Nakba
”... para pembuat Nakba, malapetaka, gagal menghancurkan kehendak bangsa Palestina dan gagal menghapus identitas nasional mereka, melalui diasporisasi, melalui pembantaian, melalui pembuatan sejarah palsu. Dalam lima dekade terakhir, mereka gagal membuat kami lupa akan diri kami sendiri atau menjadikan kami menjadi negara demensia amnesik."
Mahmoud Darwish (1941-2008)
Mahmoud Darwish adalah seorang penyair Palestina. Darwish dipandang sebagai penyair Arab kontemporer paling penting zaman kini. Ia dilahirkan pada 13 Maret 1941 di Desa Al Birwa, Galilea, Palestina (kini bernama El-Birwa, dan masuk wilayah Israel). Kampung halamannya dihancurkan dan diluluhlantakkan oleh Israel pada 1948.
Situasi itulah yang telah melahirkan Darwish menjadi seorang aktivis politik, melawan kekuasaan penjajah Israel. Karena aktivitasnya itu, ia dikenai tahanan rumah dan bahkan dipenjara. Darwish pernah menjadi editor surat kabar Ittihad sebelum dia meninggalkan Palestina dan pergi belajar di Uni Soviet pada 1971.
Sepulang dari Uni Soviet, Darwish pergi ke Mesir untuk bekerja di surat kabar Al-Ahram. Ia juga menjadi editor untuk jurnal Palestinian Issues di Beirut, Lebanon. Selain berkiprah di media, Darwish juga menjadi Direktur Pusat Riset Palestina (Palestinian Research Center). Ia terlibat pula dalam kegiatan politik, menjadi anggota Komite Eksekutif PLO dan tinggal di pengasingan di Beirut dan Paris sampai 1996, lalu kembali ke Palestina.
Puisi karya Darwish dikenal di seluruh dunia Arab dan beberapa di antaranya bahkan menjadi lagu. Ia memublikasikan 30 koleksi puisi dan prosanya, yang telah diterjemahkan ke 35 bahasa. Darwish adalah pendiri dan sekaligus Pemimpin Redaksi Al-Karmel, sebuah majalah sastra bergengsi. Pada 1998, Darwish memublikasikan kumpulan puisinya, Sareer el-Ghariba (Bed of the Stranger), yang merupakan kumpulan puisi cintanya yang pertama. Pada tahun 2002, ia menerbitkan buku berjudul Jidariyaa (Mural), yang menceritakan pengalamannya hampir mati.
♦♦♦
Tahun 1948. Peristiwa pada tahun itu sangat membekas dalam hati Darwish. Itulah tahun keganasan Israel. Pada tahun itu, setelah memproklamasikan diri sebagai negara pada 14 Mei 1948, Israel pada hari berikutnya, 15 Mei 1948, melakukan operasi sapu bersih terhadap orang-orang Palestina. Mengusir mereka keluar dari kampung, bahkan keluar dari Palestina, menghancurkan rumah-rumah mereka, kampung halaman mereka, membunuh (mungkin lebih tepatnya membantai mereka), tak peduli laki atau perempuan, tua atau muda, anak-anak atau orang dewasa.
Itulah tragedi yang kemudian disebut sebagai Nakba, malapetaka. Menurut catatan Sadaka (The Ireland Palestine Alliance), hampir 750.000 orang Palestina diusir dari rumahnya; 500 desa dihancurkan dan banyak yang namanya diubah dari bahasa Arab menjadi nama Yahudi (misalnya, Jabal Haruf menjadi Har Harif, Jabal Dibba menjadi Har Dla’at, Beit Dajan menjadi Beit Dagan, al-Bassa menjadi Batzat, dan al-Mujaydil menjadi Migadal Haemek); 75 persen tanah Palestina diduduki Israel, bahkan hingga kini.
