JAKARTA, KOMPAS – Perempuan didorong untuk aktif mengawasi dan melapor jika mengetahui ada pelanggaran yang dilakukan oleh penegak hukum dan pihak-pihak lain dalam pelayanan publik. Perempuan berperan signifikan mengawasi penegakan hukum. Hingga saat ini, sejumlah tokoh perempuan juga telah menduduki posisi penting di berbagai lembaga pengawasan.
Perempuan pun diharapkan tidak ragu-ragu melapor atau merasa takut terlibat dalam kasus hukum.
Dalam menghadapi persoalan hukum, perempuan pun mendapatkan perhatian khusus setelah Mahkamah Agung (MA) menerbitkan Peraturan MA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.
Perma Nomor 3/2017 memuat panduan bagi hakim agar tidak menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan merendahkan, menyalahkan atau mengintimidasi perempuan yang berhadapan dengan hukum. Perma melarang hakim melakukan diskriminasi dengan menggunakan kebudayaan, aturan adat dan praktik tradisional lainnya. Dalam kasus kesusilaan, hakim tidak boleh mempertanyakan pengalaman atau latar belakang seksualitas korban sebagai dasar untuk membebaskan atau meringankan pelaku. Hakim juga dilarang mengeluarkan pernyataan atau pandangan yang mengandung stereotip jender.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah, Selasa (1/5/2018) di Jakarta menuturkan, Perma itu dibuat sebagai respon atas keberatan dari masyarakat, khususnya dari kalangan perempuan yang melihat hakim acap kali menggunakan istilah atau perkataan-perkataan yang tidak memerhatikan posisi perempuan sebagai korban atas suatu tindak pidana.
“Pedoman itu dibuat agar hakim santun, menjaga etika, dan melihat perempuan dalam perspektif yang lebih berkeadilan. Jangan lagi ada hakim di dalam kasus-kasus tertentu, seperti, pemerkosaan, bertanya dengan vulgar di ruang persidangan soal pengalaman korban. Hal-hal seperti itu tidak perlu ditanyakan kepada korban, meskipun sebenarnya itu dilakukan hakim untuk mengungkap fakta dari suatu peristiwa,” katanya.
Perempuan pengawas
Sebelumnya, dalam seminar bertajuk “Perempuan dan Pengawasan terhadap Lembaga/Aparat Penegak Hukum: Peran Perempuan dalam Penyelenggaraan Negara,” yang digelar di Komisi Yudisial, Senin (30/4/2018), sejumlah tokoh perempuan yang menjadi pembicara mendorong perempuan untuk aktif sebagai pengawas penegakan hukum. Hadir sebagai pembicara seminar tersebut, Wakil Ketua Komisi Yudisial (KY) Sukma Violetta, Wakil Ketua Komisi Kejaksaan Erna Ratnaningsih, anggota Komisi Kepolisian Nasional Poengky Indarti, dan Wakil Ketua Ombudsman RI Ninik Rahayu. Kegiatan itu digelar untuk memeringati Hari Kartini.
Sukma mengatakan, di KY terdapat 133 pegawai perempuan atau sekitar 443,3 persen dari total pegawai KY, yang semuanya bertugas mengawasi kinerja hakim. Pegawai perempuan itu merupakan tenaga aktif yang menangani 1.500 laporan masyarakat per tahunnya.
“Selain memeriksa berkas-berkas laporan untuk ditindaklanjuti, mereka juga memantau sekitar 150 persidangan di berbagai pengadilan yang tersebar di seluruh Indonesia,” ujarnya.
Namun, acap kali laporan dari masyarakat yang diterima oleh lembaga pengawas penegak hukum itu sekaligus melaporkan perempuan sebagai korban.
Data dari Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang dikutip oleh Komisi Kejaksaan menunjukkan, sepanjang tahun 2017 telah terjadi 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, kekerasan dalam rumah tangga paling banyak, yakni 335.062 kasus. Adapun kekerasan yang dialami perempuan oleh negara ada 247 kasus.
“Sayangnya, dalam menghadapi problem hukum ini beberapa korban perempuan tidak berani melapor ke penegak hukum. Beberapa alasan terungkap, antara lain malu, merasa wajib melindungi nama baik keluarga, merasa proses hukum tidak menyelesaikan persoalan mereka, khawatir ada pembalasan dari pelaku, lokasi kantor polisi yang jauh, tidak adanya perlindungan hukum, dan ketidaktahuan korban bahwa ia mengalami kekerasan,” tutur Erna.
Problem-problem itu pun acap kali tidak ditanggapi serius oleh penegak hukum.
“Oleh karena itu, perlu penguatan lembaga pengawasan aparat penegak hukum dan pelayanan publik, seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Kompolnas, dan Ombudsman, sesuai tugas pokok dan fungsinya, sehingga bisa ikut mengawal dan mengawasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan,” katanya.