertahan hari ke hari.
Secara perlahan, keyakinan akan masa depan mulai terpatri. Itu seperti dikatakan Krisna saat diminta memberikan pesan.
”Terus semangat. Terus cari apa yang dia mau. Terus, kalau sudah dapat, pertahankan kalau bisa. Lakukan terus. (Dulu orang bilang) Mustahil besi bisa terbang, tapi sekarang kita lihat ada pesawat terbang. Because anything can happen,” tutur Krisna.