Jejak Proyek MHT Yang Nyaris Hilang
“Sebagai salah satu pintu masuk ke Kota Tua, Batavia, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin memutuskan Kelurahan Krendang jadi satu dari lima kelurahan yang pertama menjadi target Perbaikan Kampung Muhammad Husni Thamrin (MHT),” kata Lurah Krendang, Andre Arnie di kantornya, Kamis (3/5/2018). Tiga jalan masuk ke Kota Tua yang diperlebar dalam proyek MHT di Krendang adalah Jalan KH Moch Mansyur, Jalan Jembatan Besi Raya, dan Jalan Krendang Utara di tepi Kali Cibubur.
Seperti hari biasa, siang nan panas dan berdebu itu diwarnai kemacetan menuju Krendang. Gerobak, truk, dan sepeda motor membawa gulungan kain, tumpukan potongan kain yang dipola, atau keranjang fusui (kain perca), saling mendahului.
Empat kelurahan lain Proyek MHT tahun 1969 adalah Kelurahan Rawa Badak Jakarta Utara, Menteng Wadas Jakarta Selatan, Kemayoran Kecil Jakarta Pusat, dan Kayu Manis Jakarta Timur. Kala itu, seperti ditulis Imam Hilman dalam skripsinya “Program Perbaikan Kampung: Proyek Muhammad Husni Thamrin di Jakarta tahun 1969-1979” tahun 2008, Krendang kampung paling kumuh, infrastruktur sangat buruk. Dalam program itu, kelurahan ini dapat anggaran Rp 150 juta, Kelurahan Rawa Badak Rp 107 juta, tiga kelurahan lain Rp 70 juta hingga Rp 80 juta.
Penggagas Proyek MHT memang Bang Ali (Ali Sadikin). Pemikiran itu muncul saat ia masih siswa sekolah pelayaran. Di akhir pekan, ia sering ke rumah pamannya di Jalan Bukit Duri, Bidaracina, Jatinegara. Tak seperti kampung lain di Jakarta, kampung pamannya bersih.
Ingatan Bang Ali itu bersinggungan kisah Djumadjitin, Sekda DKI kala itu. Djumadjitin berkisah, tahun 1934, pemerintahan Kolonial Belanda mengenalkan kampung verbeetering, yaitu perbaikan jalan dan saluran sebagai santunan untuk etnis Betawi. Itu perjuangan Muhammad Husni Thamrin, anggota Volkstraad (Dewan Perwakilan Rakyat bentukan Hindia Belanda).
Ditolak Bappenas
Gagasan Thamrin itu diserap Bang Ali yang lalu mengusulkan program perbaikan kampung ke Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional), tetapi ditolak. “Waktu bicara dengan pimpinan Bappenas, Wijoyo Nitisastro, saya merasa gagasan saya ditolak karena perbaikan kampung bukan prioritas mereka. Mereka seperti tidak melihat perbaikan kampung akan mendatangkan uang. Mereka melihat dari sudut ekonomi,” kata Sadikin, seperti dikutip “Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977” (Ramadhan KH, Jakarta 1992, Penerbit Sinar Harapan).
Meski kecewa, Bang Ali tak putus asa. Ia menyodorkan ke DPRD dan disetujui. Dana awal dari APBD program perbaikan kampung pada awal Pelita (pembangunan lima tahun) I.
Tujuan proyek ini, tulis Imam, menciptakan lingkungan minimal sesuai norma kehidupan lingkungan layak; menciptakan kesehatan lingkungan agar tercipta kesehatan mental dan fisik masyarakat sehingga memungkinkan tumbuh dan meningkatnya dinamika prakarsa, kualitas, dan produktivitas masyarakat; serta menciptakan hidup perkampungan yang kekotaan, tenteram, sehat, tertib, teratur.
Bank Dunia pun meliriknya, mengucurkan pinjaman pada September 1973. Sejak itu program perbaikan kampung ini dinamai Proyek MHT. Program ini didanai 50 persen pinjaman Bank Dunia dan 50 persen Pemda DKI. Utang dari Bank Dunia dibayar pemerintah pusat.
Penghargaan Agha Khan
Pada periode 1969-1970, Pemda (kini Pemprov) DKI dengan dana APBD mengalokasikan dana Rp 16,4 miliar (11,22 persen dana APBD). Pada 1970-1971 jadi 16,65 persen APBD, Rp 33,2 miliar. Selanjutnya, 1971-1972, dialokasikan 15,57 persen dari jumlah keseluruhan.
Periode 1972-1973 Proyek MHT dapat dana 12,88 persen dari Rp 13,2 miliar. Selanjutnya, periode 1973-1974 yang merupakan periode terakhir Pelita I, Proyek MHT dapat 12,21 persen dari dana APBD Rp 15,7 miliar.
Dari Bank Dunia, proyek MHT dapat pinjaman 18,2 juta dollar AS dengan kelonggaran waktu lima tahun, masa pengembalian 15 tahun, bunga 8,5 persen per tahun. Itu membiayai proyek 1974-1976. Untuk tiga tahun Pelita II, pinjaman 44,05 juta dollar AS dengan kelonggaran tiga tahun, masa pengembalian 17 tahun, dan bunga 8,9 persen per tahun.
