Pembangkit Listrik dari Sampah ITF Sunter Tunggu Amdal
Oleh
Irene Sarwindaningrum
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pembangunan pengolahan sampah dengan metode intermediate treatment facility atau ITF Sunter menunggu penyelesaian dokumen analisis dampak lingkungan, setelah pembangunannya tertunda dua tahun sejak peletakan batu pertama. Dokumen lain sudah lengkap seiring terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2018.
Kepala Unit Pengelola Sampah Terpadu Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Asep Kuswanto mengatakan, seiring terbitnya Pergub No. 33 Tahun 2018 itu, pencanangan ITF Sunter akan dilaksanakan 20 Mei 2018. Adapun konstruksinya direncanakan dimulai November tahun ini.
“Kami masih menyelesaikan analisis dampak lingkungan yang ditargetkan selesai Oktober,” katanya, Senin (14/5/208).
Sebelumnya, Peraturan Presiden (Perpres) No 35/2018 tentang percepatan pembangunan instalasi pengolah sampah menjadi energi listrik itu merupakan revisi Perpres No 18/2016 yang dicabut Mahkamah Agung akhir 2016. Pencabutan dilakukan atas gugatan kelompok masyarakat yang menilai ada dampak lingkungan dari pengolahan sampah menjadi listrik itu.
Pergub Nomor 33 Tahun 2018 yang ditandatangani Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan itu tentang penugasan lanjutan kepada PT Jakarta Propertindo dalam penyelenggaraan fasilitas pengelolaan sampah di dalam kota atau ITF.
Masa penugasan pembangunan berlangsung tiga tahun dan operasi 25 tahun. PT Jakarta Propertindo menggandeng Fortum, perusahaan pengelolaan sampah asal Finlandia. Adapun Pemerintah Provinsi DKI mendukung dengan pengadaan lahan, membayar biaya pengolahan sampah, serta suplai sampah 2.200 ton sehari.
Direktur Proyek ITF Sunter PT Jakarta Propertindo Aditya B Laksana mengatakan, ITF Sunter akan mengkhususkan pada pengolahan sampah padat dari rumah tangga. ITF Sunter juga didesain sebagai pembangkit listrik dari sampah dengan kapasitas maksimal 35 Megawatt.
Listrik yang dihasilkan rencananya disalurkan ke saluran transmisi yang interkoneksi dengan grid PLN eksisting Kemayoran-Priok. “Tiap 10 kilogram sampah setara tenaga listrik yang dibutuhkan menyalakan laptop tiga jam sehari selama dua bulan dan mengisi ulang baterai HP 380 kali,” ujarnya.
Selama ini masih ada keberatan sejumlah organisasi lingkungan bahwa ITF menghasilkan emisi gas berbahaya, terutama dioksin dan furan. Namun, kata Aditya, untuk ITF Sunter ini, dipastikan emisi gas yang dihasilkan tetap dijaga rendah menggunakan instalasi pembersihan emisi gas (flue gas cleaning).
Aditya juga mengatakan akan ada instalasi laboratorium untuk mengukur emisi secara berkala. “Dioksin dan Furan yang dihasilkan sangat rendah, tak lebih dari 0,1 miligram per nanometer kubik,” ujarnya.
Manajer Proyek Besar Fortum Antti Liukko mengatakan, pihaknya sudah memetakan jenis-jenis sampah di DKI Jakarta untuk menentukan pengolahan yang paling cocok. Sampah menggunung yang sekarang menjadi metode pembuangan di Bantargebang, kata Antti, menghasilkan gas metana yang justru jauh lebih berbahaya dari emis ITF.
Pembangunan ITF Sunter ini diharapkan dapat memberi solusi pada krisis tempat pembuangan sampah Jakarta. Kapasitas tempat pembuangan akhir Bantargebang sudah sangat terbatas sementara jumlah sampah Jakarta akan terus meningkat. Saat ini, produksi sampah Jakarta yang dibuang ke Bantargebang sekitar 6.802 ton per hari. Setelah ITF Sunter, Jakarta direncanakan membuat 3-5 ITF lain. (IRE)