JAKARTA, KOMPAS - Memasuki 20 tahun peringatan reformasi, bangsa Indonesia dihadapkan pada realitas semakin memudarnya ingatan kolektif masyarakat terhadap esensi perjuangan dan tujuan reformasi. Ini membuat publik rentan tercerabut dari akar sejarah sehingga bisa kehilangan orientasi masa depan dalam mewujudkan agenda reformasi yang sudah berjalan selama dua dekade.
Tanggal 12 Mei 1998 menjadi salah satu titik penting gerakan reformasi. Saat itu, empat mahasiswa Trisakti, Jakarta, yakni Hendriawan Sie, Elang Mulya Lesmana, Hery Hartanto, dan Hafidhin Royan, meninggal akibat luka tembak di tengah unjuk rasa mahasiswa mendorong reformasi. Meninggalnya empat mahasiswa itu menggelorakan unjuk rasa, kerusuhan, dan berujung pada mundurnya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998.
Pada Sabtu (12/5/2018), di ruang maya, refleksi atas kejadian 20 tahun itu muncul. Di Twitter, kata kunci seperti Trisakti dan Mei 1998 sempat masuk dalam jajaran topik terhangat Twitter di Indonesia. Namun, dari data Trends24.in, kata kunci tersebut hanya bertahan selama beberapa jam. Cuitan itu juga didominasi oleh re-tweet pengguna Twitter atas cuitan yang sudah lebih dulu muncul dari akun media massa ataupun para elite sosial politik.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas, 7-8 Mei lalu, 80,5 persen responden mengaku tahu gerakan reformasi 1998. Dua hal yang paling diingat dari peristiwa itu adalah turunnya Soeharto dari kursi Presiden RI dan kerusuhan Mei 1998.
Guna memperingati kerusuhan Mei 1998, sejumlah keluarga korban, kemarin, melakukan tabur bunga dan berdoa di depan Mal Klender, Jakarta. Pada kerusuhan Mei 1998, banyak korban yang meninggal dunia di tempat itu.
Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, F Budi Hardiman, menuturkan, peringatan atas peristiwa reformasi memang kerap muncul setiap Mei. Namun, ingatan itu tidak mendalam karena masih sebatas ritual. Peringatan itu belum berupa kesadaran mendalam bahwa reformasi merupakan tonggak penting demokratisasi di Indonesia, sekaligus pengingat bahwa demokrasi tak datang otomatis, tetapi hasil perjuangan.
”Kalau ingatan kolektif itu tergerus begitu cepat oleh arus informasi politik kontemporer, akan berdampak memprihatinkan. Kita bisa tercerabut dari akar sejarah dan kehilangan orientasi ke depan. Orientasi atas agenda reformasi itu sendiri,” kata Hardiman, kemarin.
Hal senada disampaikan sejarawan Asvi Warman Adam. ”Kita harus ingat kembali salah satu tujuan reformasi itu ialah menolak kediktatoran. Dengan belajar dari tujuan itu, maka setiap upaya untuk mengarahkan kita kembali pada kondisi itu tentu harus dihindari. Ingatan kolektif itu perlu dirawat. Jika tidak, kejadian seperti dulu bisa terulang kembali,” katanya.
Upaya merawat ingatan itu diakui tak mudah karena perkembangan teknologi dan media sosial yang sedemikian masif memunculkan informasi-informasi sampah yang berpotensi memecah belah dan membelokkan fakta. Sejumlah persoalan belakangan ini, seperti fenomena intoleransi dan ketimpangan kesejahteraan warga, ikut mengikis konsistensi warga dalam mengawal perjalanan reformasi. Bahkan, sejumlah fenomena itu bisa mendorong Indonesia kembali dalam krisis.
Pada 1998, akibat krisis ekonomi yang parah, Indonesia hampir jatuh menjadi negara gagal dan hal itu semestinya tidak perlu terjadi lagi jika warga bangsa rajin merawat memori kolektifnya akan reformasi dan nilai- nilai demokratisasi yang diembannya.
Syafiq Alielha, aktivis 1998 yang juga pendiri Nahdlatul Ulama Online, menilai sudah tidak banyak generasi muda, terutama mereka yang tumbuh dan lahir setelah peristiwa 1998, yang mengingat esensi perjuangan reformasi.
”Publikasi soal 1998 tak begitu banyak. Kemudian, di sekolah- sekolah, sejarah reformasi juga tidak banyak diajarkan kepada siswa. Terutama mengenai kesadaran atas apa yang terjadi saat itu,” kata Syafiq.
Menjaga ingatan
Di tengah melemahnya memori kolektif bangsa mengenai reformasi 1998, sejumlah pihak masih berupaya memelihara ingatan kolektif terhadap reformasi. Hal ini, antara lain, dilakukan oleh para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dengan menggelar aksi berupa berdiri diam di depan Istana Merdeka, Jakarta. Aksi yang digelar setiap Kamis, hingga disebut Kamisan ini, telah digelar sejak 18 Januari 2007.
”Menurut kami, para keluarga korban, reformasi sudah dibajak dan dirusak. Jika dilihat isi tuntutan reformasi, belum semuanya bisa direalisasikan, bahkan beberapa di antaranya gagal,” kata Sumarsih (66), ibunda Norma Irawan (Wawan), mahasiswa Universitas Atma Jaya yang jadi korban peristiwa Semanggi I.
Tuntutan reformasi itu antara lain pemberantasan korupsi dan supremasi hukum. Ironisnya, ujar Sumarsih, ada dari mereka yang dulu berjuang dalam reformasi 1998 dan kini telah duduk di lembaga penting negara, terkesan mengabaikan nilai dan tujuan reformasi.
”Saya tahu persis apa yang diperjuangkan Wawan sehingga ketika di meninggal, saya merasa jadi tanggung jawab saya untuk melanjutkan perjuangannya,” ujar Sumarsih.