Orang yang pertama kali menggunakan istilah Nakba untuk tragedi pada tahun 1948 itu adalah Constantine Zurayke atau Constantin Zureiq, seorang sejarawan kondang Suriah kelahiran Damaskus, Suriah (1909), yang meninggal di Beirut, Lebanon (2000). Istilah Nakba digunakan dalam bukunya The Meaning of the Disaster (1956), sebuah analisis ekonomi-sosial penyebab kekalahan Arab pada perang 1948. (Nur Masalha: 2009)
Terma Nakba juga digunakan oleh sejarawan Palestina yang juga Wali Kota Jerusalem Timur, Arif Al-Arif dalam karyanya Al-Nakba: Nakbat Bayt al-Maqdis Wal-Firdaws al-Mafqud, 1947-1952 atau The Disaster: The Disaster of Jerusalem and the Lost Paradise 1947-1952. (Al-Arif 1958-1960)
Tahun 1948, saat terjadi Nakba adalah tanggal penting dalam sejarah bangsa Palestina: tahun yang sangat dramatik, yang akan terus dikenang sepanjang hayat. Akibat Nakba adalah hancurnya masyarakat Palestina. Di atas puing-puing masyarakat Palestina itu, orang-orang Yahudi mendirikan negara Israel.
Nakba juga mengubah kehidupan orang-orang Palestina secara drastis dan tidak dapat diubah lagi, baik di tingkat individu maupun nasional. Mereka menjadi pengungsi. Mereka kehilangan segala-galanya, termasuk martabat sebagai bangsa merdeka.
Pada saat itu, sebuah bangsa telah hilang dari peta. Bukan hanya itu, bahkan hilang dari memori kolektif internasional. Pada peta-peta internasional, ”Israel” menggantikan ”Palestina”. Bahkan, PM Israel Golda Meir pada tahun 1969 (Sunday Times, 15 Januari 1969 dan The Washington Post, 16 Januari 1969) mengatakan, ”Bangsa Palestina tidak ada”. (Golda Meir kelahiran Ukraina, berimigrasi ke Palestina pada 1921; nama aslinya adalah Golda Mabovitch dan dikenal sebagai Golda Myerson).
♦♦♦
Tujuh puluh tahun silam, peristiwa itu terjadi. Akan tetapi, ingatan akan tragedi, yang sering juga disebut sebagai ”pembasmian etnis” Palestina itu, menjadi hangat kembali ketika pada tanggal 15 Mei lalu, sekitar 40.000 orang Palestina di sepanjang perbatasan Gaza dan Israel berdemonstrasi. Mereka mengenang tragedi sekaligus meneriakkan perlawanan terhadap pendudukan, kolonialisme Israel, serta pemindahan Kedutaan AS dari Tel Aviv ke Jerusalem sekaligus pengakuan Jerusalem sebagai ibu kota Israel. Aksi itu berakhir dengan tewasnya tak kurang dari 61 orang Palestina, dan ribuan lainnya luka-luka karena ditembaki tentara Israel.
Mendengar tragedi itu, benar yang dikatakan oleh Mahmoud Darwish bahwa upaya menghancurkan tekad Bangsa Palestina, identitas nasional, dan bahkan Bangsa Palestina, tidak akan pernah berhasil. Yang akan terjadi justru sebaliknya: demonstrasi tanggal 14 Mei lalu menjadi bukti bahwa perjuangan mereka tidak pernah mati, tidak pernah mengenal kata menyerah. Langkah mereka terus dibayangi mimpi buruk akan Nakba yang tidak akan pernah terhapus sepanjang sejarah Palestina.
Mengutip pendapat Amartya Sen, jika kebencian sektarian terus diembus-embuskan, hal itu bisa menyebar sangat cepat laksana nyala api. Hal semacam itu sudah terjadi di Kosovo, Bosnia, Rwanda, Sudan, Nigeria, dan banyak lain negara di dunia ini. Juga banyak konflik dipupuk melalui ilusi tentang sebuah identitas tunggal dan tanpa pilihan. Jika hal semacam itu terjadi, akan muncul kekerasan buas, keberingasan, dan terorisme.