Beberapa waktu lalu, saya diundang mengikuti sebuah pertemuan di Siem Reap, Kamboja. Untuk menuju ke sana, saya harus transit di Bangkok sebelum meneruskan penerbangan ke Kamboja dengan pesawat Bangkok Airways. Saat di pintu pemberangkatan, saya mendapati kenyataan menarik setelah mengamati boarding pass yang dipegang para penumpang yang ikut mengantre untuk naik di pesawat yang sama. Rupanya, boarding pass kami berbeda-beda. Saya memegang kertas Garuda Indonesia, sebelah-sebelah saya menggunakan pass dari penerbangan Emirates, Etihad, Russian Air, dan lain-lain.
Sungguh berbeda dengan masa lalu. Kini, penumpang pesawat yang sama bisa menggunakan boarding pass dari maskapai yang berbeda. Hal ini dimungkinkan karena telah banyak maskapai yang menerapkan kerja sama codeshare (satu pesawat dengan kode flight dari banyak maskapai) alias prinsip ”menitipkan’’ penumpang maskapai yang bersangkutan di penerbangan maskapai lain.
Fenomena ini menandai perubahan dalam banyak hal. Yang paling drastis tentunya adalah perubahan paradigma atau cara pandang mengenai kompetisi dan kolaborasi. Dulu, perusahaan sejenis dianggap sebagai kompetitor yang harus dikalahkan. Sekarang, maskapai seperti Bangkok Airways justru memilih untuk bekerja sama dengan sesama maskapai.
Jika dalam persaingan keras di dunia bisnis, para pelaku industri bersedia untuk mengendurkan tensi persaingan dan mengalahkan egonya dalam memenangi pertarungan memperebutkan pasar, bagaimana dengan fenomena lainnya dalam kehidupan kita? Menarik untuk mengamati bahwa yang menguat justru kecenderungan sebaliknya.
Dalam ruang-ruang sosial di mana kerja sama menjadi prinsip dasar, kita justru melihat meningkatnya sikap kompetitif yang saling mengalahkan, bahkan sampai melanggar nilai-nilai luhur dan menggadaikan kepentingan bersama atau kepentingan jangka panjang bangsa.
Di dunia politik, misalnya, kita kerap menyaksikan bagaimana kandidat pejabat publik dijegal dengan pembunuhan karakter oleh lawan politiknya. Cara-cara banal dianggap sebagai kelaziman untuk mengalahkan kompetitor, bukan dengan berlomba menawarkan program yang paling memikat hati rakyat.
Kebijakan publik sering kali tidak diperdebatkan dalam paradigma mewujudkan kemaslahatan rakyat, tetapi menjadi ajang untuk saling menjatuhkan antara koalisi pemerintah dan kelompok oposisi. Misalnya, pro dan kontra subsidi BBM atau perppu ormas. Sentimen publik yang seharusnya menjadi instrumen untuk mengkritisi kebijakan pemerintah secara sehat, sebaliknya diarahkan untuk saling menyerang dan menjatuhkan demi kepentingan politik praktis. Bahkan, sentimen agama pun menjadi pelintiran kebencian untuk kepentingan politik (Charlian George, 2017).
Dalam hubungan umat beragama, sudah makin jarang kita jumpai tradisi semacam pela gandong di Maluku. Yaitu, sebuah tradisi menjaga hubungan persaudaraan, dan bahkan, saling membantu mendirikan rumah ibadah yang dilakukan oleh desa-desa yang penduduknya berbeda agama. Kian hari, perbedaan antarumat beragama justru dipertajam untuk saling mencurigai dan memusuhi. Alih-alih menjadi pembimbing umat agar lebih arif menyikapi perbedaan, banyak pemuka agama menyuburkan sikap saling menuntut atas nama mayoritas-minoritas, seperti kita saksikan di Jayapura maupun Aceh Singkil.
Mengapa demikian mudah mengobarkan sikap menang-menangan di antara kita? Apakah dikarenakan ego kita mendapatkan kesempatan untuk merasa jumawa? Ataukah untuk berbagi dengan orang lain membutuhkan kebesaran jiwa yang memang tak mudah? Untuk bersinergi, kita perlu bersikap adil sejak dari pikiran, berpikir win/win, bukan win/lose. Kita perlu menjaga keseimbangan antara mendapatkan kebutuhan kita dengan bertenggang rasa atas kebutuhan orang lain.
Mudah bagi kita untuk membangkitkan emosi, mengalahkan, memusuhi, atau menyalahkan orang lain, karena hal itu melepaskan kita dari tanggung jawab untuk memperbaiki dan memperkuat diri sendiri. Lebih mudah bagi kita untuk mengejar kemenangan atas yang lain karena kita merasa lebih berhak atas bumi ini.
Namun, dalam dunia yang semakin kompleks, kita memang tak bisa hidup sendiri. Berbagai tantangan kehidupan membutuhkan kebesaran jiwa kita untuk mau sama-sama menjaga bangsa. Bahkan dengan sinergi pun, masih banyak tantangan yang harus kita selesaikan. Mengapa kita masih juga memelihara permusuhan? Padahal, kita telah belajar dari tikungan-tikungan sejarah Indonesia, menghancurkan tatanan kehidupan berbangsa kita hanya butuh 1-2 peristiwa, tetapi memulihkan dan membangun ulang membutuhkan waktu puluhan tahun.
Di jalan raya, orang harus berbagi dengan pengguna jalan lainnya. Ia tidak bisa memikirkan diri dan kepentingannya sendiri. Pengguna jalan tidak bisa kebut-kebutan dan saling serobot agar tidak terjadi kecelakaan yang membinasakan. Begitupun kehidupan berbangsa kita. Maka, pilihannya adalah: bekerja sama atau saling menghancurkan. Berkolarasi atau mati?