Faktor Lingkungan Mendominasi Bencana Kesehatan di Asmat
›
Faktor Lingkungan Mendominasi ...
Iklan
Faktor Lingkungan Mendominasi Bencana Kesehatan di Asmat
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Banyak pembelajaran yang didapat bangsa ini dari kasus campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat beberapa waktu lalu. Benang merahnya adalah faktor di luar kesehatan memiliki kontribusi yang besar terhadap kejadian luar biasa campak dan gizi buruk di sana.
Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Kementerian Kesehatan yang juga Pembina Wilayah Papua di Kementerian Kesehatan, Usman Sumantri, menyampaikan hal itu, dalam diskusi Pembelajaran dari Asmat di Jakarta, Selasa (15/05/2018).
Usman mengatakan, secara teori, faktor lingkungan dan sosial budaya berkontribusi lebih besar terhadap derajat kesehatan masyarakat dibandingkan faktor pelayanan kesehatan. Hal ini terbukti di Kabupaten Asmat. Faktor di luar kesehatanlah yang memiliki kontribusi besa terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Asmat.
Masalah gizi, misalnya, bukan semata urusan kesehatan. Masalah gizi lebih terkait dengan akses masyarakat terhadap sumber pangan. Upaya bercocok tanam sulit dilakukan karena mayoritas daerah Asmat adalah rawa. Sementara pengetahuan masyarakat untuk mengembangkan perekonomian juga terbatas.
Selain itu, karena sulitnya mendapatkan sumber air bersih sebagian besar masyarakat mengandalkan air hujan untuk keperluan sehari-hari. Bahkan, fasilitas kesehatan seperti rumah sakit pun menampung air hujan untuk keperluan sehari-hari.
Untuk itu, perlu ada intervensi dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) agar masyarakat mendapat sumber air bersih. Tingkat pendidikan dan budaya masyarakat juga sangat memengaruhi pengetahuan dan perilaku kesehatan masyarakat.
Tata kelola pemerintah daerah
Usman menambahkan, sebenarnya anggaran kesehatan di Asmat mencukupi, meski tidak berlebih. Pada tahun 2017 dari alokasi Rp 3,1 miliar yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Rujukan Reguler, terealisasi Rp 2,5 miliar. Setiap puskesmas mendapat alokasi dana Bantuan Operasional Keseahtan (BOK) rata-rata Rp 450 juta.
Namun, kucuran anggaran kesehatan itu seolah tidak memiliki dampak. “Hal yang juga penting adalah tata kelola pemerintah daerah yang tidak optimal. Dari sisi anggaran sebenarnya memadai, tetapi kalau pengelolaannya tidak baik maka menjadi percuma,” ucap Usman.
Hal yang juga penting adalah tata kelola pemerintah daerah yang tidak optimal. Dari sisi anggaran sebenarnya memadai, tetapi kalau pengelolaannya tidak baik maka menjadi percuma.
Ketika kasus campak dan gizi buruk di Asmat baru mengemuka, tim dari Kemenkes mendapati bantuan makanan tambahan tahun 2016 menumpuk di gudang provinsi tidak terdistribusi ke kabupaten.
Selain itu, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats sebenarnya memiliki dokter spesialis penyakit dalam, bedah, kebidanan dan kandungan, anestesi, dan anak. Namun, saat itu hanya ada dokter spesialis bedah di lokasi.
Di tingkat puskesmas, sebenarnya stok vaksin cukup dan semua puskesmas memiliki lemari tempat menyimpan vaksin yang standar. Akan tetapi, cakupan imunisasi dasar lengkap tahun 2017 hanya 17 persen. Tidak ada tenaga gizi yang aktif turun ke masyarakat.
Selama KLB campak dan gizi buruk di Asmat, Kemenkes telah mengirimkan empat tim kesehatan bergerak (Flying Health Care) sebanyak 131 orang ke Asmat. Tim tersebut terdiri atas dokter spesialis, dokter umum, perawat, tenaga farmasi, tenaga gizi, tenaga kesehatan lingkungan, dan penunjang medis. Mulai April tim kelima mulai diturunkan. Mereka memiliki tugas untuk fokus pada pemulihan pasca status Kejadian Luar Biasa (KLB) dicabut.
Selain itu, melalui program Nusantara sehat (NS), tenaga kesehatan telah ditugaskan di Asmat selama dua tahun. Kemenkes masih memerlukan sekitar sekitar 97 tenaga kesehatan, terutama dokter, untuk ditugaskan di Asmat melalui program NS.
Kesalahan bersama
Sementara Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Prof Ilham Oetama Marsis, mengatakan, kasus gizi buruk dan campak Asmat tidak terjadi tiba-tiba. Masalah itu telah berlangsung lama. “Ini kesalahan kita bersama selama ini,” ujarnya.
Meski telah berlangsung lama KLB campak dan gizi buruk di Asmat tidak dapat terdeteksi sejak awal karena pemerintah lebih fokus pada hal-hal yang lebih bersifat pencitraan sehingga lupa akan tugas untuk menyiapkan generasi emas tahun 2045.
Marsis mencontohkan, selama ini pemerintah selalu menyampaikan bahwa cakupan imunisasi dasar lengkap tinggi. Kenyataannya, justru kasus difteri di berbagai daerah bermunculan.
Dalam jangka pendek PB IDI berkolaborasi dengan lembaga masyarakat sipil bidang kesehatan, ujar Marsis, telah berupaya mengirimkan dokter dan memberikan pelayanan kesehatan di Asmat selama KLB berlangsung. Untuk jangka panjang PB IDI saat ini sedang menyusun peta jalan pelayanan kesehatan di Indonesia agar bisa mendukung lahirnya generasi emas 2045.
Pelayanan kesehatan di Indonesia tidak bisa seragam karena setiap daerah memiliki karakter yang berbeda. Pelayanan kesehatan di Asmat yang daerahnya rawa-rawa dan sungai dengan masyarakat yang tersebar hingga ke hutan tentu berbeda dengan pelayanan kesehatan di daerah lain.