BANDUNG, KOMPAS — Dua perempuan pendaki Indonesia, Mathilda Dwi Lestari (24) dan Fransisca Dimitri Inkiriwang (24), mengibarkan bendera Merah Putih di puncak Everest (8.848 meter di atas permukaan laut), Kamis (17/5/2018). Keberhasilan itu sekaligus melengkapi misi kedua mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan tersebut mendaki tujuh puncak dunia sejak Agustus 2014.
“Mereka tiba di puncak Everest pada pukul 05.50 waktu Kathmandu, Nepal, atau pukul 07.05 WIB. Keduanya dalam kondisi sehat,” ujar Koordinator Divisi Publikasi Tim Pendukung The Women of Indonesia’s Seven Summits Expedition Mahitala Unpar, Dian Indah Carolina, di Kota Bandung, Jawa Barat.
Sebelum mencapai puncak Everest, Mathilda dan Fransisca telah mendaki enam puncak dunia lainnya. Keenam puncak itu adalah Denali (6.190 mdpl) di Alaska, Amerika Serikat pada 1 Juli 2017, Vinson Massif (4.892 mdpl) di Antartika pada 5 Januari 2017, Kilimanjaro (5.895 mdpl) di Tanzania pada 24 Mei 2015, Aconcagua (6.962 mdpl) di Argentina pada 31 Januari 2016, Elbrus (5.642 mdpl) di Rusia pada 15 Mei 2015, dan Carstensz Pyramid (4.884 mdpl) di Indonesia pada 13 Agustus 2014.
Sebelum mencapai puncak Everest, Mathilda dan Fransisca telah mendaki enam puncak dunia lainnya.
Pendakian menuju puncak Everest dimulai pada 17 April 2018. Tim terlebih dahulu melakukan aklimatisasi dari Everest Base Camp (EBC) pada ketinggian 5.400 mdpl hingga Camp 1 (7.050 mdpl).
Setelah aklimatisasi, tim beristirahat di Desa Zhaxizongxiang (4.150 mdpl) sembari menunggu cuaca terbaik untuk mendaki. Pada 11 Mei 2018, dalam cuaca cerah, tim memulai pendakian.
Perjalanan dimulai dari EBC menuju Intermediate Camp (5.800 mdpl). Setelah itu bergerak menuju Advanced Base Camp (ABC) di ketinggian 6.400 mdpl.
Setelah beristirahat sehari di ABC, tim bergerak menuju Camp 1 dan keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Camp 2 (7.800 mdpl). Tim tiba di Camp 3 (8.271 mdpl) pada 16 Mei 2018. Keesokan harinya tim menapakkan kaki di puncak Everest.
Banyak tantangan
Dian mengatakan, pihaknya sangat bangga atas kesuksesan Mathilda dan Fransisca mencapai puncak Everest. Sebab, tidak sedikit pendaki gagal mencapai puncak tertinggi di dunia tersebut. Banyak tantangan yang dihadapi pendaki, baik secara teknik, mental, kecepatan angin, suhu di bawah minus 20 derajat Celcius, dan kadar oksigen yang tipis.
Banyak tantangan yang dihadapi pendaki, baik secara teknik, mental, kecepatan angin, suhu di bawah minus 20 derajat Celcius, dan kadar oksigen yang tipis.
Kondisi itu membuat pendakian ke puncak Everest sangat berisiko. Tidak sedikit pendaki meninggal dunia saat menuju maupun turun dari puncak Everest. Penyebabnya beragam, di antaranya kekurangan oksigen, longsor salju, dan terjatuh.
Tantangan terbesar Mathilda dan Fransisca dalam mendaki Everest adalah mental. Sebab, kata Dian, secara teknik keduanya sudah mempunyai bekal dari pengalaman mencapai enam puncak dunia sebelumnya.
“Dalam perjalanan menuju puncak, sangat memungkinkan mereka menemukan jenazah manusia yang belum dievakuasi karena medannya ekstrem. Jadi, secara mental harus benar-benar kuat,” ujarnya.
Menurut Dian, persiapan Mathilda dan Fransisca dalam mendaki Everest sangat matang. Selain mencari referensi terkait puncak gunung tersebut, mereka juga meminta masukan dari pendaki asal Indonesia yang pernah mencapai puncak Everest pada 2013.
“Ini sangat penting untuk mengetahui kondisi di sana dan apa yang harus dihadapi. Masukan-masukan itu juga untuk memperkuat mental,” ujarnya.
Dian mengatakan, hingga Kamis malam, Mathilda dan Fransisca masih dalam perjalanan turun menuju ABC. Mereka dijadwalkan pulang ke Tanah Air pada 31 Mei atau 1 Juni 2018.
Hingga Kamis malam, Mathilda dan Fransisca masih dalam perjalanan turun menuju ABC. Mereka dijadwalkan pulang ke Tanah Air pada 31 Mei atau 1 Juni 2018.
Rektor Unpar Mangadar Situmorang mengaku bangga atas kesuksesan Mathilda dan Fransisca. Menurut dia, pencapaian itu tidak terlepas dari konsistensi daya juang dalam mencapai tujuan.
“Butuh komitmen kuat dan kerja keras. Memang tidak mudah. Tetapi, dengan kegigihan mereka, misi yang dicanangkan sejak 2014 berhasil dituntaskan,” ujarnya. Mangadar berharap, pencapaian itu mendorong mahasiswa lainnya untuk menggali potensi diri di luar bidang akademik.