JAKARTA, KOMPAS — Komisi VII DPR meminta pemerintah dan PT Pertamina (Persero) mengantisipasi potensi kenaikan harga minyak mentah yang diperkirakan bisa mencapai 100 dollar AS per barrel. Antisipasi tersebut terkait kebijakan tidak menaikkan harga jual bahan bakar minyak, khususnya jenis solar bersubsidi dan premium. Pemerintah menyebut pemberian hak kelola sejumlah blok minyak dan gas bumi kepada Pertamina sebagai kompensasi yang dapat memperkuat kas perusahaan.
Anggota Komisi VII DPR dari Partai Gerindra, Kardaya Warnika, mengatakan, sejumlah analis menyebut bahwa ada potensi harga minyak mentah tembus sampai 100 dollar AS per barrel tahun ini. Selain faktor permintaan dan pasokan, sanksi ekonomi Amerika Serikat terhadap Iran disebut-sebut menjadi pemicu naiknya harga minyak mentah. Ia mengingatkan perlunya antisipasi dari pemerintah maupun Pertamina seandainya harga minyak benar-benar tembus 100 dollar AS per barrel.
"Apa antisipasi pemerintah dan Pertamina kalau harga minyak benar-benar sampai 100 dollar AS per barrel? Apakah harga BBM akan dinaikkan atau ditahan lewat penambahan subsidi? Jangan sampai saat harga minyak benar-benar 100 dollar AS per barrel, pemerintah dan Pertamina gugup," kata Kardaya dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Pertamina, Rabu (23/5/2018), di Jakarta.
Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan, pemerintah ikut mendapat untung dari kenaikan harga minyak mentah. Dalam asumsi makro APBN 2018, harga minyak mentah dipatok 48 dollar AS per barrel. Adapun sampai Rabu sore, minyak mentah jenis Brent dijual 79,01 dollar AS per barrel dan jenis WTI 71,86 dollar AS per barrel.
Menurut Djoko, setiap kenaikan harga minyak mentah 1 dollar AS per barrel, penerimaan negara bertambah Rp 2,8 triliun sampai Rp 2,9 triliun. Adapun beban subsidi BBM akibat dari kenaikan harga minyak mentah setiap 1 dollar AS per barrel berkisar Rp 2,5 triliun hingga Rp 2,6 triliun. Artinya, kata dia, pemerintah masih memiliki kelebihan penerimaan sekitar Rp 300 miliar untuk setiap kenaikan harga minyak 1 dollar AS per barrel.
"Indonesia sudah pernah mengalami harga minyak sampai lebih dari 100 dollar AS per barrel. Tentu sudah ada pelajarannya. Lagi pula, kebijakan subsidi BBM sekarang berbeda dengan sebelumnya, yaitu pemberian subsidi tetap untuk solar sebesar Rp 500 per liter saat berapa pun harga minyak mentahnya," ujar Djoko.
Djoko menambahkan, tambahan penerimaan negara tersebut di atas akan diberikan kepada Pertamina sebagai bentuk kompensasi atas selisih harga jual BBM dengan harga keekonomian. Selain itu, kata dia, pemerintah juga memberikan hak kelola blok migas hasil terminasi kepada Pertamina langsung, termasuk Blok Mahakam di Kalimantan Timur.
"Pertamina akan mendapat banyak uang segar dari hasil penjualan migas yang diproduksi dari blok-blok hasil terminasi tersebut," ucap Djoko.
Sejak April 2016, harga premium dan solar bersubsidi tidak berubah, yakni masing-masing Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter. Saat itu, rata-rata harga minyak mentah sekitar 51 dollar AS per barrel. Harga minyak mentah saat ini yang terus meroket diyakini menimbulkan selisih lebar antara harga jual BBM dengan harga keekonomian.
Dalam berbagai kesempatan, Direktur Keuangan Pertamina Arief Budiman mengatakan, dengan mempertimbangkan harga minyak dunia saat ini, harga jual ideal untuk premium Rp 7.150 per liter, sedangkan solar bersubsidi Rp 6.500 per liter.
Wakil Ketua Komisi VII DPR dari Partai Golkar Eni Maulani Saragih mengatakan, secara prinsip, pihaknya bisa memaklumi rencana pemerintah menambah subsidi BBM. Sebab, harga minyak dunia saat ini lebih tinggi dari asumsi APBN 2018 yang sebesar 48 dollar AS per barrel. Apabila harga jual BBM dinaikkan tanpa disertai pemberian subsidi, dikhawatirkan akan memperberat daya beli masyarakat. ”Namun, rencana penambahan subsidi itu harus melalui persetujuan DPR,” kata Eni.