Karena Perbedaan Itu Berkah, Rahmat...
Dua puluh lima remaja mengerumuni pengurus Pura Segara di Cilincing, Jakarta Utara, Sabtu (26/5). Mereka ramai bertanya banyak hal asing bagi mereka. IW Sumerta, pengurus pura, telaten menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan para remaja peserta pesantren kilat Millenial Islami itu.
Para remaja perempuan berhijab, mengenakan rok panjang, atau bercelana panjang. Mereka menikmati siang itu tanpa rasa kikuk.
Begitu tiba di halaman pura dan disambut satu pengurus umat, para remaja itu tak sungkan menyapa balik dan mengikuti ajakan pengurus untuk memasuki area tengah pura. Area itu oleh umat Hindu dianggap sebagai area suci.
Mereka belajar, hampir mirip seperti yang mereka lakukan saat hendak sembahyang, ada ritual membersihkan diri. Di pura, sebelum memasuki area suci, satu per satu mendapat percikan air suci oleh pengurus pura.
"Saya merasa agak aneh karena diperciki air. Tapi saya ingin belajar dan mengetahui tempat ibadah dan budaya agama lain. Jadi, saya masuk saja, meski paling akhir," ujar Rahmat Hidayat (18), salah satu peserta Pesantren Kilat Millenial Islami dari Sebatik, Kalimantan Utara.
Rahmat yang saat ini belajar di SMK Karya Bakti, Pangandaran, Jawa Barat, lalu bertutur, ia sungguh beruntung bisa ikut keliling mengunjungi sejumlah tempat ibadah di Cilincing, Jakarta Utara. "Di tempat asal saya, mana pernah kami masuk tempat ibadah lain selain masjid. Takut dosa. Tetapi, sekarang saya masuk dan jadi paham ada perbedaan-perbedaan dalam beribadah. Ya, tidak apa-apa tempat ibadah beda-beda," ujarnya.
Bagi Rahmat, pemahaman tentang tempat ibadah itu membuat dia makin mengerti makna beda. "Teman-teman saya di sekolah, datang dari seluruh Indonesia. Awalnya bingung dengan bahasa dan kebiasaan yang dibawa. Lama-lama saya malah belajar sejumlah kata dari bahasa lokal mereka," ujar dia.
Lain Rahmat, lain pula Siti Hodijah (15). Remaja putri asli Pangandaran, Jawa Barat yang juga siswi SMK Bakti Karya itu akhirnya terjawab rasa penasarannya tentang 12 murid dan berbagai simbol di gereja. "Sudah terjawab. Tapi, tadi saya sempat salah tanya. Harusnya saya tanya ke gereja katolik, saya tanyanya ke pengurus gereja kristen," jelas Siti.
Kami menyebut acara kunjungan ke sejumlah tempat ibadah ini sebagai tour de tolerancy.
Di tengah terik panas wilayah utara Jakarta yang bertepatan dengan bulan puasa, kunjungan ke sejumlah tempat ibadah itu sungguh menyita energi. Namun, para remaja itu seperti memiliki batere penuh dan sangat antusias.
"Kalau saya menamakannya wisata bhinneka. Karena kita berkeliling dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah lain, dan kita belajar mengenal tempat ibadah lain. Ini saya lakukan dalam rangka memahami perbedaan, bukan belajar agama dari tempat ibadah yang didatangi," terang Ira Lathief dari Wisata Kreatif Jakarta.
Karena ia berhadapan dengan orang-orang baru yang juga berupaya mengenal tempat ibadah lain, ia berupaya menyajikan sejarah dan juga latar belakang budaya dari tempat ibadah yang dikunjungi.
"Seperti Cilincing ini, menarik. Karena dalam radius kurang dari satu kilometer, kita bisa menemukan tempat-tempat ibadah yang berbeda. Lalu yang ada di masjid, yaitu bedug, saya bisa bercerita kepada teman-teman muda peserta pesantren ramadhan, bahwa bedug ada pengaruh dari budaya China yang dibawa ke Indonesia," ujar Ira. Wisata bhinneka mulai ia kembangkan tahun lalu, berangkat dari keprihatinan dampak pilkada Jakarta yang abai terhadap keberagaman, perbedaan.
Dengan misi yang mirip-mirip itulah, Millenial Islami bekerjasama dengan Ira Lathief memberi pemahaman kepada peserta pesantren kilat. "Berangkat dari misi ingin menyebarkan nilai-nilai islam yang damai dan toleran dalam bingkai ke-indonesiaan," kata Day Firmansyah, salah satu pendiri gerakan Millenial Islami.
Latar belakang lain, kata Day, adalah kekhawatiran bahwa generasi muda islam sekarang mudah diprovokasi melalui media sosial sehingga sering membuat mereka bertindak intoleransi. "Itulah gerakan Millenial Islami didirikan,"kata Day. Sejumlah profesional dari berbagai latar belakang mendukung pendirian gerakan ini tahun lalu dan mengajak anak-anak muda usia 12-25 tahun untuk menyebarkan nilai-nilai islam yang sejuk dan damai.
Dimulai dari gerakan online yang berhasil menyeleksi dan melatih 50 siswa dan mahasiswa dari berbagai wilayah di Indonesia, Millenial Islami menjadikan mereka sebagai duta Islam yang sejuk dan damai. Caranya, mereka dilatih membuat konten-konten tentang Islam yang sejuk dan damai melalui berbagai bentuk media sosial.
"Begitu pulang, mereka mesti membuat konten-konten Islami yang sejuk dan damai itu, serta menyebarkannya ke teman-teman, keluarga," ujar Day.
Lalu, takshow menjadi cara untuk mengajak anak muda islam berpikir dan bertindak damai dan sejuk. "Bersama Ustadz Aan Rukmana kami mencoba memberi pemahaman makna hijrah dan jihad yang saat ini dimaknai sangat dangkal sehingga memunculkan pemahaman yang salah,"ujar Day.
Kegiatan itu diadakan bertepatan dengan pesantren kilat. Sebanyak 50 anak muda dari berbagai wilayah di Indonesia diseleksi. Selain belajar tentang agama islam, peserta juga belajar perbedaan di tengah tengah masyarakat.
"Kami menyebut acara kunjungan ke sejumlah tempat ibadah ini sebagai tour de tolerancy. Seluruh pertanyaan tentang rumah ibadah yang berbeda bisa ditanyakan," ujar Day.
Seperti yang ditegaskan Ustadz Aan Rukmana di akhir kunjungan, "Kita harus bisa menghayati perbedaan suku budaya atau agama itu sebagi berkah. Jangan sampai perbedaan jadi sumber konflik," ujarnya.
Ia meyakini, ketika anak-anak muda diberi pemahaman jelas tentang perbedaan yang menurut pemahaman islam sebagai berkah, rahmat, anak-anak muda itu akan bisa mengisi baris terdepan dalam membangun dialog. Amin.