Dalam Proyek MHT, sarana dan prasarana yang dibangun meliputi perbaikan jalan, jembatan, penerangan listrik, irigasi; pembangunan fasilitas kesejahteraan sosial berupa perbaikan dan pembangunan pos-pos kesehatan serta balai pengobatan, dan tempat pendidikan-kebudayaan; pembuatan sumur, bak sampah, perumahan sehat, MCK, dan bangunan umum. Pelaksanaan ditangani dinas-dinas dan camat sebagai pelaksana.
Proyek MHT sempat terhambat pembebasan tanah untuk pelebaran jalan. Kalangan ulama keberatan karena sebagian dana APBD dari pajak judi. Pendanaan lalu dilanjutkan tanpa dana pajak judi.
Sukses Bang Ali menyelesaikan program kampung layak huni dengan kecukupan sarana dan prasarana dasar bagi warganya, membuat Pemda DKI mendapat penghargaan Agha Khan. Proyek itu menjadi percontohan bagi kota-kota lain di sejumlah negara.
Imam menulis, sebelum Proyek MHT digulirkan, 60 persen penduduk Jakarta masih bermukim di kampung dengan lingkungan hidup yang kian buruk, sehingga kehidupan mereka semakin tidak sehat, apatis, dan kurang produktif. Tahun 60-an pertambahan penduduk meningkat pesat menjadi tiga juta jiwa yang sebagian besar kaum urban. Padahal, dalam rencana induk kota Jakarta 1965-1985, kota Jakarta hanya disiapkan untuk 600 ribu jiwa.
Pesatnya arus urbanisasi ini menyebabkan masalah ketidakseimbangan antara kebutuhan hidup masyarakat dengan sarana yang telah tersedia, baik sarana sosial, administrasi, maupun sarana ekonomi dan sarana fisik.
Luas kota Jakarta di awal pemerintahan Bang Ali, 1969, adalah 577 kilometer persegi. Pada 1977, diakhir jabatannya, luas kota Jakarta menjadi 637,44 kilometer persegi. Dengan demikian selama pemerintahannya, luas Jakarta bertambah 60 kilometer persegi.
Antara tahun 1961-1971 jumlah penduduk Jakarta berkembang rata-rata 5,8 persen pertahun. Sebanyak 2,5 persen berasal dari pertambahan penduduk alamiah, dan 3,3 persen berasal dari arus urbanisasi. Pemenuhan kebutuhan rumah, air bersih, listrik, transportasi sekolah, rumah sakit, pasar makin sulit.\
Pada 1969-1980, wilayah Jakpus mempunyai tingkat kepadatan tinggi dengan jumlah penduduk 1.290.451 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata 20.316 jiwa per kilometer persegi, sehingga wajar program perbaikan kampung tahun 1969 dimulai dari Jakpus. Kala itu 60 persen penduduk DKI hidup di perkampungan dengan kualitas hidup masyarakat yang memrihatinkan.
Kini, seperti tak ingin mengabaikan semangat Bang Ali menata kampung, Andre dan pengurus rajin merawat lingkungan kampung. Hasilnya, tahun 2016, Kelurahan Krendang jadi kelurahan terbaik se-DKI. “Beberapa bulan sebelum lomba, kami berlomba membuat ‘gang kebanggaan’ di tiap RW,” kata Andre.
Syarat gang kebanggaan, lanjutnya, lingkungan gang harus hijau oleh apotek hidup maupun tanaman hias. Saluran air harus bersih, air mengalir lancar dan jelas muaranya. Rumah dicat. Halaman pun cerah dan bersih.
Apa yang dilakukan para pengurus lingkungan di Krendang ini sebenarnya mengikuti jejak Bang Ali. Tahun 1975, Bang Ali untuk pertama kalinya mengadakan sayembara halaman rumah terbaik. Syaratnya, “Tidak hanya hijau oleh tanaman hias, tetapi juga oleh pepohonan buah,” kata Bang Ali saat meninjau 10 perkampungan, Sabtu (12/4/1975).
Kesepuluh perkampungan (kelurahan) ini seperti dikutip Kompas, Senin 14/4/1975) adalah, Kampung Kalipasir, Menteng Sukabumi, Tambak, Matraman Dalam, Rawasari Tengah, Cempaka Putih, Kampung Kayu Awet, Kampung Harapan Mulia, Kenari, dan Kampung Kwitang. Kala itu Bang Ali memeriksa saluran penghubung, selokan MCK (mandi, cuci, kakus). Bahkan, MCK pun diperiksa Bang Ali.
Ia mengingatkan, agar jalan kampung yang sudah diaspal hanya digunakan untuk pejalan kaki dan sepeda motor saja. Mobil dan roda empat lainnya dilarang karena merusak jalan.
Pasca Proyek MHT, nyaris tidak ada lagi perbaikan dan penataan kampung-kampung yang menyeluruh, tuntas, dan menyentuh mayoritas warga DKI. Sempat muncul ide membuat kampung deret, tetapi seakan terhenti. Belakangan muncul program pendampingan pembangunan belasan kampung. Namun, masih dalam proses.
Di tengah berbagai harapan, Jakarta kian dipadati pedagang kaki lima yang bertumbuh. Selain itu, pemukiman di atas lahan fasilitas umum dan fasilitas sosial menjamur.