Anak Muda Keluar dari Zona Nyaman
Wisata kini dilirik sebagai usaha rintisan. Di Semarang dan Banyumas, kelompok anak muda membangun obyek wisata instagramable. Ada pula laman yang merekrut warga lokal menjadi pemandu wisata daerahnya.
Beri aku 10 pemuda, maka akan
kuguncang dunia….
Pidato Presiden Soekarno (1901-1970) itu sangat relevan jika dikaitkan dengan kiprah kaum muda kini menggeluti pariwisata.
Jumat (25/5/2018) pagi, pengunjung sudah antre untuk berfoto di Spot Balon Udara, Kampung Talun Kacang, Kelurahan Kandri, Kecamatan Gunung Pati, Semarang. Mereka rela menunggu 30-50 menit demi bisa berfoto sekitar 5 menit dengan latar keindahan alam Waduk Jatibarang.
”Hari ini terhitung sepi karena bulan Ramadhan.
Antrean hanya sekitar 10 orang atau kelompok. Normalnya, hari Senin-Jumat paling sedikit 25 orang dan Sabtu- Minggu bisa mencapai 80-90 orang,” kata Yopik Pandoyo (24), salah satu pengelola wisata foto spot.
Selain berlatar pemandangan, pengelola menyiapkan tiga tema foto unik, yaitu sakura Jepang, little candy land, dan balon udara. Setiap tema ada properti foto yang bisa disewa pengunjung, seperti baju kimono, rangkaian bunga, boneka, gitar, berbagai bando, dan kacamata.
Wisata foto Spot Balon
Udara dirintis tujuh pemuda kampung sejak September
2017. Mereka berusia 17-25 tahun. Latar belakangnya ada yang kuliah, bekerja, atau baru lulus sekolah. Kelompok yang menamakan diri Sekawan itu terbentuk ketika tujuh pemuda tersebut merintis bisnis foto badut keliling di obyek wisata Goa Kreo.
”Kalau biasanya anak muda cuma kuliah, atau kerja saja, kami bisa merangkap-rangkap. Ya, hitung-hitung keluar dari zona nyaman,” kata Yopik, lulusan Teknik Mesin Universitas Negeri Semarang. Uang kas dari hasil bekerja empat tahun dijadikan modal merintis Spot Balon Udara.
Mereka membangun kerangka balon udara dan mendesain lokasi foto bertema sakura Jepang dan little candy land. ”Kalau uangnya kurang, terpaksa pinjam uang pribadi anggota kelompok,” ujarnya.
Untuk menekan modal, setiap anggota kelompok diminta berkontribusi sesuai keahlian masing-masing. Misalnya, anggota dengan keahlian desain grafis membantu merakit aneka properti sehingga tak perlu memakai jasa tukang. Anggota lain bertanggung jawab memonitor keluar-masuk uang dan pencatatan pengunjung.
Di sela-sela bekerja, beberapa pengelola memanfaatkan waktu senggang untuk menyelesaikan tugas kuliah. Febri Budhi
Purnomo (22) membawa setumpuk tugas kuliah ke tempat bekerjanya di Spot Awan. Mahasiswa Teknik Mesin Universitas Wahid Hasyim, Semarang, ini mengerjakan tugas kuliah pada jam istirahat pukul 12.00-13.00.
Febri bekerja Senin-Jumat pukul 08.00-17.00 dengan gaji Rp 80.000 per hari. Ia juga jadi fotografer lepas di malam hari.
Media sosial
Seraya mempercantik destinasi wisata Curug Jenggala di Baturraden, Banyumas, dan Kampung Warna di Bobotsari, Purbalingga, sejumlah anak muda aktif berpromosi melalui media sosial.
”Kami mempromosikan Kampung Warna Bobotsari melalui Instagram dan Facebook karena lebih efektif. Anak muda bisa cepat mengakses,” kata Dona Wahyuni (28), penggagas Kampung Warna Bobotsari, Kamis (24/5), di Purbalingga.
Foto yang diunggah antara lain spot-spot swafoto berupa aneka lukisan seperti kupu-kupu, RA Kartini, serta pemandangan Gunung Slamet dihiasi sawah hijau.
Kampung Warna Bobotsari berada di antara tempat wisata air Owabong serta Taman Wisata Goa Lawa yang kini sedang direvitalisasi. Dona berharap, libur Idul Fitri nanti, wisatawan dari Owabong dan Goa Lawa dapat mengunjungi Kampung Warna Bobotsari.
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Gempita Desa Ketenger Purnomo bersama Sekretaris LMDH Gempita Andri (25) yang mengelola wisata alam air terjun Curug Jenggala di Baturraden juga memanfaatkan media sosial untuk promosi.
Selain menampilkan keindahan air terjun dan hijaunya hutan di lereng Gunung Slamet, akun media sosial juga menampilkan aktivitas gotong royong warga membangun jalan setapak menuju curug. ”Gotong-royong adalah kearifan lokal masyarakat,” kata Purnomo.
Di Kampung Warna Bobotsari, sekitar 50 anak muda aktif bergotong royong mengelola kampung. Meski minim dukungan dana, wilayah Kampung Warna Bobotsari berada di tepi jalan raya yang aksesnya mudah dijangkau dan jalannya mulus.
Pegiat wisata lokal
Untuk meningkatkan keterlibatan warga lokal, sejak 20 Mei lalu, Tripal.co, laman pemasaran bagi pegiat wisata lokal, meluncurkan aplikasi versi iOS, menyusul versi Android yang diluncurkan April 2018.
CEO Tripal.co Kevin Wu mengatakan, laman ini dibangun dengan pendekatan kewirausahaan sosial berlandaskan ekonomi berbagi. Bentuknya adalah platform laman pemasaran yang mempertemukan kebutuhan pelancong global yang kian membutuhkan pengalaman otentik. Di sisi lain, platform ini memberikan kesempatan bagi warga lokal menjadi teman perjalanan wisatawan di kota terkait.
Manfaat bagi pelancong, ujar Kevin, mereka akan mendapatkan pengalaman bepergian yang tak pernah ditawarkan sebelumnya, yakni perjalanan lebih personal, fleksibel, dan otentik sesuai kebutuhan wisatawan. Bagi warga lokal, Tripal.co menciptakan lapangan kerja baru di daerah wisata, mencegah urbanisasi, pemerataan ekonomi, melestarikan budaya dan keindahan alam.
Tim Tripal.co menggunakan sarana daring dan luring untuk memperkenalkan hingga merekrut PAL (sebutan kepada warga lokal yang bergabung sebagai pemandu atau host di platform Tripal.co) di daerah. Pendaftaran via laman sudah mendapatkan lebih dari 1.000 orang, tersebar di 19 provinsi di Indonesia.
Tantangannya adalah memperkenalkan konsep ekonomi berbagi kepada masyarakat lokal. Tim internal bekerja keras untuk menyaring semua lamaran PAL yang masuk agar tetap memenuhi asas keamanan dan kenyamanan bagi semua pelancong.
Sasaran pasarnya adalah pelancong milenial yang tidak lagi menggunakan jasa agen perjalanan.